BALI bisa dimaknai positif dan negatif, tergantung yang memaknainya. Terutama orang-orang, penduduk yang tinggal dan menetap, yang menetap sementara, yang datang dan pergi.
Yang tinggal, menetap dan hidup di Pulau Bali pastilah akan menghasilkan sampah.
Yang disebut sampah, adalah segala sesuatu material non material yang tidak bermanfaat, yang tidak bisa dimanfaatkan bagi dirinya sendiri dan sekitarnya.
Seorang manusia yang dinilai tidak bermanfaat bagi masyarakat digelari sebagai sampah masyarakat.
Sebagai material dan non material, sampah terjadi karena ketidaktahuan, ketidakpahaman kita pada unsur material dan non material yang terkandung dalam sesuatu itu.
Tidak tahu, tidak mau tahu, tidak berusaha untuk tahu adalah sikap “campah’ remeh pada keberadaan diri sebagai manusia yang punya pikiran, kata-kata dan perbuatan.
Nasehat leluhur Bali dalam lagu yang berbunyi “eda ngaden awak bisa, depang anakke, ngadain” (Jangan merasa bisa, biarkan orang lain yang menamai/menyebutkan). Petuah yang diresapi ini terkait dengan rasa yang menjiwai dalam prilaku. Sangat berbeda dengan campah/nyampahin (remeh/meremehkan).
Meremehkan diri berawal dari ketidakpuasan diri/rasa kecewa yang secara terus menerus ditutup-tutupi sehingga menjadi karakter. Seseorang yang berkarakter meremehkan/nyampahin dirinya sendiri tanpa sadar akan meremehkan barang, persoalan, dan orang lain.
Sesungguhnya dari kecil kita sudah tahu dan paham tentang apa yang disebut dengan sampah. Pengetahuan tentang apa itu sampah, bisa berkembang dengan panjang lebar.
Pengetahuan manusia tentang sampah (bentuk, jenis, sifatnya dll) hanya akan berkembang saat kita bisa menjawab akan pertanyaan kenapa dengan sampah itu.
Dan masalah sampah akan selesai saat kita bisa menjawab bagaimana kita, manusia memperlakukan sampah.
Bali sebagai tempat hidup manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang hidup di Bali dan kebijakan dan kebijaksanaan pemimpin- pemiminnya, dalam laku, bukan hanya pikiran dan kata-kata yang dituliskan sebagai peraturan/ awig-awig.
Kepemimpinan yang “campah/nyampahin” (remeh/meremehkan) kepemimpinannya, akan meremehkan dirinya, masalahnya, yang dipimpinnya, masalah yang dipimpinnya.
Wahai para pemimpin Bali, tingkatan apapun, jangan remehkan dirimu, apapun masalah dan kesalahanmu, terimalah, maafkan dirimu, alam Bali sudah merestuimu sebagai pemimpin. Belum terlambat untuk bertindak dalam pikiran kata-kata dan perbuatan.
Jangan remehkan sampah, jangan remehkan masalah , jangan remehkan Bali. Mulailah dengan perbuatan, karena berbuat lebih sulit dari berkata-kata dan pikiran. Semangat. [T]
Kesiman, Denpasar, 16/04/2025
Penulis: Mas Ruscitadewi
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: