Prolog
Melalui pendidikan, seseorang berkesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus mengasah keterampilan bahkan sikap mental sebagai bekal dalam kehidupan. Semua adalah proses yang terstruktur pada karakteristik manusia yang kompeten, unggul, berdaya saing serta bermanfaat.
Salah satu faktor yang memiliki peran sangat penting adalah guru sebagai pendidik para murid yang siap belajar. Sehebat apa pun fasilitas yang ada, seluar biasa kurikulum yang disediakan serta model dan sistem belajarnya, namun tanpa dikelola oleh guru yang mumpuni, akan terasa sia-sia.
Mengapa demikian? Karena guru hadir untuk ‘mengasah’ dan ‘memanusiakan’ manusia, yakni anak-anak peserta didiknya. Mendidik hakikatnya adalah mengajarkan pengetahuan, membimbing kecakapan, sekaligus mengarahkan pada nilai-nilai yang semestinya dimiliki. Dalam konteks Indonesia, keberadaan dan peranan guru sesungguhnya tidaklah dimulai dari saat bangsa ini menyatakan diri lepas dari belenggu penjajahan pada 17 Agustus 1945. Jauh dalam rentang waktu sebelumnya, kehadiran dan sosok guru sudah mendapatkan perhatian tersendiri. Seperti apa dan bagaimana proses ‘mencetak’ guru di masa silam, khususnya di era kolonial? Berikut kisahnya!
Sekolah, Kursus dan Magang: Tiga Jalan Menjadi Guru
Menjadi guru pada masa Hindia Belanda memiliki kisah unik tersendiri, terutama untuk kaum pribumi. Pasca kebijakan politik etis mulai tahun 1901, terdapat upaya pemerintah kolonial untuk meningkatkan jumlah sekolah bagi kaum pribumi, meskipun secara kualitas, akan sangat bervariasi tergantung dari etnisitas, kedudukan, kekayaan dan kefasihan dalam menggunakan Bahasa Belanda. Akibat dari bertambahnya jumlah sekolah adalah meningkatnya kebutuhan akan guru, di mana untuk itu, maka pemerintah kolonial membuat sekolah serta kursus pendidikan guru kaum pribumi yang disesuaikan dengan tipe sekolahnya – khususnya pendidikan tingkat dasar – yakni sekolah berpengantar bahasa Belanda dan bahasa Melayu atau lokal suatu daerah.
Mengutip dari Kurniawati dan Santosa (2023) serta Nurhakim, Pramuharam, dan Birsyada (2025), maka seseorang menjadi guru di era kolonial Belanda dapat melalui tiga jenis bentuk pendidikan, yakni sekolah, kursus atau magang, yang masing-masingnya memiliki persyaratan bagi calon pesertanya, sekaligus kewenangan yang melekat setelah mengikuti pendidikan tersebut.
Untuk jalur sekolah, terdapat dua jenis, yakni Normaalschool dan Kweekschool. Sekolah yang disebut pertama memiliki masa tempuh belajar selama empat tahun yang mempersyaratkan siswanya adalah lulusan vervolgschool atau tweede inlandschool yang berbahasa pengantar bahasa daerah namun juga diberikan bahasa Belanda. Setelah lulus dari sekolah ini, yang bersangkutan dapat mengajar di kelas tertinggi dari sekolah dasar berbahasa pengantar non-Belanda, Volkschool.
Sedangkan Kweekschool, merupakan sekolah pendidikan guru berbahasa pengantar Belanda, dengan masa tempuh empat tahun ditambah tiga tahun di Hogere Kweekschool (HKS) bagi mereka yang berprestasi tinggi di tingkatan Kweekschool. Sekolah ini hanya menerima lulusan HIS atau Hollandsch Inlandsch School, di mana lulusannya dapat mengajar di HIS. Kekhususan lain dari HKS adalah hanya terdapat dua di Hindia Belanda! Yakni di Purworejo, Jawa Tengah – yang kini menjadi Kompleks SMA Negeri 7 Purworejo – dan di Bandung, Jawa Barat, yang pemanfaatannya menjadi Komplek Kepolisian Kota Besar Bandung.
Untuk jalur kursus, dikenal sebagai CVO atau Cursus voor Volksschool Onderwijzers yang asal pesertanya adalah mereka yang berasal dari vervolgschool atau sekolah lanjutan dari sekolah desa atau volkschool. Kursus ini menggunakan pengantar bahasa daerah, ditempuh selama dua tahun, dan lulusannya akan bekerja sebagai guru bantu di sekolah-sekolah desa. Sedangkan untuk jalur magang, pesertanya sama dengan CVO, yakni berasal dari vervolgschool, mereka akan magang mengajar di sekolah desa di bawah pengawasan mantri guru atau kepala sekolah, di mana pada masa akhir magang, mereka akan diuji oleh penilik sekolah atau Schoolopziener untuk dinyatakan lulus tidaknya, sebelum mereka menjadi seorang guru bantu di sekolah desa.
Ketiga jalur pendidikan guru pribumi – sekolah, kursus, dan magang – memberikan efek besar terhadap banyak aspek. Mereka yang lulusan sekolah memiliki kompetensi yang relatif lebih tinggi dibandingkan yang melalui model kursus. Terlebih lulusan Kweekschool di mana lulusannya tidak saja berfokus pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung tetapi juga keilmuan lain, seperti ilmu ukur, ilmu bumi, ilmu alam, sejarah. Bahkan untuk HKS, mereka secara khusus ditekankan untuk menguasai bahasa Belanda sebagai bagian dari kompetensi pedagogiknya. Sosok guru yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan melainkan juga kemampuan dalam mendidik, menempatkannya sebagai pribadi yang diakui dan dihargai secara sosial dan kultural di masyarakat.
Epilog
Terlepas dari adanya kepentingan atau agenda tersembunyi yang dimiliki pemerintah kolonial, keberadaan guru mulai di tingkat sekolah desa hingga sekolah berbahasa pengantar Belanda, maka guru telah menjadi bagian dari motor perubahan sosial bagi kaum pribumi. Bersekolah berarti kesempatan untuk memperbaiki kualitas kehidupan dan kesejahteraan, meski tetap menghadapi situasi diskriminasi kolonial secara struktural.
Bersekolah menjadi pembuka jendela pengetahuan serta kesadaran bagi anak-anak negeri jajahan, bahwa mereka adalah ‘warga kelas dua’ di negerinya sendiri. Guru telah memberikan pemantik ide dan gagasan yang memerdekakan siswa dari keterbelakangan dan ketidaktahuan, melalui ilmu pengetahuan yang mencerahkan pandangan mereka terhadap dunia. [T]
Penulis: Pandu Adithama Wisnuputra
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: