BERPENDAPAT katanya boleh mengatakan apa pun, bebas berekspresi, termasuk pernyataan “hinaan”. Kalau begitu menghina juga sama dengan berpendapat, menurut para aktivis, pengamat sosial, entah pengamat apalagi namanya.
Katannya meme Presiden Prabowo dan Jokowi yang dibuat mahasiswa ITB itu kebebasan berekspresi dan berpendapat; itu bukan menghina atau penghinaan, tapi kebebasan berpendapat dan berekspresi, kata mereka yang mengaku sebagai aktivis, pengamat, dan akademisi. Sebelumnya juga ada kasus yang baru saja diadukan ke Polda Metro Jaya oleh Joko Widodo. Hal itu juga dianggap oleh para aktivis, pengamat sebagai upaya pembungkaman beropini dan berekspresi.
SOS ini, gawat sudah mulai tidak dapat membedakan mana kebebasan berpendapat, dan mana menghina atau penghinaan. Berpendapat dan menghina menurut saya satu lain hal yang berbeda pastinya.
Berpendapat berarti menyampaikan gagasan, ide, atau pandangannya tentang suatu hal yang sedang di bahasnya atau sesuatu yang sedang dipikirkannya. Sedangkan menghina yang saya pahami adalah merendahkan harkat martabat seseorang apakah itu satu pikiran, baik lisan maupun tertulis, atau dalam bentuk bahasa nonverbal seperti gambar, dan suara, atau dalam bentuk video.
Menimbang mana berpendapat mana penghinaan, kita lihat batasannya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “kebebasan berpendapat” adalah hak setiap orang untuk memiliki dan menyampaikan pendapatnya secara bebas tanpa gangguan atau batasan. Ini mencakup kebebasan untuk memiliki pikiran, mencari informasi, menerima informasi, dan menyampaikan pikiran melalui media apa pun.
Sedangkan menghina dalam kamus yang sama, berarti “memburukkan nama baik orang; menyinggung perasaan orang (seperti memaki-maki, menistakan)”. Penghinaan adalah proses, cara, atau perbuatan menghina, menistakan, dan seringkali dilontarkan secara keterlaluan hingga menyebabkan pencemaran nama baik.
Perspektif ilmu komunikasi, menghina dapat juga berarti menyampaikan pesan, pernyataan dapat dalam bentuk ujaran lisan, tulisan, gambar, atau bentuk audiovisual, menggunakan media atau tanpa media.
Setiap pernyataan atau pesan yang disampaikan baik kepada satu individu, khalayak tertentu, atau publik, dalam ilmu komunikasi pasti ada motif komunikasinya. Konteks kebebasan berpendapat, berekspresi, atau penghinaan, menghina ada ukuran standar etika masyarakat, dan undang-undang yang berlaku dalam suatu negara.
Kebebasan berpendapat dalam media sosial di Indonesia adalah sebuah kemerdekaan dalam mengungkapkan perasaan pemikiran gagasan dan ekspresi dalam bentuk virtual yang diwadahi oleh platform digital seperti media sosial, namun dibatasi oleh tanggung jawab untuk menjaga etika, tidak merugikan orang lain, dan mengikuti undang-undang yang berlaku di negara ini seperti UU ITE, pasal 27.
Contoh konten yang tidak melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah konten yang tidak merugikan orang lain, tidak mengandung pornografi, tidak menyinggung SARA, tidak mengandung penipuan, tidak berupa berita bohong, dan tidak melanggar hak kekayaan intelektual.
Mengacu pada UU ITE konten yang tidak merugikan orang lain, postingan yang tidak merugikan. Artinya postingan yang tidak membawa dampak negatif pada seseorang. Contohnya, postingan yang tidak menimbulkan fitnah atau pencemaran nama baik akan seseorang. Konten yang tidak mengandung pornografi salah satu konten yang dilarang oleh UU ITE adalah konten yang melanggar kesusilaan.
***
Meme yang dibuat mahasiswa ITB, atau pernyataan-pernyataan yang dinarasikan oleh orang-orang atau kelompok yang mempertanyakan ijazah Jokowi, pastinya mempunyai motif komunikasi, bisa saja tujuan dan motifnya menghina, merendahkan, merusak wibawa menjatuhkan marwah, melecehkan, dan lain-lain. Motifnya, ini bukan ranah penulis, yang pasti setiap pesan yang dibuat secara sadar itu memiliki motif komunikasi.
Dalam berkomunikasi ketika pesan itu keluar dari komunikator, pesan atau pernyataan apa pun bentuknya sudah bukan miliknya lagi, tetapi sudah menjadi milik khalayak yang menerimanya, dapat institusi pemerintah atau kelompok Masyarakat. penerima pesan bebas menafsirkan dengan sudut pandangnya. Saya pribadi mengatakan meme tersebut ada etika umum yang dilanggar dalam adab adat budaya kita, sangat tidak sopan, melecehkan seseorang, itu sudut pandang saya.
Menghadapi situasi rumit ini maka perlu suatu dialog kehidupan yang terbuka dalam semangat komunikatif antara kelompok tertentu dengan kelompok lainnya dalam semangat kesetaraan. Semua harus bisa menjalani tahap proses belajar ganda dan komplementer, persis apa yang dikatakan oleh Jurgen Habermas.
Saling memahami keterbatasan masing-masing dan akhirnya belajar tentang muatan inti kebenaran “pernyataan” itu. Dialog mengandaikan suatu komunikasi, persis apa yang dikatakan oleh Habermas. Ruang publik adalah ruang dialog kehidupan, medan pergumulan manusia untuk saling berkomunikasi, karena bagaimana pun juga semua komunitas memiliki hak politik dalam ruang publik. Semua hal yang relevan dengan tata kelola hidup bersama dapat dibicarakan secara diskursif, komunikatif dan rasional di ruang publik. Karena negara sudah menjamin kebebasan berpendapat, berekspresi, secara etis bagi semua warga negara.
Kebebasan berpendapat dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Semoga masyarakat kita tambah dewasa dalam menggunakan media sosial, juga bernarasi di media social. Sebagai penutup artikel ini saya mengutip pandangan Gus Dur, “Kalau Anda tidak ingin dibatasi, janganlah Anda membatasi. Kita sendirilah yang harusnya tahu batas kita masing-masing”. [T]
Penulis: Ahmad Sihabudin
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisAHMAD SIHABUDIN