RAKYAT tentu masih ingat betul apa yang diucapkan setiap pejabat negara, mulai dari presiden hingga para menteri. Bukan hanya kurang dimengerti, ucapan pejabat negara juga kadang membuat sakit hati rakyat. Semua itu akan menjadi memori kolektif rakyat Indonesia tentang pemimpinnya.
Ucapan Presiden Prabowo Subianto menaggapi kritik yang ditujukan kepadanya dengan lontaran kata “Ndhasmu” tentu sulit dimengerti masyarakat. Bukan hanya sekali Prabowo menyebut kata “Ndhasmu”. Dalam beberapa kesempatan ia melontarkan kata umpatan yang berarti “Kepalamu” itu. Bukan arti kata yang sulit dimengerti rakyat, namun alasan Prabowo mengucapkan kata itu juga tak dapat dipahami rakyat.
Bagi rakyat pinggiran, umpatan seperti itu barangkali biasa terlontar. Namun bagi seorang presiden, kepala negara, dan kepala pemerintahan; ucapan yang sarkas itu tentulah tak elok. Dalam konteks ini, Prabowo sebagai presiden telah gagal berkomunikasi dengan rakyatnya, karena mengucapkan kata yang kasar dan menyakitkan.
Setali tiga uang dengan Prabowo, Ketua Dewan Ekonomi Nasional dan Penasehat Khusus Presiden Urusan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan pun membuat pernyataan yang dapat melukai hati rakyat. Ketika beredar tagar #IndonesiaGelap lantaran kondisi ekonomi yang kurang baik dirasakan rakyat, dengan enteng Luhut mengatakan “Kalau ada yang bilang Indonesia gelap, yang gelap kau, bukan Indonesia”.
Tak mau kalah dengan Presiden, para menteri pun mengumbar pernyataan yang tak layak. Wakil Menteri Tenaga Kerja, Immanuel Ebenezer merespons tagar #KaburAjaDulu yang ramai di jagat maya. Tagar yang muncul karena kondisi ketenagakerjaan di Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja itu justru ditanggapi pejabat negara itu dengan candaan ketus “Mau kabur, kabur sajalah. Kalau perlu jangan balik lagi”.
Kisruh dan polemik seputar program makan bergizi gratis (MBG) ditanggapi dengan pernyataan yang kurang elok dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas Rachmat Pambudy. Menurutnya, program MBG lebih mendesak dibandingkan penciptaan lapangan kerja. Tentu saja ucapan menteri ini menyakiti hati rakyat yang sedang kesulitan mencari pekerjaan.
Tak kurang, Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra membuat pernyataan yang menuai kecaman. Usai dilantik sebagai menteri, ia menyatakan bahwa peristiwa kekerasan pada 1998 tidak termasuk kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Tak terbayangkan betapa sakit hati keluarga korban Tragedi 1998. Padahal Yusril sendiri merupakan bagian dari gerakan reformasi 1998.
Gagal dan Gagap
Sesungguhnya kegagalan pemerintahan dalam berkomunikasi dengan rakyatnya bukan barang baru. Sejak pemerintahan sebelum Prabowo, banyak pejabat negara yang berucap menyakiti hati rakyat atau sulit dimengerti oleh rakyatnya.
Bahkan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun gagal dan gagap dalam berkomunikasi. Polemik soal keaslian ijazah sarjana Jokowi dari Universitas Gajah Mada (UGM) tak kunjung tuntas. Hanya pernyataan demi pernyataan yang ia lontarkan. Apa sulitnya ia menunjukkan ijazahnya kepada publik jika memang itu asli. Bukankah sikapnya selama ini justru menunjukkan ia gagal dan gagap berkomunikasi?.
Banyak faktor yang menjadi penyebab kegagalan komunikasi. Ketika orang gagal menyampaikan pesan komunikasi untuk dimengerti orang lain, maka yang terjadi adalah kegagalan komunikasi primer (primary breakdown in communication). Orang gagal menerima pesan secara cermat (Rakhmat, 2003). “Ndhasmu” bagi Presiden Prabowo mungkin bercanda. Namun saat kata itu diucapkan di hadapan publik, maka rakyat akan menangkapnya sebagai ucapan pemimpin yang serius.
Pernyataan pejabat adalah komunikasi. Setiap kata yang meluncur dari mulut pejabat negara adalah bentuk komunikasi. Karena pernyataan, kata, dan ucapan adalah komunikasi, maka selayaknya para petinggi negara itu memikirkan dampak dari komunikasinya kepada rakyat.
Berkata memang mudah. Namun berkomunikasi tidaklah mudah. Dalam komunikasi, sedikitnya ada tiga masalah yang sering menimbulkan kegagalan dalam berkomunikasi. Pertama, masalah teknis. Kedua, problem semantik. Ketiga, berkaitan dengan pengaruh (Weaver, dalam Borden & Stone,1976).
Masalah teknis berkaitan dengan akurasi informasi yang dikomunikasikan. Benarkah tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam tragedi tahun 1998? Benarkah ijazah UGM Jokowi memang betul-betul asli? Persoalan teknis dalam komunikasi ini begitu penting untuk rakyat agar diperoleh akurasi informasi.
Problem semantik berhubungan dengan interpretasi makna oleh rakyat terhadap pesan yang disampaikan oleh pejabat negara. Ucapan menteri tentang MBG yang lebih mendesak dibanding lapangan pekerjaan akan dimaknai sebagai ketidakpedulian pemerintah terhadap jutaan rakyat Indonesia yang masih menganggur. Apa pun dalih yang akan disampaikan pemerintah.
Sedangkan faktor pengaruh merupakan efektivitas pesan komunikasi yang disampaikan pemerintah untuk menimbulkan perilaku rakyat seperti yang diharapkan. Mencermati beberapa kasus pernyataan kontroversial yang diucapkan pejabat negara, nyaris tak ada pesan yang mampu menimbulkan rasa hormat terhadap pemerintah. Bahkan rakyat merasa muak terhadap pejabat yang tak memiliki kepekaan terhadap begitu banyak masalah yang dihadapi. Paling tidak, itu bisa diamati dari berbagai komentar sinis yang beredar di linimasa media sosial.
Empati
Komunikasi bukan hanya untuk dimengerti, tetapi juga menumbuhkan hubungan sosial. Kegagalan komunikasi yang disebabkan oleh tiadanya hubungan sosial dapat menimbulkan kegagalan komunikasi sekunder (secondary breakdown in communication). Bukannya hubungan sosial yang terbangun, justru anonimitas dan gangguan hubungan manusiawi (Rakhmat, 2003).
Kegagalan komunikasi sekunder pemerintah dapat dipantik oleh banyak faktor. Kondisi perekonomian rakyat yang kian sulit, ditambah persaingan dan pertikaian politik di tingkat elit dapat menjadi pemicu. Sikap egois dan merasa powerful dalam berkuasa juga menyebabkan kegagalan komunikasi sekunder.
Oleh sebab itu diperlukan empati pemerintah dalam berkomunikasi dengan rakyat. Empati dapat mendorong pemerintah untuk memahami dan merasakan derita rakyatnya. Komunikasi yang disertai empati tidak akan menimbulkan sakit hati.
Namun berempati tidaklah mudah. Apalagi bagi orang yang sedang dimabuk kekuasaan. Alih-alih memahami dan merasakan derita rakyatnya, petinggi negeri ini justru menambah luka dengan ucapannya.
Bagaimana akan berempati, jika seorang Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi membuat pernyataan kontroversial. Kasus teror kepala babi yang diterima jurnalis media Tempo bukan diungkap dan dicari siapa pelakunya, justru diminta untuk dimasak saja kepala babi itu.
Celakanya, itu diucapkan oleh juru bicara presiden sebagai representasi pemerintah. Apakah ia tak mampu berempati di tengah banyaknya jurnalis yang ketakutan terhadap teror, intimidasi, dan kekerasan dalam bertugas? Apakah ia tak merasakan begitu banyak jurnalis yang perlu pertolongan?
Begitu pula Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra yang menyebut Tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM berat. Bagaimana perasaan keluarga mahasiswa dan aktivis yang diculik, hilang, dan tewas dalam tragedi itu? Di mana letak empati pemerintah yang belum genap setahun ini?
Komunikasi pemerintah yang buruk akan melahirkan ketegangan sosial dan politik. Hubungan sosial pemerintah dan rakyat menjadi tidak harmonis, tidak baik-baik saja. Jika tidak diperbaiki, maka akan menjadi perilaku buruk berkomunikasi yang menetap. Presiden, menteri, dan pejabat tinggi pemerintahan lain boleh berbicara apa saja; bahkan untuk ucapan yang melukai rakyatnya.
Pemerintah yang gagal berkomunikasi dengan rakyatnya adalah pemerintahan yang gagal mengemban amanat rakyat. Setiap lima tahun rakyat memilih pemimpin untuk memahami dan melayani rakyatnya. Bukan sekadar berkomunikasi yang ternyata menyakiti hati rakyat. [T]
Penulis: Chusmeru
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU