BARU-BARU ini, Bill Gates kembali melontarkan pernyataan yang cukup mengagetkan. Salah satu orang terkaya di dunia itu mengatakan, teknologi kecerdasan buatan (AI) yang semakin berkembang, dapat menghilangkan profesi guru dan dokter dalam sepuluh tahun ke depan.
Dalam banyak hal, Gates sering benar. Contohnya saat ia mengkritik dunia yang tak siap jika tiba-tiba terjadi wabah. Sebagai orang cerdas dan memahami algoritme, tentu co-founder perusahaan raksasa Microsoft tersebut tidak asal bacot. Banyak negara dan para ilmuwan boleh saja bereaksi negatif dan menyerang Gates dengan berbagai tuduhan, namun faktanya kemudian, dunia meratapi penderitaan akibat pandemi Covid-19 yang tak kenal belas kasihan.
Namun saya kurang yakin dengan ramalannya mengenai masa depan profesi dokter dengan hadiranya teknologi kecerdasan buatan. Ini bukan karena saya adalah seorang dokter lho ya, hehehe.
Gagasan tersebut, cukup mudah didebat, saat kita menyadari teknologi sehebat apapun takkan mudah dapat menggantikan sentuhan humanisme. Robot secanggih apapun, belum dapat memenuhi sikapnya dengan elemen empati dan simpati yang diperlukan oleh orang-orang sakit. Itulah mengapa secara intuitif, para filsuf merumuskan definisi kedokteran itu adalah sains dan seni, medicine is science and art.
AI akan dengan sangat mudah mengambil alih pekerjaan-pekerjaan fisik dan mekanik namun takkan semudah memenuhi unsur seni dari pelayanan medis. Boleh saja sebentar lagi mobil tak butuh sopir atau pesawat terbang tak memerlukan pilot atau semua layanan publik bisa digantikan secara online, namun bagian art dunia kedokteran adalah sebuah keniscayaan hubungan antar manusia. Dengan segenap elemen kepedulian, simpati, empati dan emosi. Taruhlah, tak lama lagi berbagai pemeriksaan penunjang (lab, pencitraan dan lain-lain,) bahkan pembedahan dapat dengan mudah dikerjakan oleh teknologi robotik dan sarana canggih, namun sisi psikologi seorang manusia biasa, rasanya takkan begitu saja dapat dipuaskan secara virtual maupun artifisial.
Bahkan di belahan negara-negara Asia, yang mulai diikuti juga oleh bangsa-bangsa barat, terapi medis semakin banyak dipadukan dengan model pengobatan komplementer. Suatu metode pengobatan dengan pendekatan biopsikokultural bahkan spiritual. Elemen-elemen yang tentu saja adalah sebuah antitesa dari kecanggihan teknologi. Kalau saja manusia hanya mengandung elemen fisis semata, saya yakin AI akan menjadi solusi efektif dan presisi. Namun faktanya, dalam tubuh manusia ada unsur-unsur kompleks yang terbentuk dari elemen-elemen psikologis maupun spiritual yang terbangun dari budaya masyarakat yang sedemikan beragam.
Maka dalam hal ini, kehadiran AI semestinya bukan menjadi ancaman bagi profesi dokter. Saat semakin banyak tugas-tugas mekanik bisa digantikan oleh teknologi, merupakan kesempatan lebih banyak bagi para dokter untuk kemudian memberikan sentuhan humanisme kepada para pasien, yang belakangan ini dinilai cenderung menurun oleh masyarakat.
Pandangan tersebut, saat ini dikonfirmasi oleh sebuah fakta dari negara sekelas Jepang yang terdepan dalam teknologi pengganti manusia, namun masih terus mengimpor tenaga paramedis untuk melayani warga lansianya (geriatri.) Bukti bahwa manusia apalagi lansia atau difabel, tak cukup dipenuhi kebutuhan biopsikologisnya hanya dengan kecanggihan teknologi terhebat saat ini. Mereka membutuhkan energi yang bersifat biologis pula, bukan hanya fisis, yang oleh sel-sel tubuh, jaringan, organ maupun sistem organnya dipindai secara spesifik bahkan berbeda antara satu individu dengan individu yang lain.
Maka sisi art dari kedokteran tampak eksis dalam hal ini. Secara sederhana dapat diungkapkan, tulang kaki yang patah dapat disambung dengan AI namun rasa sedih, cemas dan takut memerlukan kasih sayang dan kepedulian sesama manusia, yaitu para dokter dan perawat. Hanya jika pada suatu saat, cinta sudah tidak diperlukan lagi di dunia ini, maka pada saat itulah dokter sudah tidak diperlukan juga. [T]
Penulis: Putu Arya Nugraha
Editor: Adnyana Ole
Klik BACA untuk melihat esai dan cerpen dari penulis DOKTER PUTU ARYA NUGRAHA