TIDAK ada yang benar-benar selesai dari sebuah suapan terakhir. Kadang, bukan rasa yang tinggal—tapi seseorang.
Malam itu, 14 Mei 2025, di antara cahaya remang dan kursi makan yang disusun rapat, saya membaca puisi. Bukan di panggung teater, bukan dalam acara sastra, tapi di ruang makan sebuah hotel—tempat rasa dan puisi biasanya tidak saling menyapa. Tapi malam itu, mereka duduk berdampingan.
Aryaduta Bali menginisiasi culinary campaign bertajuk Sapta Rasa—meja bercerita, sebuah perayaan terhadap rasa yang tidak hanya hidup di lidah, tapi juga di ingatan. Dalam semangat itulah saya diminta untuk menciptakan dua puisi yang akan dibacakan di tengah acara makan malam mereka. Bukan puisi lama yang saya pilih, tapi tantangan untuk menulis yang baru. Yang lahir bukan dari arsip, tetapi dari tubuh yang masih segar mengingat. Dari lidah yang masih meneguk sunyi.
Menjawab permintaan ini bukan sekadar menyelesaikan tugas performatif. Ini adalah eksperimen: bisakah puisi dihidangkan seperti makanan? Bisakah ia menghangatkan seperti sup, mengejutkan seperti rempah, dan menyisakan aftertaste seperti kenangan?
Saya mulai dari pertanyaan yang mungkin sederhana: apa itu rasa?
Tapi rasa tak pernah menjawab secara langsung. Ia hadir sebagai isyarat. Ia datang sebagai uap. Kadang ia muncul sebagai kerinduan pada sesuatu yang belum sempat dimengerti. Dan puisi, bagi saya, adalah cara untuk menampung isyarat-isyarat itu.
Maka saya menulis. Dengan pelan, dengan sabar, seperti mengaduk panci yang belum mendidih. Jujur saja, ada keraguan: akankah puisi ini terdengar janggal di antara clinking garpu dan suara tamu undangan?
Tapi ternyata, puisi bisa menemukan ruang di sela suapan.
Mangkuk yang Menyimpan Langit
Ada yang tidak sempat tumbuh
karena terlalu sering dipetik sebelum matang.
Tapi di dalam mulut,
ia tetap manis.
Seperti sup yang dibisikkan
dari tangan ibu
kepada udara.
Rasa, barangkali,
adalah bentuk paling halus dari ingatan.
Kita duduk di ruangan yang terang
dengan gelas berkilau
lalu, tiba-tiba,
terlempar
ke suara genteng waktu hujan,
ke piring plastik biru,
ke lantai yang dingin
dan tangan kecil kita yang diam-diam percaya
dunia bisa dicintai.
Barangkali,
bukan masakan itu yang membuat kita kembali.
Tapi sesuatu yang terselip di dalamnya:
keberanian masa kecil
yang belum tahu bahwa gagal itu nyata,
dan mimpi,
masih boleh disendok
seperti sisa kuah paling terakhir
dari mangkuk yang tak pernah ditinggalkan sepenuhnya.
Rasa tidak pernah usai.
Ia hanya berubah bentuk
menjadi arah.
Dan malam ini,
kita pulang bukan ke rumah—
tapi ke diri kita
yang masih percaya
bahwa satu suapan cukup
untuk mulai lagi.
Puisi ini lahir bukan sekaligus. Ia datang seperti nyala kecil dari tungku lama. Bait demi bait seperti aroma yang hanya muncul jika dapur cukup hening. Dan ketika puisi itu selesai, saya sadar: ia tidak menjelaskan apa-apa. Tapi ia membuka. Seperti jendela ke ruang yang tak pernah benar-benar kita tinggalkan.
Namun sebagaimana rasa tidak hanya berhenti di satu suapan, saya merasa puisi pun perlu diberi satu perjalanan lagi—bukan hanya tentang pulang, tapi juga tentang keberangkatan.
Rasa adalah Rumah yang Bergerak
Sesudah kenyang,
sesudah percakapan selesai,
yang tertinggal
bukan sisa makanan
melainkan bagian dari diri kita
yang tak sempat kita temui
saat sibuk tumbuh,
sibuk berhasil,
sibuk lupa.
Tapi rasa, diam-diam, mencatat.
Di gigitan ketiga,
kita menunduk.
Bukan karena lapar,
tapi karena ada sesuatu
yang memanggil dari dalam diri
yang hampir hilang.
Di sanalah
kita bertemu
keberanian yang tidak keras,
tapi seperti daun salam:
hanya diletakkan,
tidak dimakan,
tapi menyerapkan aroma ke mana-mana.
Mimpi tidak selalu datang lewat tidur.
Kadang, ia muncul dari panci
yang diaduk pelan,
dari dapur yang masih gelap pukul lima pagi,
dari seseorang
yang tak pernah bertanya apakah kita akan berhasil,
tapi terus mengisi piring kita
agar kita cukup kuat
untuk gagal,
dan mencoba lagi.
Maka mari kita pergi,
membawa satu rasa
yang tak bisa dijelaskan
tapi kita tahu—
itu yang akan menyelamatkan kita
saat dunia benar-benar kembali sunyi.
Saya membaca kedua puisi ini di Aryaduta Bali, dalam ruang makan yang tiba-tiba menjadi altar. Tidak ada panggung. Hanya tubuh, suara, cahaya, dan puisi. Tapi di situlah puisi menemukan fungsinya: bukan untuk dikagumi, tapi untuk dikenang. Bukan untuk menjelaskan, tapi untuk menemani.
Dan mungkin, di situlah tempat puisi yang paling wajar: di sela-sela kehidupan yang sedang berlangsung. Di antara gelas yang nyaris kosong, dan sendok yang belum sepenuhnya ditaruh.
Karena malam itu, di meja makan, telah lahir sesuatu yang lain: bukan hanya rasa, tapi kemungkinan bahwa puisi dan masakan bisa sama-sama menjadi cara untuk pulang.[T]
Penulis: Pranita Dewi
Editor: Adnyana Ole