SATUA (cerita) Bali punya satu nama yang pernah terbang tanpa sayap. Ia terbang bersama seni di antara jalur tak kasat mata penghubung bumi dan langit. Namanya dalam satua adalah I Sangging Lobangkara. Seorang pemahat, sekaligus pelukis yang digandrungi. Dalam satua, dia membingkai batas antara keindahan dan keabadian, antara kelana estetik dan pendakian spiritualnya sendiri.
Satua I Sangging Lobangkara cukup familiar. Cerita ini dijadikan salah satu materi dalam materi pelajaran bahasa Bali di sekolah-sekolah, juga tersedia versi ceritanya di beberapa situs internet. Kajian ilmiahnya pun pernah dikerjakan IGA Darma Putra (2017), “Satua I Sangging Lobangkara dalam Tradisi Nyastra Bali”. Selain itu, bentuk prestisius satua ini berada dalam rupa lontar koleksi Gedong Kirtya Singaraja. Naskah lontar ini umurnya lebih tua tiga kali umur saya.
Menurut cerita, I Sangging Lobangkara bukan pelukis biasa. Ia juga bukan sekadar perajin terampil. Ia seorang seniman yang mendapat berbagai permintaan oleh raja, dalam satua ini tepatnya Raja Klungkung. Permintaan ini seolah tantangan. Bukan tantangan untuk membuktikan siapa dia, tetapi mungkin karena kerajaan tidak tahu lagi cara membayar imajinasi yang terlalu besar untuk memuaskan hausnya kerinduan estetis berbalut ekspektasi karya kualitas tinggi.
Awalnya biasa saja. Sebuah permintaan membuat keraton, plus patung dalam waktu sebulan. Tidak ada peristiwa heroik, tidak ada drama, keraton pun selesai. Hanya keterampilannya yang bekerja seperti silap mata. Raja lalu memintanya melukis permaisuri. Dan Sangging pun berhasil. Ia lalu disuruh menggambar seisi hutan. Harimau yang tak mungkin diminta berpose pun menjadi jinak di hadapan Sangging. Sapuan kuasnya lalu menyelesaikan semua. Tidak ada yang luput dari sana, mungkin daun kering yang menempel di kuku kijang juga akan ikut terlukis bila satua ini disampaikan dengan sedikit lebih detail.
Berikutnya samudra. Dengan tubuh dalam kotak kaca, I Sangging menembus dunia bawah laut. Ia menggambar bukan dari imajinasi, tetapi dari pengamatan langsung dari dasar laut. Jauh sebelum kita mengenal diving atau kapal selamsebagai cara memanjakan mata untuk menonton biota dasar laut, I Sangging sudah melakukannya. Ia berekreasi, sambil berkreasi. Laut tak jadi kuburan untuknya, laut jadi museum hidup yang menunggu diabadikannya.
Terakhir dia disuruh ke langit. Ia tak diberi burung, tak juga diberi sayap. Ia diberi goangan. Benda ini adalah penghasil bunyi dalam layangan. Namun, bisa jadi ini adalah sebuah kerangka layang-layang raksasa. Sangging pun diterbangkan dengan tali, selayaknya anak kecil yang percaya sepenuhnya pada angin. Ia mengudara, sampai talinya putus. Dan uniknya, dia tak jatuh. Ia melayang, jauh sampai surga dan yang jelas ia tidak dikisahkan mati. Sesampai di surga, ia tak ingin kembali ke dunia. Apa yang perlu dicari lagi di bumi, setelah langit sudah bisa ia lukis dari dalamnya?
Perbandingan Versi
Cerita ini dikenal juga secara lisan di Jawa. Bedanya, kisah ini berakhir tragis. Salah satu versinya menuturkan sang seniman, yang bernama Sungging Prabangkara dituduh berbuat serong karena menggambar istri raja terlalu sempurna, bahkan sampai pada rincian yang hanya sang raja sendiri yang mengetahuinya. Ia dianggap berbahaya. Misi yang diberikan padanya pun adalah bentuk eksekusi. Rute pembinasaan disamarkan sebagai sebuah titah kerajaan.
Tali layangan dalam versi cerita ini konon sengaja diputus. Ia bukan terbang ke surga, tapi sengaja dihempaskan. Ada pula yang menyebutnya mendarat di Negeri Cina. Mungkinkah ini karena seni dianggap terlalu berbahaya oleh penguasa, karena imajinasi yang tidak dikendalikan bisa menyingkap apa yang sesungguhnya ingin disembunyikan?
Oleh sebab itu, Bali punya versi cerita yang lebih lembut dan kalem. Sangging Bali bukan korban kecemburuan raja, melainkan seniman yang perlahan ditarik menjauh dari dunia fana. Tugasnya terlalu besar dan filosofis. Tiap tugasnya seolah adalah undangan untuk naik level spiritual. Setelah berhasil mewujudkan rumah, dia berhasil mewujudkan lukisan istri raja. Berikutnya ia pergi menembus belantara hutan, lalu menyelami dalamnya samudra tiada bertepi hingga berakhir melanglang langit dan tiba di surga. Ia bukan dibinasakan, tetapi dilepas. Ia tidak mati, hanya berpindah. Dan dia tidak jatuh, hanya menolak untuk turun.
Sangging dan Laku Spiritual
Satua I Sangging Lobangkara bisa dibaca sebagai narasi tentang seni sebagai jalan spiritual. Ia menyentuh filosofi: bahwa yang paling puncak dari kerja kreatif adalah puncak estetis itu sendiri. Ketika seni sudah tidak lagi mengabdi pada penguasa, ketika seni tidak lagi puas dinikmati, maka ia menjadi perjalanan menuju Yang Tak Terlukiskan.
Layangan yang membawanya ke langit menjadi metafora paling jernih tentang ini. Layang-layang yang semula hanya permainan tradisional, menjelma sebagai sarana komunikasi vertikal, lalu menjadi kendaraan seniman yang tak bisa lagi dikurung pagar istana. Baru-baru ini kita pun melihat seniman yang terlalu jujur dan presisi lalu dianggap berbahaya. Tetapi, ketika dunia cukup bijak untuk tidak menghukumnya, maka ia akan terbang sendiri, perlahan menjauh dari keramaian.
Mungkin kita semua adalah Sangging yang terhalang oleh sensor, oleh algoritma, oleh undangan lomba yang harus menghasilkan karya romantisme belaka. Tak boleh menyinggung realita yang pahit. Tetapi kita tetap menggambar, kadang gambar kita tak dilihat, kadang dihapus, mungkin saja juga disangka meniru.
Namun jika kita terus menggambar, terus merekam hutan, laut dan langit dalam bahasa kita sendiri, mungkinkah suatu saat goangan itu datang juga? Dan jika talinya putus, semogalah kita akan melayang bukan karena kalah, tetapi karena sudah selesai dengan dunia yang tidak paham lukisan kita.
Siapa tahu? Ternyata surga bukan tempat dengan gerbang emas, tetapi ruang sunyi yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang tahu cara menggambar angin. Mereka yang rampung memahami dirinya sendiri, dan alam makro di sekitarnya. [T]
Penulis: Abdi Jaya Prawira
Editor: Adnyana Ole