PENDIDIKAN adalah hak semua orang tanpa kecuali, termasuk di negeri kita. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dijamin oleh konstitusi sebagaimana tersebut dalam Pasal 31 UUD 1945. Lebih lanjut diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka pendidikan berfungsi sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Melalui pendidikan, setiap anak bangsa punya kesempatan menjadi pribadi yang unggul dan berdaya saing, sebuah kualitas yang dapat menghindarkan bangsa ini menjadi bangsa yang lemah, bangsa yang dapat diperalat oleh pihak-pihak yang akan memanfaatkan kelemahan tersebut. Melalui pendidikan, kita tidak akan menjadi terjajah oleh kepentingan pihak lain, kita tidak akan disepelekan sehingga bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain dalam pergaulan internasional.
Sejarah pernah membuktikan, bahwa kita merasakan betapa menderita dan direndahkannya ketika berada dalam cengkraman kekuasaan bangsa asing. Sebagai bangsa yang terjajah, kita menjadi budak di negeri sendiri, diperlakukan sebelah mata oleh bangsa lain yang datang sebagai penjajah.
Situasi yang sangat menyedihkan tersebut itu, salah satunya dilanggengkan oleh kolonial penjajah dengan tidak memberikan akses pendidikan! Mereka paham, bahwa akses menuju pendidikan adalah kunci menuju kesejahteraan, dan oleh karenanya dibuat sedemikian hingga untuk memastikan kekuasaan atas negeri yang dinamakannya sebagai ‘Hindia Belanda’ abadi untuk selama-lamanya.
Betul memang, sejak adanya pemikiran tentang Een Eereschuld atau hutang kehormatan yang pada 1899 yang kemudian mengilhami lahirnya kebijakan Ethische Politiek atau Politik Etis pada tahun 1901, ada pandangan bahwa Belanda merasa perlu membayar membayar hutang kepada masyarakat di Hindia karena telah memperbaiki ekonomi negara mereka, di mana pada saat yang sama taraf kehidupan di negeri jajahannya justru tidak sama sejahteranya mereka. Maka melalui politik etis, pendidikan menjadi salah satu bagian selain kebijakan terkait irigasi dan transmigrasi yang menjadi perhatian pemerintah kolonial. Masyarakat bumiputera diberikan akses untuk menimba ilmu pengetahuan melalui pendidikan formal yang difasilitasi oleh pemerintah kolonial.
Nah, bagaimana dengan prakteknya? Pendidikan di era kolonial pasca politik etis memang memberi kesempatan kepada masyarakat. Namun, akses tersebut tergantung pada status sosial dan ekonomi kaum pribumi. Singkatnya, hanya kalangan tertentu yang dapat mengenyam pendidikan layak. Jauh lebih banyak bagi rakyat biasa yang oleh sistem yang ada, yang sulit untuk merasakan hal tersebut, lebih-lebih dengan nuansa segregasi antargolongan yang sudah dibuat.
Akses Pendidikan
Buat mereka yang berdarah bangsawan yang tentunya jumlahnya sangat sedikit, tersedia akses pendidikan dasar yang diperuntukkan bagi orang Belanda atau Eropa, yang setara fasilitas maupun materi belajarnya dengan pendidikan di negeri Belanda, yakni ELS atau Europeesche Lagere School yang ditempuh selama tujuh tahun. Seusai menempuh pendidikan di ELS, mereka dapat melanjutkan pendidikan menengah di HBS atau Hogere Burger School selama lima tahun. Semuanya juga menggunakan bahasa pengantar yakni bahasa Belanda, di mana sangat sedikit dari kaum pribumi yang mampu berbahasa kolonial tersebut.
Bila ELS diperuntukkan bagi orang Eropa dan kaum elit pribumi terbatas untuk mengaksesnya, maka pemerintah kolonial membuka sekolah dasar berpengantar bahasa Belanda khusus kaum bumiputera, yakni HIS atau Hollandsch Inlandsche School. HIS juga diperuntukkan bagi kaum bangsawan, golongan terkemuka serta anak pegawai pemerintahan kolonial, di mana jumlahnya juga sangat sedikit.
Setelah menempuh waktu tujuh tahun, maka berbeda dengan ELS yang melanjut ke HBS, maka pemerintah kolonial ‘membedakan’ model pendidikan menengahnya dengan dua tingkatan, yakni pendidikan dasar diperluas yakni 4 tahun di MULO atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs serta pendidikan menengah, yakni AMS atau Algemeene Middelbare School yang ditempuh selama 3 tahun. Bagian ini, sudah dirasakan perbedaannya. Orang Eropa totok membutuhkan waktu 12 tahun untuk menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya, sedangkan pribumi – meski sama-sama bangsawan dan orang terkemuka – yang tidak berkesempatan studi ELS, harus menempuh selama 14 tahun.
Bagaimana dengan masyarakat pribumi mayoritas? Ini masih harus dibagi lagi, mereka yang dikategorikan kelas menengah bumiputra serta rakyat jelata. Mereka yang berasal dari kelas menengah yang tidak atau belum dapat berbahasa Belanda, disediakan sekolah dasar bernama Tweede Klasse atau Tweede Inlandsch School dengan bahasa pengantar adalah bahasa Melayu dengan kurikulum membaca, menulis dan berhitung sehingga dapat bekerja pada administrasi kolonial. Pendidikan ini ditempuh yang awalnya 3 tahun menjadi 5 tahun. Untuk dipersamakan menjadi layaknya lulusan HIS, maka lulusan sekolah ini harus melanjutkan lima tahun lagi di Schakel School.
Bagi anak-anak yang tidak tinggal di ibu kota kabupaten atau kawedanaan/ kecamatan, maka terdapat pilihan yakni Volkschool dengan masa belajar tiga tahun, dengan mempelajari cara membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Untuk mereka yang sangat berprestasi, dimungkinkan untuk melanjutkan ke Vervolgschool atau sekolah peralihan selama dua tahun, dan untuk disetarakan dengan lulusan HIS, maka perlu melanjutkan ke Schakel school. Secara keseluruhan, membutuhkan waktu 17 tahun untuk menyelesaikan rangkaian pendidikan dasar dan menengahnya. Pada saat lulusan ELS membutuhkan waktu dua belas tahun belajar, dan HIS sebanyak empat belas tahun.
Melalui gambaran di atas – meski baru menjelaskan mengenai pendidikan dasar dan menengah – menunjukkan kerumitan, ketimpangan dan memprihatinkannya akses pendidikan bagi kaum pribumi. Kebijakan Politik Etis mungkin terlihat bahwa Kerajaan Belanda adalah negara kolonial yang peduli, namun yang terjadi adalah usaha untuk mempertahankan langgengnya kekuatan kolonial. Sangat sulit untuk kaum pribumi yang tidak bisa berbahasa Belanda untuk dapat menikmati pembelajaran layaknya orang Eropa kebanyakan.
Mereka yang dapat berbahasa Belanda tentunya hanya berasal dari sedikit kelompok masyarakat pribumi yang berinteraksi secara umum dengan orang Belanda atau Eropa kebanyakan. Struktur masyarakat yang didesain untuk membedakan antara orang Belanda, Eropa serta warga pribumi semakin memperbesar jarak sosial dan menghilangkan kesempatan untuk berinteraksi secara setara dan intens. Ketika itu terjadi, maka jelas semakin sulit berbahasa Belanda, yang berarti semakin jauh pula dari akses untuk ke sekolah-sekolah berbahasa pengantar bahasa Belanda, yang ini juga berarti menurunkan kesempatan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan keluar dari jerat keterjajahan, baik secara material maupun mental.
Politik Etis Menuju Pergerakan Nasional
Tentu saja, kita tidak boleh menafikkan bahwa adanya politik etis telah memberikan kesempatan mobilitas vertikal bagi anak jajahan. Tapi yang menarik adalah, politik etis tanpa disadari telah berdampak pada lahirnya kesadaran akan ilmu pengetahuan sebagai kekuatan yang luar biasa untuk melakukan perubahan bagi bangsa.
Memang hanya sebagian kecil dari kaum pribumi yang berkesempatan untuk mendapatkan pengalaman belajar. Namun, dari jumlah yang sangat sedikit itu, banyaklah yang memahami bahwa sehebat dan secerdas mereka, tetaplah anak negeri yang terjajah. Sehingga dimulailah sebuah masa dalam historiografi Indonesia yang baru yakni masa Pergerakan Nasional.
Beberapa tokoh yang mendapatkan pendidikan tinggi menjadi perintis dan penggerak perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan adalah dr. Soetomo, Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan beberapa tokoh lainnya. Pendidikan telah mencerahkan untuk mengorganisir diri untuk memperbaiki kualitas kehidupan, mulai dari yang awalnya bersifat kedaerahan atau kebangsawanan, hingga nantinya akan memperjuangkan sebagai satu kesatuan tanah air, tanpa memandang daerah asal dan status sosial masing-masing.
Belajar dari masa lampau, tentunya kita semakin bersyukur bahwa sebagai negeri yang merdeka, negara terus berproses untuk meningkatkan kualitas pendidikan warganya. Tentu saja tidak ada yang langsung sempurna dalam prosesnya, akan selalu ada berbagai dinamika yang menyertainya. Menjadi penting untuk selalu terbuka dan melibatkan seluruh anak bangsa untuk berpartisipasi dalam proses penyempurnaan itu sendiri. Belajar dari masa silam adalah salah satu cara dalam berkontribusi menyempurnakan apa dan bagaimana yang terbaik untuk pendidikan di negeri ini. Pendidikan yang membangkitkan kesadaran untuk menjadikan anak-anak negeri ini unggul, mampu berdaya saing tinggi, dan mencintai negeri ini dengan semangat yang tak pernah pudar. [T]
Penulis: Pandu Adithama Wisnuputra
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: