Perspektif politik hukum tanah masyarakat adat di Bali; tanah bukan bagi turisme tetapi bagi kesejahteraan masyarakat Bali
*
Foucault di dalam power/knowledge, apa yang disebut pencarian kebenaran dalam hukum tidak dapat diartikan sebagai sebuah upaya penjelajahan objektivitas pengetahuan dalam rangka menemukan sebuah kebenaran akhir (logos), akan tetapi sebuah medan perang, yang didalamnya ada pertarungan budaya (dapat pula dari aspek ”ekonomi”) dan politik untuk mendapatkan akses dan kekuasaan dalam mendefinisikan kebenaran itu sendiri, tidak peduli apakah produk kebenaran itu merepresentasikan kebenaran akhir atau tidak (Yasraf Amir Piliang, 2004: 299-300). Hukum sebagai proses produk budaya yang dipengaruhi relasi kuasa dan pengetahuan menjadi hasil budaya yang semestinya dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
ULASAN “Tanah, Natah dan Penanaman Modal, memberikan perspektif lain dalam mengkaji secara ringkas bagaimana perkembangan politik pertanahan diera penanaman modal. Perkembangan globalisasi, digitalisasi, era 5.0, peningkatan ekonomi di banyak negara maju di satu sisi dan budaya tinggi masyarakat Indonesia khususnya Bali yang dipayungi agama Hindu menjadi simbiosa yang saling menunjang dan menguntungkan perkembangan pariwisata di Bali. Perkembangan ini didukung dengan makin masifnya direct invesment di Bali untuk menanamkan modalnya bagi akomodasi pariwisata, baik hotel, restoran dan penunjang pariwisata. apa dampak Pariwisata khususnya penguasaan tanah dan bagaimana perlindungan hukum tanah desa adat di Bali?
Iklim investasi yang berdaya saing global menjadi target Presiden Jokowi di dua kali pemerintahannya, melalui munculnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang kemudian dibatalkan sebagian oleh MK karena institusional terbatas, kemudian Jokowi saat itu mengeluarkan Perpu Nomo 2 Tahun 2022 dan disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja. Berdasarkan ketentuan UU 11 tahun 2020 diturunkan Peratuan Pemerintah No 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Pendaftaran Tanah dan Satuan Rumah Susun. Ketentusn PP 18/2021 ini mengatur tentang hak-hak atas tanah walaupun tidak secara spesifik mengatur tentang perjanjian BOT, (pasal 13 ayat (2), jo PP 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan HP. (pasal 24 ayat (1,2,3 dan 4)…
Bukunya Prof Wesna “Politik Hukum Pariwisata, Ekowisata dan Persoalan Tanah untuk Kepentingan industri Pariwisata”, diulas dalam 6 bab, dengan 120 halaman, yang begitu padat dan mendalam. Bahasannya berkaitan dengan politik pertanahan, perlindungan hukum kepariwissataan dengan kearifan lokal, politik hukum pariwisata Bali dan dinamika desa adat dalam pengelolaan desa wisata melalui perjanjian Biuild Operate and Transfer (BOT), pertarungan budaya politik hukum dalam mengelola pariwisata berbasis filosofi Tri Hita Karana, politik hukum dan kebudayaan dalam mempertahankan eksistensi desa adat di Bali, serta hukum dan kebijaksanaan publik dalam pengembangan desa wisata di Bali.
Politik Hukum Pertanahan
Berbicara tentang politik hukum pertanahan dan penanaman modal (P3ATI, Tanah, Rakyat dan Penanaman Modal, 2022) , dalam hal ini sudah semestinya dapat dipahami bagaimana politik hukum, pertanahan dan kemana arah politik hukum ini akan dibawa dalam rangka penguasaan tanah oleh penanam modal di Indonesia. Berkaca dari pendapat Mahfud MD, definisi politik hukum sebagai “Arah kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat secara resmi negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan untuk mencapai tujuan negara” Ditinjau dari sifatnya ada dua macam kaidah hukum, yaitu kaidah hukum yang imperatif dan fakultatif. Kaidah imperatif apabila kaidah hukum itu bersifat apriori harus ditaati, bersifat mengikat dan memaksa. Kaidah hukum fakultatif apabila kaidah hukum tidak secara apriori mengikat. Kaidah hukum ini sifatnya melengkapi, subsidir atau dispotif.
Dua macam bentuk kaidah hukum, terdapat beberapa karakter produk hukum yaitu karakter produk hukum represif, otonom, dan responsif sebagai mana yang dikemukan oleh Philipe Nonet-Selzinck dalam bukunya Law and Society in Transition; Toward Responsive law, yang dikembangkan lebih lanjut oleh Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia. (Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. 1998).
Asumsi yang dikemukakan oleh Mahfud MD terdapat hubungan tolak talik antara politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Sehingga jika harus berhadapan dengan politik, maka hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah. apalagi kita lihat bagaimana relasi parlemen dengan pemerintahan baru (sekarang ini sepenuhnya dikuasai KIM, hanya meninggalkan PDIP yang masih abu-abu) parlemen akan hanya jadi stempel eksekutif
Daniel S. Lev mengatakan “Untuk memahami sistem hukum ditengah transpormasi politik harus diamati dari bawah dan dilihat peran sosial politik apa yang diberikan orang kepadanya” Karena lebih kuatnya kosentrasi energi politik, maka menjadi beralasan adanya konstatasi bahkan kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini diintervensi oleh politik. Bukan hanya proses pembuatannya tetapi juga dalam implementasinya.
Penguasaan Tanah Melalui Perjanjian
Bercermin dari apa yang ditulis Prof Wesna dalam bukunya, bab III halaman 33, bagaimana pengembangan pariwisata berbasis desa adat sudah selayaknya dirancang mekanisme penguasaan tanah melalui perjanjian. Hal ini sudah jauh disampaikan tatkala seminar nasional soal penguasaa tanah bagi orang asing di hotel Bali Natour antara Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan universitas Trisakti tahun 2008. Yang mesti menjadi perhatian di dalam perjanjian pemberian Hak atas Tanah di Atas HPL atau HM adalah isi perjanjain sebagimana implentasi BOT atau BTO, karena tidak ada ketentuan baku apa saja isi perjanjiannnya dan apa dampak bagi pemilik tanah jika terjadi wanprestasi yang tidak menguntungkan pemilik HPL dan HM, kita harus belajar dari tanah HPL-nya Perusda Bali di Padang Galak, tanahnya mangkrak akan tetapi perusda tidak dapat membatalkan HGB di atas HPL, kecuali sampai batas berakhirnya perjanjian.
Apabila kemudian ada beberapa contoh tanah milik desa adat sebelumnya atas nama Pura Desa di desa adat maupun tanah milik perseorangan yang dikerjasamakan dengan penguasaan tanah melalui perjanjian dengan penanaman modal menjadi masalah hukum, soal tanah ditelantarkan, hutang pajak dan pengalihan hak tanpa sepengetahuan pemilik., bagaimana bangunan yang didirikan setelah berakhirnya perjanjian… tanah HPL Perusda Bali saja bisa jadi masalah, bagaimana desa adat dan atau tanah milik perseorangan yang dikerjasamakan dengan penanaan modal sangat rentan menjadi masalah hukum. Ingat belajar kasus tanah Padang Galak, kasus Hotel Osean Blue di Kutuh, Bali selatan, kasus Bias Putih, Karangasem, maunya untung tapi kemudian buntung.
Perjanjian BOT, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 96/PMK.07/2007, tentang Tata cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, penghapusan dan Pemindahan tangan barang Milik Negara, BOT diterjemahkan dengan Bangun Guna Serah (disingkat BGS), yaitu: “Pemanfaatan tanah milik pemerintah pusat oleh pihak lain dengan mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya diserahkan kembali kepada pengelola barang setelah berakhirnya jangka waktu”.

I Made Pria Dharsana (penulis) bersama Prof Made Suwitra yang bukunya akan dibedah di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar
Jenis Perjanjian BOT tidak dikenal dalam KUHPerdata (BW), dan istilah perjanjian BOT terdapat pula dalam keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tertanggal 2 Juni 1995, Nomor 248/KMK.04/1995, tentang perlakuan pajak penghasilan pihak-pihak yang melakukan kerjasama dalam bentuk perjanjian bangun guna serah/BOT. Dalam keputusan itu disebutkan “bentuk perjanjian Kerjasama dilakukan antara pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian Bangun Guna Serah (BGS), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa gunaserah berakhir. Investasi Pembangunan Pariwisata Melalui Model BOT (Build Operate And Transfer). Berkembangnya pembangunan sektor pariwisata di Indonesia, menyebabkan pemodal baik asing maupun pribumi untuk berinvestasi di sektor pariwisata. Pembangunan sarana prasarana seperti di hotel, villa, apartemen dan restoran Investasi membangun pariwisata melalui Model Build Operate and Transsfer/BOT (pembanguan hotel di BTDC sekarang ITDC, Nusa Dua, Bali)
Pembangunan sarana prasarana seperti di hotel, villa, apartemen dan restoran menyebabkan lahan-lahan pertanahan yang semula dikuasai oleh masyarakat mulai berpindah tangan kepada pemodal. Akibatnya, bahwa membuat masyarakat tidak memiliki lagi tanah-tanah di tempat-tempat yang strategis. Untuk mengatasi hal ini perlu dipikirkan/diantisipasi dan diterapkan model perjanjian yang baru seperti perjanjian Build Operate and Transfer agar masyarakat tidak kehilangan tanah hak milik mereka. Pemikiran untuk mengelola tanah desa adat di Bali dengan model Perjanjian dan/atau Kontrak BOT merupakan pilihan alternatif untuk mensejahterakan krama adat di masing-masing desa adat di Bali. Persoalan ini akan menjadi teraplikasi di desa adat, apabila Bendesa Adat memahami model perjanjian ini, apabila belum, maka solusinya adalah intelektual kampus Fakultas Hukum dan praktisi dapat mendampingi secara pro bono untuk membangun kesejahteraan di desa adat melalui kegiatan pengabdian dan penelitian agar isi perjanjiannya menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi desa adat.
Pemikiran untuk mengagas konsep perlindungan hukum yang ideal atas tanah di Bali serta mengkritisi persoalan tanah adat di Bali yang begitu kompleks, mulai dari bagaimana peningkatan kesadaran dan pemahaman soal tanah adat (tanah ayahan desa atau tanah yang dikelola oleh desa adat), penyelesaian sengketa yang adil serta peran desa adat yang memiliki peran penting dalam mengelola tanah adat dan menyelesaiakan sengketa. Namun peran desa adat ini perlu diperkuat dengan dukungan pemerintah terkait dengan kebijakan dan regulasi yang disesuaikan dengan politik hukum pertanahan di Indonesia. Politik hukum pertanahan nasional yang tidak mengabaikan tetapi harus menguatkan keberadaan tanah masyarakat hukum adat agar tidak terjadi konplik pertanahan.
Dimensi persoalan tanah adat di Bali oleh Prof Wayan Wesna Astara coba megaskan bahwa persoalan tanah adat membutuhkan penanganan hukum yang komprehensif dan berpihak pada masyarakat adat. Selain itu, perlu ada harmonisasi antara kepentingan pembangunan dan kepentingan adat, serta regulasi dan penegakan hukum yang lebih jelas dan kuat. Pemberdayaan masyarakat adat dan desa adat juga menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan tanah adat dan menyelesaikan sengketa yang terjadi.
Sedangkan adanya konservasi, menekankan pentingnya perlindungan lingkungan, pelestarian kebudayaan adat, dan pemanfaatan tanah yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat adat. Jangan sampai lahan sawah yang dilindungi atau zona jalur hijau serta sembadan pantai dan jurang termasuk sembadan sungai dilanggar hanya semata menarik untuk dijadikan areal pembangunan wisatawan. Pelanggaran seperti ini perlu ditindak tegas, apalagi jangan sampai ada pihak yang menguasai kawasan pantai yang menjadi hak publik di Bali (UU Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2007, UU 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, UU 6 Tahun 2023 Tentang pengesahan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007., Perda Tata Ruang Bali nomor 26 Tahun 2009)
Tanah dan Pariwisata di Desa Adat
Demikian halnya soal pengaruh kebijakan Pemerintah, yang berkaitan dengan regulasi nasional utamanya berhubungan dengan Undang-Undang Pertanahan dan peraturan pelaksanaannya yang mengatur hak atas tanah, termasuk hak ulayatt (I Made Pria Dharsana, Hukum Agraria, Persepektif Pendaftaran dan Perkembangan Politik, 2023) yang dapat mempengaruhi cara masyarakat adat memanfaatkan dan mengelola tanah mereka. Kebijakan hukum dan politik hukum pertanahan semestinya bisa melihat lebih dekat seperti apa kebijakan lokal (daerah) utananya terkait dengan peraturan desa adat (awig-awig) dan rapat desa (perarem) memberikan aturan khusus terkait pemanfaatan dan pengelolaan tanah adat dalam konteks lokal.

Lukisan karya Ketut Jaya “Kaprus”. Lukisan dibuat khusus untuk menggambarkan isi artikel ini
Pemerintah dalam memberlakukan politik hukum pertanahan khususnya di Bali seharusnya bisa memperhatikan kepentingan Hak Masyarakat Adat (HMA) seperti, pertama, Tanah Druwe yaitu tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh desa adat secara komunal, yang menjadi sumber penghidupan dan budaya bagi masyarakat adat. Kedua, Tanah Ayahan: Tanah yang dikelola oleh masyarakat adat tetapi tetap berada dalam penguasaan desa adat, memiliki kewajiban untuk membayar urunan dan mengikuti aturan adat. (I Wayan Wesna Astara, 2025, Bab V, hal 77-89, Perda Propinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat)
Bagaimana jika perjanjian BOT antara desa adat dengan penanaman modal menjadi sengketa , terkait dengan penyelesaian konflik pertanahan, menurut Pak Wayan Wesna diperlukan adanya mekanisme penyelesaian sengketa tanah adat yang efektif dan adil, dengan melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan. Harus diakui, bahwa pariwisata dan pembangunan yang pesat di Bali seringkali bertabrakan dengan kepentingan masyarakat adat dalam menggunakan tanah untuk kegiatan pertanian, pemukiman, dan ritual Agama dan Adat.
Untuk itu, penegakan hukum yang belum memadai terhadap sengketa tanah adat, terutama terkait dengan hak pakai tanah oleh warga asing, juga menjadi masalah. Dengan begitu, perlu ada kebijakan yang lebih komprehensif dan berpihak pada masyarakat adat dalam mengelola tanah adat, yang dapat mengintegrasikan kepentingan pariwisata dan pembangunan dengan hak-hak adat tanpa pengabaian terhadap pemerintah pusat.
Penyelesaian sengketa pertanahan banyak pihak pemerhati pertanahan mengusulkan adanya peradilan Ad Hok atau alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan (ADR), (Maria S.Soemardjono-Nur Hasan Ismail-Isharyanto, Mediasi Sengketa Tanah, 2008, Permen ATR/BPN 21 tahun 2020)
Pariwisata dan Pseudotourisme
Simpulan, persoalan Tanah , Natah dan Penanaman Modal di Bali di bidang pariwisata telah menjadi booming sekarang ini namun terjadi paradok di dalam isian kamar-kamar hotel dapat disebut Pseudotourisme, kalau tidak bisa dibilang tourisme kill tourisme. dimana laporan peningkatan jumlah kedatangan touris dalam beberapa bulan terakhir sejumlah laporan media nasional dalam beberapa pekan terakhir justru memperlihatkan gejala yang kontradiktif. Tingkat hunian hotel dan penginapan, terutama di kawasan wisata utama, masih tergolong rendah dan belum menunjukkan tren peningkatan yang konsisten.
Potret tersebut membawa pada indikasi lanjutan bahwa peningkatan kunjungan wisatawan tidak serta-merta berdampak pada penguatan ekonomi lokal secara langsung. Pergerakan wisatawan yang tinggi belum tentu disertai peningkatan konsumsi atas layanan formal sektor pariwisata seperti akomodasi, transportasi wisata, maupun jasa pemandu. (detiknews, “Pariwisata dan Tantangan Pseudotourism” )
Untuk mengatasi fenomena pseudotourism yang kian mengemuka dalam lanskap pariwisata Indonesia, khusus nya di Bali, dibutuhkan pergeseran paradigma yang lebih substansial dari sekadar strategi promosi dan pembangunan fisik. Pendekatan pariwisata berbasis komunitas (community-based tourism) perlu diperkuat dan semestinya menjadi titik fokus utama dalam kebijakan pembangunan ke depan.
Hal ini meniscayakan keterlibatan masyarakat lokal secara aktif dalam proses perencanaan, pengelolaan, dan distribusi manfaat ekonomi pariwisata. Ketika masyarakat hanya menjadi penonton atau pelengkap dalam industri pariwisata di wilayahnya sendiri, maka yang terjadi bukanlah pembangunan yang adil, melainkan reproduksi struktur ekonomi yang timpang. Perencanaan pariwisata yang kontekstual, menyentuh realitas sosial dan ekonomi lokal merupakan fondasi penting dari pembangunan yang berkelanjutan.
Pemerintah perlu mendorong sinergi lintas sektor dan lintas wilayah agar pariwisata tidak berdiri sendiri sebagai agenda sektoral, tetapi terintegrasi dalam strategi pembangunan wilayah yang holistik dan adil.,(Marselinus Nirwan Luru ,artikel detiknews, “Pariwisata dan Tantangan Pseudotourism” selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-7885639/pariwisata-dan-tantangan-pseudotourism.Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/.
Apa yang dikatakan Marselinus Nirwan Luru, telah terjadi di Bali, banyaknya wisatawan datang ke Bali, tapi hotel sepi, ke mana mereka menginap atau mereka hanya one way trip?
Fenomena ini belum terjawab, belum lagi tentang keseimbangan pembangunan Pariwisata Bali Selatan dengan Bali Utara. Pemerintah Propinsi Bali mesti membuat kebijakan yang mengarahkan pengembangan pariwisaa ke Bali Utara tanpa perlu membuat dan membangun banyak inprastruktur akomodasi pariwisata. tidak seharusnya berpikir demikian, namun bagaimana mengatur agar kue pariwisata juga berdampak pada pembangunan ekonomi melalui sektor lain yang menunjang pariwisata Bali Utara. .
Berbicara perkembangan pariwisata Bali hari ini, dampak tidak kecil terhadap tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh touris asing. penguasaan tanah oleh orang asing yang dilarang, menumpukan dan tidak terurainya sampah , terutama sampah plastik menjadi pekerjaan rumah para bupati, walikota dan Gubernur Bali.
Berkatan dengan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan penguasaan tanah dan natah orang Bali. Politik hukum pertanahan harus memastikan bahwa kebijakan pemerintah tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi yang tidak mengabaikan kepentingan spiritual masyarakat Bali akan Tanah Natah nya tetapi juga menjaga kelestarian budaya dan keberlanjutan lingkungan, kehidupan bagi masyarakat di Bali.
Masyarakat Bali dan Pulau Bali sebagai distinasi parwisata dunia sudah seharusnya diberikan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah pribadi maupun kepemilikan desa adat, dengan mendorong, mendampingi dalam merumusakn bagian penting akta sewa menyewa dan akta perjanjian pemberian hak diatas Hak Milik maupun HPL karena tidak diaturnya jangka waktu sewa (Pasal 44 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 1548 KHUPer).
Hal ini sangat penting bagi perlindungan kepada masyarakat , desa adat di Bali yang melakukan perjanjian BOT atau BTO. Jangan ada perjanjian sewa menyewa sampai 100 tahun yang sangat bertentangan dengan asas kepatutan, yang dapat dikatagorikan penyelundupan hukum peralihan hak baik langsung maupun tidak langsung (Pasal 26 UUPA). juga jangan terlalu mengagung kan penanaman modal yang tidak ikut menjaga dan membangun peradaban masyarakat Bali.
Mari kita jaga Tanah dan Natah Bali dari penguasaan yang tidak jelas ..agar jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat Bali sekala dan niskala. . Semoga. [T]

- Artikel ini akan disampaikan dalam acara ulasan buku karya Prof Wayan Wesna, Rabu, 30 April 2025 di FH Universitas Warmadewa, Denpasar
Penulis I Made Pria Dharsana
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain tentang hukum, agraria, dan kenotarisan dari penulis I MADE PRIA DHARSANA