ETNIS Baduy adalah satu kesukuan yang sangat banyak menyimpan misteri karena ketertutupannya begitu lama. Secara sengaja mereka mengasingkan diri dari dunia luar untuk menghindari pengaruh negatif budaya modern yang mereka anggap akan merusak bahkan merugikan masa depan kesukuannya. Tugas dan kewajiban utama kesukuan mereka untuk selalu menjaga dan memelihara keharmonisan serta keseimbangan alam sesuai dengan pikukuh karuhun yang mereka yakini.

Dengan memperhatikan alur perjalanan sejarah kesukuan Baduy seperti di atas, maka sangat disadari kalau setiap penjelasan-penjelasan sekitar dan seputar etnis Baduy ini selalu berada dalam takaran kekuranglengkapan, baik dari segi data maupun informasi. Satu diantaranya adalah penjelasan tentang “ Pemukiman Suku Baduy”.
Dari beberapa penjelasan yang sudah beredar secara umum dan hampir senada bahwa pemukiman suku Baduy itu berada dan tersebar di dua wilayah, yaitu di wilayah Baduy Dalam dan di wilayah Baduy Luar. Informasi dan fakta ini memang benar adanya. Namun bila diselusuri secara lebih mendalam dengan kenyataan yang ada masih dipandang ada hal yang tertinggal, dengan kata lain masih kurang lengkap.
Mengapa demikian? Karena di beberapa penjelasan buku Baduy belum dilengkapi dengan penjelasan pemukiman Baduy yang lainnnya, yaitu pemukiman Baduy Kompol dan pemukiman khusus Kampung Cicakal Girang yang notabene kedua perkampungan tersebut merupakan perkampungan yang diakui dan termasuk pada pemukiman suku Baduy yang sangat legal.
Sementara pada buku tertentu menjelaskan bahwa perkampungan Cicakal Girang tidak termasuk pada kampung yang berada di dalam wilayah tanah ulayat Baduy. Padahal secara resmi menurut peta yang ada pada Perda No 32 tahun 2001 menunjukkan bahwa kampung Cicakal Girang termasuk dan diakui secara sah sebagai salah satu kampung yang berada di kawasan tanah ulayat Baduy, dan secara administratif tercatat juga sebagai kampung yang ada di Desa Kanekes yang merupakan desa tempat suku Baduy tinggal.
Oleh karenanya, penulis memandang bahwa kedua pemukiman Baduy itu sangat penting untuk segera dipublikasikan secara resmi melalui tulisan pendek ini dengan tujuan dan harapan untuk lebih memperjelas dan memperlengkap informasi-informasi yang sudah ada, baik untuk masyarakat umum terlebih lagi bagi para pemerhati, pencari informasi dan peneliti kesukuan Baduy. Serta tidak kalah pentingnya adalah bagi para petinggi pemerintah sebagai pengambil keputusan agar tidak salah dalam memberikan dan menerapkan program-program unggulan pembangunan baik secara fisik maupun non fisik.
Siapakah dan di Manakah Baduy Kompol itu?
Kompol, adalah sebutan nama dan wilayah yang didiami oleh sekelompok etnis Baduy yang berada di luar tanah ulayat Baduy, akan tetapi secara resmi tetap diakui sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kesukuan Baduy. Secara administratif Kampung Kompol tersebut berada di wilayah Pemerintahan Desa Sangkanwangi, Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Kelompk ini menempati ruang dan tempat di RW 08 yang terbagi menjadi 5 RT yaitu RT 01 di Kompol 1, RT 02 di Kompol 2, RT 03 Kampung Cikareo, RT 04 di Kampung Cepak Buah dan RT 05 di kampung Cicengal.
Luas wilayah pemukiman khusus untuk warga Baduy tersebut ± 25 hektare dengan jumlah penduduk 423 jiwa, jumlah KK 174 (data akhir tahun 2008). Tahun 2019 bertambah menjadi 672 jiwa dan 213 KK, dan di awal tahun 2025 bertambah sekitar 800 jiwa 251 KK. Jarak dari kampung Kaduketug sebagai pusat pemerintahan Desa Kanekes ke Kompol ± 6 KM dan berada diposisi sebelah utara tanah ulayat Baduy.
Menurut pengakuan dan penjelasan dari tokoh adat Baduy, tanah awal pemukiman Baduy Kompol adalah merupakan Bunderan Wilayah Adat yang dibatasi atau dikelilingi oleh Cigunung, Cikolear, maju ke Kamancing, Cisimeut, Muara lalu nyambung ke Tanah Dangka Cibengkung (Parung Kujang) yang kemudian dinamakan Dangka Garukgak.
Karena adanya perubahan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman, maka pemukiman Baduy Kompol sekarang sudah terjadi pergeseran dan perubahan baik luas wilayah, pranata sosial, juga pemindahan wilayah secara adiministratif seperti penjelasan di atas. Pemukiman Baduy Kompol ini sekarang tidak hanya dihuni oleh warga Baduy saja tapi telah dicampur dan tercampur oleh warga masyarakat luar Baduy yang berkeyakinan berbeda dengan mereka. Maka tidaklah heran dan wajar di pemukiman ini sedang terjadi “akulturasi budaya”.
Secara khusus warga Baduy yang diakui keberadaannya sebagai bagian dari kesukuan Baduy adalah warga yang masih taat dan patuh melaksanakan segala Amanat Wiwitan Baduy, baik pola kehidupan sehari-hari, kegiatan dan upacara adat serta keyakinan agama Slam Sunda Wiwitan sesuai dengan “Kesepakatan dan Perjanjian“ antara pemuka adat ke-Puun-an Cikeusik dengan Nini Hujung Galuh sebagai leluhur awal Baduy Kompol yang meminta izin mendirikan atau hidup mandiri dengan cara memisahkan diri dari wilayah Cikeusik.
Keluar wilayah tanah adat, dengan catatan segala tatacara dan pola kehidupan tetap mengabdi dan menginduk pada adat istiadat dan budaya Baduy kepuunan Cikeusik. Keturunan Nini Hujung Galuh ini kini bermukim di lingkungan RT 01 yang disebut Kompol satu dan di RT 02 yang disebut Kompol dua.
Menurut cerita babad tanah leluhur Baduy tentang Baduy Kompol memang cukup panjang dan menarik karena merupakan cerita rakyat yang diakui kebenarannya dan ada faktanya.
Secara singkat Jaro Sami yang menjabat Jaro Tangtu Cibeo dan Ayah Mursid menjelaskan bahwa :
“Komunitas Baduy Kompol itu adalah keturunan asli dari seorang anak tokoh adat kepuunan Cikeusik yang bernama Nyi Hujung Galuh yang memiliki sifat dan prilaku yang berbeda dengan warga perempuan lainnya serta memiliki kelebihan-kelebihan.
Sepak terjangnya terkadang memusingkan, membingungkan dan membuat gaduh situasi karena prilakunya sering bertentangan dengan hukum adat, maka demi keselamatan kenyamanan situasi dan kondisi di ke-Puunan Cikeusik maka Nyi Hujung dipanggil dan ditanya oleh Pemuka Adat tentang keinginan dan harapannya.
Hasil dari pertemuan dan musyawarah tersebut terungkap 3 hal penting yaitu Nyi Hujung merasa pikiran, keinginan dan perasaannya tidak sejalan dan tidak sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada ( adanya pertentangan Batin), Nyi Hujung dianggap memiliki kelebihan dan kemampuan untuk hidup mandiri dengan keyakinannya, demi kebaikan dan menghormati keinginan dan harapannya maka Tokoh Adat bersepakat dan memutuskan untuk mengizinkan dan merestui Nyi Hujung Galuh untuk keluar dari Wilayah Hukum Adat Cikeusik ke wilayah di luar Baduy dengan beberapa Syarat dan Perjanjian “.
Menurut Ayah Mursid beberapa kesepakatan dan perjanjian tersebut yang penting di antaranya adalah :
1.Nyi Hujung Galuh bersama pengikutnya direstui dan dizinkan keluar dari Komunitas Adat Baduy Dalam Kepuunan Cikeusik ke luar Baduy dengan syarat :
- Tetap menjalankan syareat atau Tatanan Hukum Adat seperti warga Baduy Luar misalnya hidup sederhana, bentuk rumah Nyulah Nyanda, melakukan kegiatan dan upacara adat, dan tetap taat patuh terhadap agama Slam Sunda Wiwitan.
- Tempat bermukim harus di wilayah ke-Dangka-an yang diakui komunitas adat Baduy yaitu di Dangka Garukgak ( Kompol sekarang ).
- Penertiban terhadap pelanggaran adat dan hukuman dilaksanakan atau diurus oleh Jaro Tujuh.
- Kehidupan tidak bebas seperti masyarakat umum, harus tetap menghormati nilai-nilai adat istiadat Baduy.
2.Khusus untuk pelaksanaan upacara adat Kawalu, 2 kali pelaksanaa menginduk ke Baduy Dalam Cikeusik sebagai leluhurnya yaitu pada bulan Kasa tanggal 17 dan bulan Karo tanggal 18, satu kali dilaksanakan sendiri yaitu pada bulan Katiga penanggalan Baduy.
3. Pada acara Seba tahunan mereka pun diwajibkan untuk ikut serta baik perorangan maupun perwakilan.
4. Untuk kasus-kasus atau kebutuhan-kebutuhan tertentu misalnya tentang pernikahan, proses pindah keluar–masuk ke kampung pemukiman Baduy Luar diserahkan pada kemupakatan.
Ketika penulis tanya kapan kira-kira kejadian Nyi Hujung Galuh pindah ke luar Cikeusik ? Ayah Mursid menjawab dengan singkat dan bijaksana : “ Tah dipalebah dieu kalemahana di Baduy teh, teu bisa ngabuktikeun catetan waktu anu pas sabab teu diwenangkeun aya budaya tulis. Ngan nu penting mah carita Kompol jeung kanyaataan katurunan Nyi Hujung Galuh bisa dibuktikeun ayana sasuai jeung kelompok masyarakat nu aya di pamukiman kompol ayeuna “.
Artinya : Nah di sinilah satu kelemahan yang ada di Baduy, tidak bisa membuktikan catatan waktu yang tepat karena tidak diperbolehkan adanya budaya tulis. Cuma yang terpenting bahwa cerita tentang Baduy Kompol dengan kenyataan keturunan Nyi Hujung Galuh bisa dibuktikan keberadaanya sesuai dengan kelompok masyarakat yang ada di pemukiman Baduy Kompol sekarang. [T]
Di tulis di Padepokan Sisi Leuit Perbatasan Baduy, 2025
Penulis: Asep Kurnia
Editor: Adnyana Ole
- BACA esai-esai tentangBADUY
- BACA esai-esai lain dari penulisASEP KURNIA