BUS bergerak pelan, terkadang sangat perlahan, membuat kami yang duduk di dalamnya bisa dengan leluasa melihat keluar—lewat jendela—pemandangan ramai kota. Rumah-rumah, gedung, taman, pusat perbelanjaan, dan orang-orang bergerak di atas trotoar. Sesekali, mata menangkap pemandangan klasik kota—seseorang duduk bengong sembari merokok di emper toko, barangkali orang itu sedang ditekan oleh kehidupan.
Hari itu, Jumat pagi menuju siang, 25 April 2025. Kami sedang lewat di jalan-jalan Kota Malang di Jawa Timur. Kami, rombongan wartawan bersama pejabat dan staf Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian dan Statistik (Kominfisanti) Buleleng diantar bus menuju Kantor Wali Kota Malang, setelah semalam kami menginap di Grand Cakra Hotel. Kami melakukan studi komparasi, terutama belajar tentang teknologi komunikasi yang digunakan Pemerintah Kota Malang dalam memantau kota.
Saya menikmati obrolan di dalam bus, juga menikmati pemandangan di luar. Kota Malang sebentar lagi bisa seperti Jakarta. Padat, penuh bangunan tinggi, dan bisa juga panas. Padahal, Kota Malang masih dingat dengan jelas punya julukan Kota Dingin. Kota Malang memang dikelilingi sejumlah pegunungan seperti Gunung Bromo, Semeru dan Arjuno sehingga udaranya dominan sejuk.
“Dulu, Malang adalah kota yang dingin. Syahdu. Apel bisa tumbuh tak mesti di daerah Batu. Tapi sekarang Malang cukup panas, dan apel hanya tumbuh di Kota Batu karena di sana masih dingin,” kata Ayun seakan-akan membaca pikiran saya.

Ayun sang pemandu | Foto: Dinas Kominfosanti Buleleng
Ayun bernama lengkap Qurota’ayuni. Ia berdiri di depan memandu kami dengan sangat sabar. Ia seorang guide asli Malang tapi berdarah Madura, dan ketika bercerita tentang perkembangan kota Aremania, ia terlihat punya wawasan cukup luas, terutama ketika menjelaskan Kota Malang dalam sejurus perjalanan itu.
“Kenapa Malang sekarang menjadi panas?” tanya salah seorang Staf Kominfosanti yang duduknya tidak terlalu jauh dari tempat Ayun berdiri, dekat pak sopir.
“Karena ada kamu!” kata Ayun melempar humor dengan senyum.
Seketika sorak terdengar ramai, ada yang mencuit-cuit di dalam mobil. O, Suasana semakin mencair. Sebagai seorang guide, selain wawasannya tentang Malang boleh dikata mumpuni, Ayun juga ternyata lihai membawa suasana perjalanan menjadi asik. Tidak serem.
Dan setelah sorak itu berhenti, Ayun menjawab dengan tenang. “Karena sudah banyak pembangunan di sini, sudah ada gedung-gedung tinggi. Villa, dan lain-lain!”

Balai Kota Malang yang berdekatan dengan Tugu Malang dan seseorang sedang olahraga di areal tugu | Foto: Dinas Kominfosanti Buleleng
Gedung tinggi memang banyak dijumpai di Malang. Meski tidak sebanyak dan setinggi-tingginya gedung di Jakarta, tapi kesan metropolitan sudah mulai terasa di kota itu, terutama di jantung kota, di kawasan mewah.
Bakso dan Heritage
Tapi Kota Malang tentu tak melulu gedung tinggi. Ketika bus melaju pelan, mata saya tertuju pada kawasan yang tampak rindang dan sejuk. Di situ pohon-pohon terpelihara, terdapat rumah-rumah biasa, tidak bertingkat, seperti perkampungan yang rapi di dalam kota.
Ayun menunjukkan rumah-rumah itu lewat kaca jendela. Rumah itu dihuni warga Kota Malang, barangkali juga dihuni para mahasiswa dari penjuru Indonesia yang ngontrak atau kos di kawasan itu. Di kawasan itu tampak kehidupan lebih Indonesia, lebih lokal. Warung bakso tampak beberapa langkah dari trotoar jalan.
“Itu milik masyarakat lokal,” tunjuk Ayun dari dalam bus.
Kota Malang, kata Ayun, memang terkenal dengan baksonya. “Bakso malang itu kuahnya bening tapi ngaldu. Asik!” kata Ayun, melempar humor dan seperti merayu kami harus mencoba bakso Malang yang enak di kota asalnya langsung.
Bakso Malang berbeda jauh dengan bakso Solo, kata Ayun. Jika bakso Solo ciri khasnya mengapung, sementara bakso Malang itu komplit. “Ada bakso alus, urat, krupuk, tetelan. Komplit, dan tidak mengapung,” kata Ayun.

Balai Kota Malang | Foto: Dinas Kominfosanti Buleleng
Menurut Ayun, tak mesti ke restoran untuk mencoba semangkuk bakso yang ngaldu itu, cukup cari saja grombongan bakso yang biasa melintas di pinggir jalan. Karena menurutnya, bakso yang diracik dari rombong itu tidak kalah lezatnya dari racikan ala restoran. Ini serius…
“Ada yang pernah nyoba bakso malang, Bapak, Ibu?” Ayun bertanya. Barangkali untuk membangunkan kami yang mulai sibuk dengan pikiran masing-masing.
Kami, yang ada di dalam bus, biasa saja reaksinya. Tapi melihat Ayun berseri wajahanya ketika berbicara, semua tampaknya senang dengan pertanyaan itu—walaupun biasa-biasa saja.
Di Bali, kata salah seorang menimpali, bakso Malang juga ada. Banyak. Dan Ayun seperti sudah tahu kesimpulannya bahwa semua yang ada di dalam mobil kami, sudah pernah merasakann bakso Malang.
Ya, nyaris ada di mana-mana bakso Malang itu dijual. Tapi kali ini, adalah soal vibes saja, kata Ayun. Kali ini harus mencobanya di rumah aslinya si bakso bening tapi ngaldu ini. Belilah di rombong bakso, tak mesti pergi ke restoran. Cobalah…
Tapi di kawasan elit Grand Cakra, lanjut Ayun, nyaris tidak tidak akan ditemukan rombong bakso melintas memukul-mukul sebuah mangkuk, memanggil-manggil itu. Perlu usaha kecil—keluar sedikit dari kawasan hotel, maka rombong bakso bisa dijumpai di pinggir jalan.
Di belakang Mall Plaza Araya—yang tak jauh dari kawasan elit itu, misalnya, biasanya rombong bakso lewat di sana. Ada STMJ juga di sana buka sedari jam tiga siang hingga tengah malam. Nasi bakar di angkringan, nasi goreng juga ada di malam hari khas kota ini bisa dijumpai.
Letaknya tidak begitu jauh dari kawasan hotel, cukup melewati satu lampu merah ke arah kanan dari hotel-melewati mall, di sana kuliner sederhana bisa didapatkan.
Di Malang, nyaris semua tempat asik dikunjungi. Dari yang biasa, klasik, hingga mewah tersedia. Untuk kawasan mewah misalnya, Ayun menyebut Green Boulevard sudah seperti kota kecil di dalam kota. Lengkap. Ada bioskop di dalam mall megah itu, ada juga kedai kopi mewah di luarnya. Restoran mahal tersedia juga di satu garis mewah yang sama: Green Boulevard.
“Vibes kotanya dapat karena bangunanya yang mewah. Rumah-rumahnya mewah dan berkesan,” kata Ayun.

Foto-foto walikota di dinding Malang Nominor Sunsum Moveor ketika menaiki anak tangga menuju ruang Balai Kota Malang di lantai dua | Foto: tatkala.co/Son
Ketika bus melaju lebih jauh, pandangan mata tiba pada kawasan Kampoeng Heritage Kajoetangan. Terlihat rumah-rumah yang dibangun pada abad ke-19 hingga awal abad 20-an. Semua mata melongok, memburu pandang bangunan itu.
“Kalau Jogja punya Malioboro, Malang punya Kajoetangan, hehe,” kata Ayun membandingkan tempat nongkrong wajib ala Malang dengan Jogja.
Namun setidaknya, melintasi Kawasan Kajoetangan itu, walau tak sempat mampir, vibes kota ini membawa pada satu bayangan kami semua di balik kaca. Bahwa ada banyak hal yang dirawat oleh kota ini selain pembangunan megah yang serius ditunjukkan.
Di kota ini, tak hanya kawasan elit yang modernis—dibangun kuat-kuat, tapi bagaimana bangunan jaman baheula juga masih dirawat dan masih bisa dirasakan keberadaannya. Bahkan dijadikan semacam wisata, siapa saja boleh datang. Tapi sayang, kami hanya melewatinya, merasakan keberadaannya di kaca bus.
Kota Dengan Sistem Pemantauan Terpadu
Sepanjang jalan menuju Kantor Wali Kota Malang yang berada di Jalan Tugu, kami juga melewati jantung kota pendidikan. Kami melewati beberapa kampus seperti Universitas Negeri Malang, Universitas Brawijaya, dan beberapa kampus lain juga yang satu kampus dan kampus lain jaraknya tidak terlalu jauh. Barangkali karena itu juga Kota Malang juga mendapat julukan Kota Pendidikan.

Menatap Kampus Universitas Brawijaya dari jendela bus | Foto: tatkala.co/Son
Sekitar jam 09.30 WIB bus sampai di Kantor Wilayah Kota Malang, dan Ayun menghentikan ceritanya, menyilakan kami turun dan memberi selamat kunjungan. Kami 33 jurnalis dan beberapa stafDinas Kominfosanti mulai bergegas keluar dari bus..
Beberapa orang dari pihak Pemkot Malang menyambut kami datang dengan ramah, dan ditunjukkannya kami lantai dua, Ruang Sidang Balai Kota Malang.
Di dinding tangga menuju lantai dua, beberapa foto hitam putih dari wajah mantan Walikota Malang terdahulu tercantel dengan tulisan besar di atasnya “Malang Nominor Sursum Moveor”—seakan juga menyambut kami datang.
Antara lain nama-nama penuh jasa itu diabadikan: H.I Bussemaker (1919-1929), Ir. Vorneman (1929-1933), Ir. Lakeman (1933-1936), J.H. Boerstra (1936-1942), M. Soehari Hadinoto (1942-1945), Sardjonowirjohardjono (1945-1958).
Selain itu, juga terpampang jelas dengan senyum ksataria wajah mantan walikota atas nama Koesno Soeroatmodjo (1958-1966), Kol. M. NG. Soedarto (1966-1968), Letkol R. Indra S. (1968-1973), dan Kol. Soegiyono (1973-1983).
Rupanya, Kota Malang tidak hanya dirawat secara bentuk fisiknya, tetapi siapa pernah membangun apik kota ini juga diingat. Diingat semua orang ketika melihatnya di dinding itu penuh historis.

Sambutan dari Pemkot Malang | Foto: Dinas Kominfosanti Buleleng
Dan dalam pertemuan ini, Sekretaris Daerah Kota Malang Erik Setyo Santoso menyambut baik kunjungan kami dan ia menilai kedua daerah Singaraja dan Malang, memiliki kesamaan secara karakter.
“Kedua daerah memiliki kesamaan karakteristik, baik dari sisi sejarah kolonial, komoditas unggulan, hingga keberagaman masyarakat. Ini modal besar untuk menjalin kolaborasi yang konkret,” ucap Erik. Ia juga berbagi pengalaman pribadi saat menempuh pendidikan di Universitas Merdeka Malang pada 1987.
Setelah itu, ia juga menunjukkan program Ngalam Command Center, pusat kendali digital Kota Malang. Diciptakan Ngalam Command Center oleh Pemerintah Kota Malang demi kenyamanan dan keamanan masyarakat.
Ngalam memang kata yang sangat akrab dengan Malang. Banyak teman dari Malang, ketika ditanya mengaku dari Ngalam. Maksudnya, ya, Malang. Banyak orang tak sadar bahwa Ngalam adalah kebalikan dari kata Malang.
Kepala Dinas Kominfo Kota Malang Mohamad Nur Widyanto, menjelaskan bahwa sejak 2016 pihaknya telah mengembangkan sistem pemantauan terpadu, Ngalam Command Center.
Kota ini sudah dipasangi banyak CCTV, dan bisa dilihat dari satu layar besar di ruang Ngalam Command Center yang tak jauh dari ruang Sidang Balai Kota Malang.
Lewat jendela bus, sebelum ke kantor walikota, kami melihat Kota Malang dengan mata telanjang, di kantor walikota ini kami memandang kota dengan lebih detil. Dari layar lebar di ruang Ngalam Command Center, rasa penasaran kami tentang seluk beluk kota ini sedikitnya terbayar oleh layar itu. Pihak pemkot dengan rendah hatinya mau menampilkan bagaimana wajah kota itu melalui CCTV. Di layar Ngalam Command Center, jalan terlihat jelas dan bahkan sebuah kendaraan bisa terdeteksi plat nomornya.


Ngalam Command Center | Foto: tatkala.co/Son
Dari layar kami melihat sudut-sudut Kota Malang secara close up. Tukang parkir sedang mengatur kendaraan di sebuah sudut, dan aktivitas warga di sudut yang lain. Ada banyak tempat yang bisa kita lihat hanya dengan duduk memantau di ruangan. Layar itu seperti jendela bus, atau jendela mobil, di mana kita bisa memandang keluar, sampai jauh di tepi-tepi kota.
Program Ngalam Command Center ini benar-benar memiliki andil besar dalam memudahkan wali kota dalam pengambilan keputusan, menugaskan, mengoordinasi, memonitor, mengontrol dan mengendalikan seluruh tindakan yang diperlukan sebagai respon terhadap problematika.
“Kami berinvestasi lebih dari Rp 1,5 miliar per tahun untuk operasional internet melayani 350 titik cctv yang tersebar di ruas jalan strategis Kota Malang. Hasilnya, masyarakat makin aman, karena setiap kasus kriminal yang terjadi bisa dipantau dan ditangani lebih cepat oleh pihak berwajib, dan masyarakat makin aware alias peduli akan perkembangan—situasi Kota Malang,” jelas Widyanto.
Sampai di sini, ia menambahkan bahwa transformasi digital tersebut melibatkan programmer internal dan startup lokal. “Kami punya programer dan ahli IT yang mengelola jaringan CCTV dan layanan internet sebagai dukungan SPBE pemerintah,” ungkapnya.
Pengujung dengan inovasi portal tunggal layanan publik terintegrasi, pihaknya telah menyederhanakan layanan melalui website resmi dengan 1 portal layanan unggulan. Dulunya 108 aplikasi, tapi kini disederhanakan menjadi 28 aplikasi terintegrasi dengan total 31 sistem informasi dan 72 layanan seperti layanan 112, akses cctv publik 350 titik, info wifi—akses internet—gratis Pemkot Malang dan lain sebagainya.

Foto bersama Wakil Bupati Buleleng Gede Supriatna dan rombongan dari Dinas Kominfosanti Buleleng dengan pejabat dari Pemkot Malang | Foto: Dinas Kominfosanti Buleleng
Setelah melihat itu, Wakil Bupati Gede Supriatna yang turut membersamai pertemuan ini, yang datang dengan mobil berbeda dari kami, juga melihat secara langsung pemaparan dari pihak pemkot itu. Ia mengapresiasi betul kemajuan Kota Malang dalam membangun sistem pemerintahan berbasis elektronik, yang sangat bisa untuk diadopsi secara konsep di Buleleng.
“Command Center bukan hanya pusat informasi, tapi juga ruang interaktif untuk pelayanan publik. Ini contoh konkret kota yang adaptif terhadap teknologi,” kata Supriatna.
Dan, memang, untuk belajar tentang teknologi itulah kami datang ke Kota Malang. [T]
Repoter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: