DALAM membuat musik atau lagu, teknologi yang sekarang terus berkembang seharusnya membuat semua orang tambah kreatif. Tinggal mempelajari bagaimana musik bisa diolah dengan perkembangan teknologi yang sudah ada sekarang, bisa dimanfaatkan sebaik mungkin sekarang.
Pemahaman semacam itu muncul dalam acara Denoise Berbagi Cerita Bersama Dwarsa Sentosa dalam Bahasan Menarik Musik Elektronik : Composing mixing editing eksport stems squencer di Kedai Umah Pradja, Singaraja, Jumat malam, 2 Mei 2025.
Seorang produser musik, sekaligus musisi dan penulis lagu asal Bali Utara—yang dikenal lewat pendekatan musik eksperimental dalam dunia musik elektronik—Dwarsa Sentosa, menjadi pembicara dalam acara itu. Ia memberi teknik bagaimana seharusnya bergelut di balik pembuatan musik, yang tidak mesti banyak ritual.
Agar tidak bingung, untuk mempermudah pemahaman orang lain tentang musik, ia menganalogikakan produksi musik sama seperti sebuah pabrik dan musik sama seperti sebuah properti. Sedang pertunjukan musik ia umpamakan seperti pertunjukan sebuah teater.
“Pertunjukan musik adalah teater. Ini sangat penting bahwa apa yang kita produksi sebelumnya dan nanti kita pertunjukkan atau persembahkan di panggung ini. Itu adalah sebuah teater,” kata Dwarsa.
Bukan hanya musik, kata Dwarsa, apa pun yang ada di panggung nanti adalah sebuah skenario yang kita, atau sekelompok orang, jabarkan kepada penikmat di dunia. Musik adalah produk. Ia dimasak, ia diotak-atik hingga menjadi bentuk—yang lezat didengar khalayak ketika dipersembahkan di atas panggung.
“Nah, produksi musik, kenapa kita bilang pabrik? Karena ciptaannya adalah sebuah produk audio. Tentunya kita melalui proses dalam sebuah pabrik, cuma bedanya kita kerjanya di studio, bisa juga dengan laptop. Kemudian musik kenapa di sini bisa menjadi properti?” kata Dwarsa Sentosa.

Beberapa Audiens sedang menyimak diskusi tentang musik | Foto : tatkala.co/Rusdy
Walaupun musik tidak berwujud (fisik), tapi keberadaannya bisa dirasakan. Bahkan kehadirannya juga bisa menjadi seperti sebuah aset penting. Bisa dijual. Atau nanti satu waktu, jika ia menjadi viral, misalnya, tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan materi yang cukup.
Walaupun musik tidak berbentuk fisik, ia bisa dipertunjukkan. Selain itu, musik juga tahu diri caranya balas budi—nanti. Tapi persoalannya, bagaimana ritual dalam membuat musik itu sendiri di zaman sekarang—yang penuh persaingan, bahkan dengan AI sekalipun.
“Yang lebih penting itu adalah menjadikan karya dulu. Kalau mastering kan sudah post production sebenarnya. Setelah menjadi lagu dulu nanti nanti kita lanjut proses mastering. Di sanalah sebuah proses kreatif dalam produksi musik bisa dilakukan. Digenjot,” kata Dwarsa.
Penyanyi “Sampai Tua Jadi Gila” itu juga menekankan kepercayaan diri pada audiens, bahwa tidak ada aturan baku dalam proses kreatif—dalam bermusik. Apa duluan, apa duluan, dan apa selanjutnya, misalnya. Tidak ada. Gas saja buat.
“Karena seni (musik) sama dengan melukis juga, enggak ada aturan. Kalian mau pakai garis pinggir, mau enggak pakai garis pinggir, mau pakai warna merah semuanya juga boleh. Enggak ada batasan pokoknya,” jelas Dwarsa.
Vibes Musik—dalam Perasaan si Pembuat
Mood atau keadaan perasaan semacam apa yang muncul ketika kita membuat musik atau lagu? Perasaan apa yang memiliki pengaruh cukup kuat dalam proses kreatif si musisi? Dwarsa Sentosa mengakui, saat membuat musik, mood menentukan proses composing. Inilah yang ditentukan lebih dulu sebagai wacana besarnya.

Beberapa Audiens sedang menyimak diskusi tentang musik | Foto: tatkala.co/ Rusdy
Kondisi perasaan, senang atau jatuh cinta atau marah, atau ngambek, dapat menjadi amunisi atau energi. “Tentang cinta misalnya, atau tentang sebuah kekaguman kepada alam ataupun sebaliknya, keprihatinan terhadap alam,” katanya.
Semua itu, kata Dwarsa, dapat meringankan dalam proses menentukan sketsa berupa kunci progresi kunci atau chord. Misalnya mau dibawa ke minor, atau dominan untuk lagu-lagu yang sedih. Atau mayor nanti untuk ke lagu-lagu yang ada sebuah kekaguman di dalamnya.
Bagian yang selanjutnya adalah menambahkan melodi utama. Menentukan melodi utama bisa dilakukan sebagai hook, atau bagian yang menarik bagi si pendengar sebelum ke tahap yang lain.
Sehingga dalam proses itu, dapat ditentukan poin yang paling penting yang mana kira-kira bisa dinikmati, minimal bisa dirasakan oleh sendiri sebelum ke tahap yang lebih serius—untuk khalayak.
“Selanjutnya setelah menemukan melodi utama, baru selanjutnya, aku, biasanya membuat atau menentukan tempo dulu. Tempo itu belakangan aku lurusin karena setelah jadi melodi ada perubahan tempo biasanya,” jelas Dwarsa Sentosa.
Kemudian setelah memilih tempo yang sudah mantap, kata Dwarsa, barulah menggali referensi sebagai tambahan amunisi si lagu atau musik. Mencari referensi-referensi yang ada sekarang dapat diamati, dapat dijadikan acuan.
Sedang dalam proses kreatif membuat lagu, Dwarsa sendiri masih standar dalam menggunakan alat-alat dapurnya. Seperti laptop, speaker, mic, audio interface, dan beberapa aplikasi pendukung.
“Tapi kalau dilihat dari zaman, sekarang sudah bisa buat lagu yang oke hanya modal HP. Bahkan kalau niat, bisa jadi lagu yang matang juga,” lanjut Dwarsa meyakinkan begitu canggih zaman sekarang, dan musisi yang perlu berpikir menggunakannya sebagai alat penting, alat bantu.
Ia juga bercerita, di tengah banyak teknologi pendukung terkait proses editing, rekaman itu bahkan tak mesti pergi ke studio, atau menunggu waktu spesial untuk pergi ke sana.
Rekaman bisa dilakukan di mana saja. Di dalam mobil, di kafe dekat dapur, atau di mana saja. Ini hanya soal nyali dan seberapa kreatif si musisi dalam soal waktu dan teknis dengan si alat.
Ketika rekaman di dapur rekaman, terjadi ada suara-suara yang tidak diinginkan masuk, seperti suara jalan karena dapur dekat jalan. Atau suara batuk manusia, suara manusia sedang menggoreng ikan atau memasak kopi.
Kebocoran suara itu bisa dicabik-cabik, atau dihilangkan noise-noise semacam itu dengan alat pendukung ketika proses composing.

Dwarsa Sentosa sedang mempresentasikan bagaimana proses kreatif membuat musik atau lagu | Foto: tatkala.co/Rusdy
“AI itu canggih, tapi manusia jauh lebih kreatif. Dan ketika zaman sudah semakin canggih ini, dan orang-orang masih saklek membuat musik harus pergi ke studio, sebagai cara satu-satunya. Itu terlalu kolot,” kata Dwarsa.
Dan itu bisa menjadi masalah besar. Memanfaatkan teknologi sekarang itu sangat penting, agar proses kreatif kita terus berjalan, tidak terhenti oleh sebuah masalah—tidak punya waktu pergi ke studio. [T]
Repoter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: