TANGAN lelaki itu bergerak lincah. Gunting diayunkan dengan presisi penuh perhitungan. Sesekali sisir disapukan dengan halus, merapikan rambut pelanggan yang duduk dengan tenang, tanpa protes, seperti menyerahkan diri pada si tukang cukur itu.
Lelaki si tukang cukur itu adalah Ketut Sri Gunadika. Usianya 51 tahun, dan pandangannya sangat celang, tertuju pada helai demi helai rambut sang pelanggan.
Sri Gunadika bekerja di gerai sederhana miliknya sendiri. Gerai potong rambut itu ia namai Potong Rambut Damarwulan. Lokasinya di Gang Damarwulan, Kelurahan Banyuning, Singaraja, Buleleng-Bali.
Kletak-kletak. Itu bunyi khas gunting beradu dengan sisir. Bunyi itu mengisi ruang kecil di gerai yang kecil, dan menjadi irama harian yang telah dilakoni Sri Gunadika selama 29 tahun.
Di balik kursi pangkas itu, tubuhnya duduk tegap, meski kaki kanannya sudah tak lengkap, direnggut sebuah kecelakaan bertahun silam.

Sri Gunadika sedang mencukur rambut pelanggan | Foto: Puja
Keahlian pangkas rambut ini bukan didapat dari sekolah khusus, melainkan secara otodidak. Bibitnya muncul sejak ia duduk di bangku SMP. Saat sekolahnya mengadakan razia rambut gondrong, banyak teman yang enggan dicukur di sekolah karena hasilnya seringkali acak-acakan. Melihat itu, Sri Gunadika menawarkan diri untuk memangkas rambut teman-temannya yang berantakan, namun hal itulah yang kemudian dilakoninya hingga kini.
“Habis kena razia, rambut teman berantakan, lalu saya bilang, ‘Sini saya cukurin’. Di situlah mulai awalnya,” kenang Sri Gunadika sambil tersenyum.
Lulus SMP tahun 1990, keterbatasan biaya memaksanya mengubur impian melanjutkan sekolah. Ia memilih merantau ke Bali selatan, bekerja sebagai kuli bangunan. Namun, keahlian memangkas rambut tak pernah ia tinggalkan. Setiap hari libur, ia melayani permintaan teman sesama kuli yang ingin potong rambut, dibayar seiklasnya. Pengalaman itu adalah kesempatan berharga untuk terus mengasah kemampuan di bidang cukur-mencukur rambut.
Tahun 1993 menjadi titik balik yang mengubah total jalan hidupnya. Saat hendak pulang kampung dari Denpasar untuk piodalan di Pura Gede Pemayun, Banyuning, keraguan dan pikiran kosong menyelimutinya di tengah perjalanan. Hilang fokus saat berkendara, kecelakaan nahas tak terhindarkan.
“Sudah dekat antara Buleleng dengan Badung, sudah di tengah-tengah muncul rasa ragu. Akhirnya kecelakaan. Begitu sadar saya sudah di rumah sakit,” ungkapnya lirih saat ingat tragedi tersebut.
Kecelakaan itu merenggut kaki kanannya. Kaki itu patah dan harus diamputasi, dan ia kehilangan salah satu tumpuannya secara permanen. Kini, ke mana-mana, termasuk ke tempat kerjanya untuk mencukur, ia terpaksa menggunakan tongkat demi menjaga keseimbangan tubuhnya.
Membaca Bhagawad Gita
Musibah itu sempat menjerumuskannya dalam keputusasaan mendalam. Namun ia bertekad tak boleh menyerah. Selama setahun penuh, ia berjuang keras memulihkan fisik, juga memulihkan kondisi mentalnya. Kekuatan untuk bangkit ia temukan dalam lembar-lembar suci Bhagavad Gita, yang ia baca dan tulis ulang.
“Setiap saya baca Bhagavad Gita rasanya seperti tenang. Cerita yang paling saya ingat adalah saat perang Bharatayuda, Sang Arjuna nampak kebingungan untuk membunuh lawannya sebab lawannya adalah keluarganya sendiri. Hal itu serupa dengan yang saya alami, karena bingung putus asa merasa saya hidup tidak ada gunanya,” ungkapnya.

Sri Gunadika sedang mencukur rambut pelanggan | Foto: Puja
Setelah pulih, ia punya niat kembali merantau. Namun ia urungkan niat itu. Teman-temannya mendorong Sri Gunadika untuk membuka usaha pangkas rambut di kampung halaman. Ia pun mengikuti saran teman-temannya.
Dukungan pun mengalir, termasuk suntikan modal awal dari para sahabat. Usaha pangkas rambut Damarwulan pun resmi dirintis tahun 1996. Kala itu, tarif yang dipatoknya hanya Rp 500 per kepala.
“Karena teman-teman puas dengan hasil potongan gunting saya, mereka ikut mempromosikan. Awalnya seperti itu, tidak seperti sekarang bisa share lewat Facebook, lewat medsos. Kalau dulu kan dari mulut ke mulut,” imbuhnya.
Meskipun terletak di gang kecil, dikepung oleh setidaknya 15 barbershop modern di Banyuning, Sri Gunadika mampu mempertahankan pelanggannya. Kualitas potongan rambut konvensional menjadi kunci keberhasilannya. Melayani rata-rata 30 pelanggan setiap hari dengan tarif Rp 15 ribu per kepala. Sehingga, bisa dihitung, sejak tahun 1996, Sri Gunadika barangkali sudah mencukur 200 ribu orang.

Sri Gunadika | Foto: Puja
Buah dari kegigihannya terlihat nyata pada kedua anaknya. Berkat jerih payahnya, anak pertama berhasil menamatkan pendidikan Diploma 3 di bidang Manajemen Informatika, sebuah bekal berharga untuk masa depannya.
Sementara itu, anak keduanya telah menapaki jalan kemandirian dengan bekerja di sektor pariwisata. Keberhasilan kedua anaknya ini menjadi bukti Ketut Sri Gunadika telah menjalankan perannya sebagai kepala keluarga dengan sangat baik, memastikan pendidikan dan masa depan mereka terjamin. [T]
Penulis: Komang Puja Savitri
Editor: Adnyana Ole
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
- BACA JUGA: