SAYA akan melanjutkan tulisan sebelumnya tentang wayang kulit style Bebadungan sebuah gaya pedalangan khas dari Kabupaten Badung yang penuh warna, energi, dan kreativitas. Dalam khasanah seni pertunjukan Bali, style Bebadungan tidak hanya dikenal karena keunikan teknik dan dinamika lakonnya, tetapi juga karena kekuatan spiritual dan kesan dramatik yang menggetarkan sejak detik pertama pertunjukan dimulai.
Sejak awal pembukaan pagelaran, seluruh tindakan sang dalang telah dituntun oleh laku Dharma Pewayangan, yakni sikap batin dan kesadaran spiritual seorang dalang. Pada style Bebadungan, dalang tampil sangat ekspresif, bahkan teatrikal, namun tetap terkendali dalam kerangka sakral.
Salah satu momen pembuka yang khas dari style Bebadungan adalah ngedig kropak pang telu, yakni tiga kali hentakan tangan dalang kearah kropak bagian atas yang disertai dengan mantram. Dalam sesi ini, hentakan dilakukan dengan penuh hikmat, seolah membangunkan kekuatan magis yang tersembunyi dalam keropak serta seisinya. Ini adalah simbol amungkah jagat, yaitu membuka gerbang menuju alam pewayangan (Bhuana agung mwang saisinya) sebuah dunia simbolik dan spiritual yang akan dihidupkan melalui teknik naratif dan visual dalang yang begitu khas dan memikat.
Tabuh gender pemungkah pun kemudian bergema dengan skema khas yang menjadi penanda kuat dari iringan dalam style Bebadungan. Dalam gaya ini, alur dramatik musik dibentuk secara dinamis dan menggugah, memadukan hentakan nada yang berenergi dengan pengendalian ritmis yang terukur. Hal ini bukan hanya menciptakan suasana intens, tetapi juga menjadi pintu masuk ke dalam dunia sakral pewayangan yang dikemas dalam style Bebadungan.
Dalang dalam moment ini tidak serta merta menampilkan tokoh-tokoh utama, tetapi lebih dulu menghadirkan wayang pemurtian seperti Wisnu Murti dan Rudra Murti yang ditempatkan di sisi kanan dan kiri kelir. Ini adalah bagian penting dari struktur penyajian Bebadungan sebuah strategi dramaturgis yang membangun rasa ingin tahu penonton sejak awal pertunjukan.
Di sinilah terlihat dengan jelas pola penyajian style Bebadungan membingkai momen pembuka sebagai ruang sakral yang penuh hikmat, namun tetap menyisipkan elemen kejutan melalui ritme dan penempatan simbolik. pola ini mencerminkan karakter Badung yang ekspresif, tetapi tetap menjaga rasa dan tatanan. Dalam wayang kulit style Bebadungan, kesakralan dan estetika tidak berjalan terpisah, melainkan menyatu dalam struktur dramatik yang kuat dan penuh roh.
IDENTITAS POLA CEPALA STYLE BEBADUNGAN YANG UNIK DAN TEGAS
Di antara seluruh style pedalangan Bali, style Bebadungan punya ciri khas ritmis yang sangat kuat, salah satunya melalui pola cepala. Bunyi yang muncul bukan sekadar efek suara, tapi bagian dari kode dramaturgi yang dimiliki oleh setiap dalang dari Badung. Dimulai dengan suara cepala yang menggelegar “ Tak …” dan dilanjutkan dengan pola “tak tak – tak – tak“ menjadi penanda awal di mulainya pertunjukan wayang dan identitas musikal kropak wayang style Bebadungan.
Pola cepala dalam style ini digunakan secara sangat aktif. Tak hanya sebagai penanda ritme, tetapi juga sebagai media ekspresi tubuh, pengantar transisi dramatik, hingga pelemasan tangan bagi dalang itu sendiri. Di sinilah style Bebadungan memperlihatkan keunggulan dalam sinkronisasi antara tubuh, suara, dan jiwa dalang, semacam bentuk meditasi kinetik sebelum memasuki lakon.
Selain itu, pola yang kuat dan distingtif ini juga berfungsi sebagai pemikat perhatian penonton. Bunyi yang menggelegar dari cepala di awal bisa menciptakan efek startling mengejutkan dan mengikat fokus. Style ini berakar dari semangat masyarakat Badung yang dikenal lugas, ekspresif, dan berani dalam eksplorasi bentuk seni.
IGEL KAYONAN: SIMBOL KOSMIK, SPIRIT KREATIF, DAN ENERGI PENCIPTAAN
Keropak dibuka dan suara gender mengalun, dalang memasuki bagian Igel Kayonan, yaitu tari wayang kayonan. Kayonan sendiri adalah wayang berbentuk pohon kosmik dalam filosofi Bali. Ia melambangkan pusat dari segala kehidupan, tempat bertemunya unsur purusha dan prakerti.
Dalam style Bebadungan, igel kayonan bukan sekadar hanya soal keharusan, tapi justru merupakan panggung eksplorasi artistik seorang dalang. Gerakannya yang berulang, kanan kiri, lalu berputar ke kanan dan kiri, menunjukkan perputaran energi kehidupan. Irama gamelan gender menyesuaikan dinamika gerak kayonan, dari keras, ke pelan, lalu kembali menguat, menciptakan irama gelombang yang menyimbolkan nafas semesta.
Pada bagian akhir tari kayonan ini digerakkan perlahan dari bawah ke tengah lalu ditancapkan di kelir, di situlah makna terdalamnya mengakar, keseimbangan telah ditanamkan, ruang spiritual pertunjukan telah disucikan, dan kreativitas akan tumbuh dari pusat tatanan kosmos itu sendiri. Seperti apa yang saya uraikan dalam tulisan di Tatkala.co (Wayang dan Elektron) sebelumnya, Saya juga menginterpretasikan momen ini sebagai simbol kehidupan, pertumbuhan, dan proses penciptaan. Setelah kayonan ditancapkan sebagai penanda dimulainya dunia pewayangan, hadirnya Wayang Acintya yang diletakkan di tengah kayonan menjadi lambang dari kesadaran agung sumber dari segala cipta. Kehadirannya tidak sekadar hiasan, tetapi juga merepresentasikan pusat spiritual yang menjadi poros dari seluruh semesta naratif.
Setelah itu, barulah satu per satu tokoh-tokoh wayang mulai dimunculkan, mereka yang akan memainkan peran dalam kisah yang dihadirkan oleh sang dalang. Tahapan ini dalam tradisi pedalangan dikenal sebagai beber wayang atau nyejer wayang, yakni proses menata dan memperkenalkan tokoh-tokoh yang akan mengisi jagat cerita.
Dalam konteks Wayang Kulit Style Bebadungan, tahap ini tidak hanya berfungsi sebagai pengenalan karakter, tetapi juga sebagai ritme awal yang menyelaraskan energi dan dramaturgi artistik menuju puncak pertunjukan.
BEBER WAYANG: MISTERI DAN IMAJINASI
Lalu tibalah pada bagian yang paling menarik yaitu beber wayang. Setelah kayonan ditancapkan, dalang tidak langsung memainkan tokoh utama. Ia justru menampilkan wayang dengan menempelkan bagian belakang wayang, ditempel ke kelir tanpa menampilkan wajahnya secara jelas. Hanya bayangan samar dan tubuhnya yang terlihat.
Inilah jurus ‘teater misteri’ ala dalang Bebadungan. Bayangan menjadi bahasa utama. Penonton dibuat penasaran, dibiarkan bertanya-tanya “Wayang nyen ento ?,, arjuna? Sutasoma ?“
Menurut Agung Aji Dalang, seniman pedalangan style Bebadungan dari Kuta, teknik ini adalah hasil dari kepekaan dalang terhadap rasa dan psikologi penonton. Dalam beber wayang, dalang menabur teka-teki, menyusun ketegangan, dan menciptakan kedalaman dramaturgi melalui hal yang sederhana namun penuh makna.
Beber wayang juga adalah cara dalang memperkenalkan tokoh secara simbolik, sebagai entitas yang akan berperan besar dalam cerita. Sebelum mereka tampil sebagai “aktor”, mereka dihadirkan dalam bentuk “ide”, siluet, dan potensi”. Ini menambah lapisan visual dan filosofis dari pementasan, menjadikannya bukan sekadar hiburan, tapi pengalaman teater total (total theatre).
Setelah tokoh utama diperkenalkan, barulah keropak dikosongkan, dan satu per satu wayang mulai dicabut untuk memasuki bagian pengembangan lakon.
Apa yang kita pelajari dari bagian-bagian awal ini?
Bahwa dalang Bebadungan adalah pwnata misteri, penyair visual, dan manipulator emosi. Mereka menguasai irama, ritus, dan rasa. Bahkan sebelum cerita dimulai, mereka sudah menciptakan narasi dalam bentuk doa, simbol, gerak, dan bayangan.
Dari hentakan cepala, tari wayang kayonan, hingga beber wayang, semua adalah bagian dari sistem pertunjukan yang disusun dengan sadar dan penuh kreativitas. Dan ini sudah ada sejak dulu, jauh sebelum istilah “dramaturgi”, “teater modern”, atau “visual storytelling” populer di dunia seni pertunjukan Barat.
Wayang Kulit Style Bebadungan menunjukkan bahwa kreativitas lokal adalah bentuk kecerdasan budaya. Dalang-dalang dari Kabupaten Badung adalah seniman yang tahu betul bagaimana menghidupkan cerita, bukan hanya dengan suara dan tangan tapi juga dengan keheningan, bayangan, dan rasa penasaran.
Kini, tugas kita bukan hanya menonton. Tapi menggemakan kembali style ini dengan semangat zaman, tanpa kehilangan rohnya.
Sebab seperti kayonan yang ditancapkan di tengah, keseimbangan antara tradisi dan inovasi adalah inti dari pertunjukan wayang yang akan terus hidup. [T]
Penulis: I Gusti Made Darma Putra
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis I GUSTI MADE DARMA PUTRA
- BACA JUGA: