BADUY adalah adalah salah satu dari suku asli Indonesia yang tinggal di Provinsi Banten. Mereka sangat kuat memegang teguh pikukuh karuhun (tradisi leluhur). Salah satu dari hukum adat mereka adalah kewajiban untuk ngahuma (menaman padi di ladang). Aktivitas ini adalah ibadah dan rukun wiwitan.
Permasalahan yang muncul adalah jumlah mereka bertambah, namun luas lahan tetap. Dampaknya luas tanah garapan menyempit, pola pengolahan lahan tidak optimal, sehingga berdampak pada hasil panen yang tidak dapat memenuhi kebutuhan. Akankah hukum adat ngahuma akan tetap berjalan dalam menghadapi dilema ini? Solusi apa yang bisa dilakukan agar hukum adat mereka tetap lestari, serta kebutuhan ekonomi mereka juga tetap terpenuhi?
Dilema suku Baduy yang dihadapi saat ini adalah bertambahnya jumlah penduduk mereka, namun lahan tetap. Padahal mereka memiliki kewajiban untuk ngahum. Apakah hukum adat ini akan terus bertahan atau perlahan dimodifikasi atau dilanggar? Menurut ahli, bahwa ketika satu hukum sudah tidak dapat mengadopsi kebutuhan masyarakat maka hukum tersebut akan ditinggalkan atau dimodifikasi. Inilah yang terjadi pada suku Baduy. Kewajiban ngahuma menjadikan masyarakat Baduy Luar berbondong-bondong membeli tanah di luar tanah ulayat yang menurut informasi di tahun 2019 secara kumulatif sudah hampir mencapai 1.200 hektare.
Lebih dari setengah KK warga Baduy Luar berladang di luar tanah ulayat tersebar di sekitar 10 kecamatan, yaitu Kecamatan Leuwidamar, Muncang, Sobang. Bojongmanik, Cirinten, Gunungkencana, Cimarga bahkan ada yang sampai Sajira, Cijaku dan Malingping. Rata-rata mereka menyewa tanah atau join bagi hasil. Sedangkan bagi masyarakat Baduy Dalam terpaksa mulai memperpendek masa istirahat (bera) lahannya dan secara bersamaan memperkecil luas garapannya karena dibagi secara adil akibat bertambahnya keluarga yang wajib berladang.
Di Baduy Dalam, dulu tanah 1 hektare masih longgar digarap oleh satu keluarga, sekarang digarap oleh 4 – 6 keluarga. Dampaknya luar biasa dan memperihatinkan terhadap hasil panen yang semakin sedikit dan sering gagal panen, karena tanah makin berkurang kesuburannya, sementara lahan tanah garapan tetap tidak bertambah bahkan makin berkurang karena bergeser diklaim menjadai tanah kawasan Baduy Luar.
Di sisi lain, hukum adat mereka tetap tegas tidak memperbolehkan warga Baduy Dalam berladang di luar kawasan tanah ulayat Baduy Dalam, dan berladang (Ngahuma) adalah kewajiban pokok dan merupakan kegiatan adat yang mengikat pada setiap keluarga. Komunitas Baduy Dalam khususnya dari Kampung Cibeo sudah memiliki tanah pemberdayaan 4 hektare di sekitar Kadujangkung. Semua itu mereka lakukan karena terdesak oleh situasi dan kebutuhan, dan jika mereka tidak mengambil sikap tersebut akan menjadi lebih rumit.
Sementara mata pencaharian lain sebagai alternatif untuk menambah penghasilan juga dibatasi, termasuk berdagang secara terbuka di wilayah pemukiman mereka tetap dilarang. Polemik dan dilema ini cukup mengerikan terhadap kelangsungan hidup mereka kedepannya bila tidak ada solusi dari pemerintah dan perubahan paradigma dari mereka sendiri. Sebutan “Baduy Dalam Swasembada pangan dan Baduy sejahtera dengan pilihan adatnya” kini menjadi tidak relevan lagi.
Akar Masalah
Sebenarnya dilema ini sudah mulai terjadi sejak 2015. Para tokoh adat mulai aktif memusyawarahkan tentang kebutuhan tambahan lahan untuk kebutuhan mereka yang disampaikan pada acara-acara tertentu baik pada peduliawan Baduy maupun pada negara, dan pada acara Seba Gede 28 Mei 2017 di Pendopo Multatuli Kabupaten Lebak, Jaro Saija dan Tanggungan 12 mewakili pihak Baduy secara terbuka dan terang-terangan mengusulkan kembali secara resmi ke pemerintah daerah dan pusat tentang penambahan 1000 hektare bagi wilayah tanah ulayat mereka.
Tabel 1
Data Pertumbuhan Penduduk Suku Baduy

Berdasarkan data tabel 1 di atas dapat kita hitung estimasi persentase pertambahan penduduk Suku Baduy dari tahun 2000 – 2024 adalah sebagai berikut:
Baduy Dalam: 1.662 – 562 = 1.100 , maka persentase pertambahan selama 24 tahun adalah 1.100 /1.662 x 100 % = 66,2 %. berarti pertahun , 66,2% dibagi 24 = 2,8 %/tahun.
Baduy Luar:12.775– 6.755 = 6.020, maka persentase pertambahan selama 24 tahun adalah 6.020/12.775 x 100 % = 47,1 % , berarti pertahun , 47,1 % : 24 = 2 % pertahun.
Merujuk pada table 1, maka estimasi persentase pertambahan jumlah KK selama 24 tahun pada kelompok Baduy Dalam : 423 – 152 = 271, adalah 271 /423 x 100 % = 64 %. berarti pertahun , 64 % dibagi 24 = 2,7 %/tahun. Di kelompok Baduy Luar : 4.171– 1.535 = 2.636, maka prosentase pertambahan selama 24 tahun adalah 2.636/4.171 x 100 % = 63 % , bararti pertahun , 63 % : 24 = 2,6 % pertahun.
Akar permasalahannya adalah bahwa setiap keluarga di suku Baduy “Diwajibkan Tanpa Kecuali” untuk berladang (Ngahuma). Pada bulan April 2015 jumlah KK sudah mencapai 3.395 KK, di Baduy Luar 3.087 KK dan di Baduy Dalam ada 308 KK, Jika sedikitnya setiap KK memerlukan setengah hektare untuk berladang maka pada tahun 2015 sudah memerlukan tanah kosong 1.697,5 hektare (keseluruhan), di Baduy Luar memerlukan 1.543,5 hektare dan di Baduy dalam memerlukan 154 hektare.
Pada bulan Juni 2021 jumlah KK sudah mencapai 3.871 KK, di Baduy Luar 3.504 KK dan di Baduy Dalam ada 367 KK, Jumlah rumah 2.827, di Baduy Dalam 247 rumah. Jika dihitung dengan ukuran yang sama yaitu sedikitnya setiap KK memerlukan setengah hektare untuk berladang, maka tahun 2021 memerlukan tanah kosong 1.935,5 hektare, di Baduy Luar memerlukan 1.752 hektare Baduy dalam memerlukan 183,5 hektare.
Penambahan kebutuhan tanah kosong untuk ngahuma selama 6 tahun (2015-2021) adalah sbb : Untuk warga Baduy secara keseluruhan 1.935,5 – 1.697,5 = 238 hektare, dan khusus untuk di Baduy Luar 1.752 – 1.543,5 = 208,5 hektare di Baduy Dalam 183,5 – 154 = 29,5 hektare.
Saat ini 2025 jumlah KK di Baduy Luar sudah hampir 4.300 lebih, artinya tahun ini memerlukan tanah kosong untuk digarap menjadi huma adalah 2.150 hektare. Selisih kebutuhan tanah kosong 4 tahun dari 2021 – 2025 saja sudah 214,5 hektare. Di Baduy Dalam jika KK bertambah menjadi 400 KK berarti kebutuhan tanah kosong untuk ngahuma adalah 200 hektare. Bagaimana kebutuhan tanah kosong untuk 5 tahun kedepan?
Secara bersamaan tanah garapan seluas 2.136,58 hektare yang ada dikawasan tanah ulayat terus digunakan menjadi pemukiman baru dan saat ini (2025) sudah mencapai 68 kampung. Warga Baduy Dalam dilarang berladang di luar tanah ulayat Baduy Dalam, luas tanah garapan dan untuk pemukiman warga Baduy Dalam menurut pengakuan mereka tidak lebih dari 700 hektare untuk 3 kampung, karena tanah seluas 3000 hektare sudah dipatok sebagai Leuweung Kolot alias “ Hutan Tutupan dan Hutan Titipan“ yang tidak boleh digunakan untuk berladang.
Merujuk pada fakta ini maka ada beberapa aspek kajian permasalahan utama dalam dilema Suku Baduy, khususnya aspek hukum kewajiban ngahuma di suku Baduy:
1. Kebutuhan akan tanah kosong yang subur makin meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan KK
2. Ketersedian tanah kosong di luar tanah ulayat makin hari makin sulit apalagi di dalam tanah ulayat yang tidak mungkin untuk bertambah luas.
3. Makin sempit tanah yang digunakan untuk berladang, maka hasil panen pasti makin sedikit.
4. Makin pendek masa istirahat (bera) lahannya, maka makin berkurang tingkat kesuburannya.
5. Biaya untuk menggarap huma besar, tapi penghasilan makin berkurang karena faktor kesuburan tanah makin hilang dan makin sempitnya lahan tambah musim yang tidak menentu.
6. Kebutuhan untuk makan meningkat, penghasilan menurun karena warga bertambah, ditambah larangan lain yang melarang warga Baduy Dalam berdagang.
Kompleksitas Masalah
Kekhawatiran tentang alam dan perubahan zaman menurut Ayah Karmain, salah satu tokoh Baduy Dalam yang mempengaruhi kesukuan mereka begitu dahsyat sehingga memojokkan mereka harus berhadapan dengan problematika dan dilema, maju kena mundur kena bagaikan buah simalakama (maju asup jurang mundur asup jungkrang).
Faktor pemenuhan kebutuhan pokok hidup, terutama pangan makin meningkat, tapi secara bersamaan makin sulit didapat karena persaingan begitu ketat (baca: penduduk bertambah), sementara tanah yang menyediakan hasil bumi di wilayah tanah ulayatnya semakin sempit dan berkurang kesuburannya, Di lain pihak, keketatan, kekakuan, dan kebakuan hukum adat pun menjadi penyumbang terjadinya dilema dan problematika bagi mereka, ditambah gaung modernisasi dan globalisasi melalui kemajuan teknologi komunikasi (internetisasi) yang makin ofensif menusuk ke wilayah mereka.
Begitu kompleks permasalahan hidup dan kehidupan yang mereka hadapi telah membawa mereka pada kesulitan memilih sikap. Mau tidak mau, suka tidak suka, akhirnya memaksa mereka untuk ikut melarutkan diri pada proses “dinamisasi, hibridisasi budaya dan adopsi pola hidup modern”. Walaupun mereka sadar, bahwa lambat laun tapi pasti akan menggerus tatanan sosial dan kultur mereka bahkan tanpa terasa menggeser tahap demi tahap keajegan hukum adat mereka mengikuti hukum positif dan pola hidup modern.
Sudah banyak larangan adat dan buyut pamali yang mereka amandemen sendiri dengan cara melakukan apa yang dilarang dan terlarang secara adat kini sudah menjadi pembiasaan dan kebiasaan yang diterapkan dalam kehidupan sehari hari mereka. Resistensi antara pemenuhan kebutuhan hidup yang mudah dengan kebakuan aturan adat yang secara leterlek mempersempit kemudahan untuk memenuhinya menjadi kisah unik tersendiri yang berkepanjangan dan turun- temurun, terutama di komunitas adat Baduy Dalam.
Jika stagnanisasi dan kekakuan hukum adat tidak memberi kelonggaran adanya rekayasa sosial, maka prediksi dan ramalan bencana kekurangan pangan akan melanda kesukuan mereka tinggal menunggu hitungan jari. Bahkan penulis berani berspekulasi dan memprediksi kepunahan budaya dan hukum adat Baduy bisa terjadi lebih cepat dan dahsyat sesuai dengan kekhawatiran pak Jaro Tangtu Sami dengan kalimat bijaknya, bahwa di tahun-tahun ke depan akan ditemukan: ”Baduy tapi lain Baduy“.
Kini, Baduy sedang mengalami dilema dan krisis yang serius. Selain menghadapi gempuran dahsyat dari pemodernan, ditambah dengan interaksi yang begitu padat dengan wisatawan, menghadapi berbagai ancaman dan gangguan (disruptions) dari pihak luar, dan ditambah dilema krisis tanah untuk ngahuma. Maka, jika di kesukuan Baduy terjadi penggeseran-penggeseran pola sosial budaya dan ada keberanian warga untuk melintasi modernisasi itu adalah hal yang wajar, karena tanpa adanya modifikasi kehidupan mereka akan lebih kesulitan. [T]
- Ditulis di Padepokan Sisi Leuit Perbatasan Baduy, April 2025
Penulis: Asep Kurnia
Editor: Adnyana Ole
- BACA esai-esai tentangBADUY
- BACA esai-esai lain dari penulisASEP KURNIA