20 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

SEKSUALITAS BALI: Dari Penyatuan Raga Menuju Aksara

Putu Eka Guna YasabyPutu Eka Guna Yasa
April 6, 2025
inEsai
SEKSUALITAS BALI: Dari Penyatuan Raga Menuju Aksara

Gambaran Dampati Lelangon, Koleksi Unit Lontar Unud, foto: Guna

MESKI menjadi kebutuhan biologis yang pasti akan dilakoni setiap orang dalam jenjang berumah tangga, seksualitas kini terkesan tabu untuk dipelajari. Tak pernah ada pendidikan pranikah untuk mengetahui pilihan waktu yang tepat, termasuk pula bagaimana cara melakukannya untuk kelak bisa melahirkan keturunan yang unggul dari segi fisik, mental, dan spiritual. Seksualitas seolah praktik yang bisa dilakukan secara intuitif, tanpa perlu berpegang pada satu titian ajaran, dan tanpa perlu keterampilan. Hal ini menjadi ironi di tengah berlimpahnya diskursus tentang seksualitas dalam warisan literasi Bali. Padahal, teks etika Bali yang kanonis seperti Sārasamuccaya dan Pameda Smara termasuk Geguritan Sucita menyebutkan hari-hari khusus yang sebaiknya dihindari untuk melakukan hubungan seksual. Yang tidak kalah pentingnya juga adalah pustaka berjudul Tutur Catur Yuga yang mengulas aspek teknis dari hubungan seksual dengan aroma tantris.

Pustaka Sārasamuccaya menyebutkan satu brata berjudul Amr̥tasnataka yang mesti dipatuhi oleh seorang brahmana ketika melakukan sanggama. Secara lebih khusus, pustaka tersebut menyatakan bahwa pada hari-hari tertentu seperti bulan mati (amāwāsya), sehari sebelum bulan purnama dan bulan mati (purwani), tepat pada saat purnama (purnama), dan delapan hari setelah bulan mati serta purnama (astamikala) seorang brahmana tidak boleh mendekati perempuan. Tidak mendekati perempuan dalam konteks ini dapat pula dimaknai sebagai jeda aktivitas untuk melakukan hubungan seksual.

Penjelasan pustaka Sārasamuccaya tentang pelaksanaan brata amṛtasnātaka inilah yang menjadi hulu gagasan pemilihan hari dalam melakukan hubungan suami-istri seperti yang tertuang dalam teks Pameda Smara. Artinya, dalam menyusun suatu panduan waktu bersanggama, pengarang pustaka Pameda Smara menjadikan Sārasamuccaya sebagai referensi. Mustahil karya gubahan Bhagawan Wararuci dari Astadasaparwa itu dijadikan pegangan dalam menyusun suatu sistem pengetahuan tentang seksualitas jika tidak ada kebenaran yang universal di dalamnya. Pustaka Pameda Smara juga ikut mewacanakan hari yang tidak baik melakukan sanggama yaitu saat purnama, tilem, dan purwani. Pustaka Pameda Smara menyebutkan bahwa seseorang yang melakukan sanggama pada hari-hari tersebut akan terkena malapetaka dari Sang Hyang Surya dan Candra atas kelancangannya. Lebih lanjut, pustaka ini juga memuat penjelasan tambahan bahwa pada saat hari kelahiran (paweton), Anggara Kliwon, Budha Kliwon, Saniscara Kliwon, dan semua hari suci adalah waktu yang tidak baik dalam bersanggama.

Apabila dicermati lebih teliti, pustaka Pameda Smara[i]ternyata tidak lagi menyatakan secara spesifik bahwa hari-hari tersebut adalah waktu larangan bersanggama bagi pendeta, tetapi masyarakat pada umumnya. Hal senada juga diwacanakan Geguritan Sucita. Karya sastra yang ditulis oleh Ida Ketut Jelantik dari Gria Tegeha, Banjar, Singaraja itu selengkapnya menyatakan sebagai berikut. Yadin ring kurĕnan gĕlah, sumingkin nyandang apikin, da ngamuk kadroponan, masanggama masih pilih, purnama tilĕm kĕlidin, tanggal panglong ping kutus, prĕwani masih tan wĕnang, sedĕk camah minakadi, da matĕmu, ngawe santana gĕring ila. (Geguritan Sucita, Pupuh Sinom, bait 24) Terjemahannya ‘dengan istri sendiri sekalipun, seharusnya semakin diperhatikan, jangan sembarangan dan tergesa-gesa, bersenggama juga perlu dipilih waktunya, purnama dan bulan mati hindari, delapan hari setelah bulan mati atau purnama, purwani juga tidak boleh, apalagi ketika menstruasi, jangan berhubungan, bisa menyebabkan keturunan terkena penyakit ila’.

Sekali lagi, geguritan di atas tidak menekankan waktu-waktu bersanggama tersebut secara khusus untuk pendeta, tetapi setiap pasangan yang sudah berumah tangga. Dengan nada yang agak satir, Geguritan Sucita Subudi menekankan pentingnya memilih hari baik dalam melakukan hubungan seksual, meskipun dilakukan dengan istri sendiri. Dari ungkapan itu kita juga dapat menduga bahwa tidak sedikit pasangan suami istri yang menerobos hari-hari larangan tersebut. Hari-hari yang dimaksud adalah purnama, bulan mati, hari ke delapan setelah bulan mati atau purnama, purwani, dan ketika sang istri sedang haid (menstruasi). Konsekuensi melakukan hubungan seksual pada hari-hari tersebut adalah lahirnya keturunan yang berpotensi tertimpa penyakit ila.

Geguritan Sucita Subudi juga menyebutkan sumber pustaka yang harus dipelajari agar seseorang katam dalam berhubungan seksual, yaitu Cumbana Sasana. Teks itu menyatakan sebagai berikut: lontar cumbana sasana, pĕpĕsang nto ngawacenin, apang sĕkĕn apang tatas, ring tingkahing ngalap rabi, mangda tan pati purugin, reh agung halane pangguh, kewĕh malih mangawitang, ngumbah pĕlihe jumunin, ñĕsĕl pangguh, mĕlah yatnain matingkah (Geguritan Sucita, Pupuh Sinom, bait 25). Lontar Cumbana Sasana, sering-seringlah itu dibaca, agar benar-benar paham, tentang tata cara berhubungan dengan istri, tidak sembarangan melanggar, karena besar sekali bahaya yang akan didapatkan, dan sulit mengembalikan lagi, termasuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan, sehingga penyesalan yang didapat, dengan demikian lebih baik hati-hati ketika berperilaku’.

Pustaka berjudul Cumbana Sasana yang disebut dalam Geguritan Sucita di atas tidak saja menepis anggapan seksualitas sebagai hal yang tabu, tetapi sekaligus memberikan rekomendasi agar pustaka itu dijadikan mata pelajaran hidup yang mesti dikuasai seseorang. Ajaran Cumbana Sasana atau Acumbana Krama juga pernah diperdebatkan oleh I Gusti Dauh Bale Agung dan Dang Hyang Nirārtha di Mas ketika ia diutus oleh Dalem Waturenggong untuk mengundang pendeta tersebut ke Gelgel. Acumbana Sasana atau Acumbana Krama merupakan ilmu bercinta yang diadaptasi dari ajaran Smara Tantra. Ajaran Smara Tantra sendiri adalah pengetahuan dasar tentang penciptaan dan peleburan. Dalam penciptaan, Smara Tantra mempertemukan Purusa dan Pradhana. Sebaliknya dalam peleburan, kedua elemen tersebut dipisahkan. [ii]

Tutur Catur Yuga

Pandangan bahwa aktivitas sanggama sebagai laku yang berdimensi spiritual  juga disangga oleh penjelasan Tutur Catur Yuga.[iii] Pustaka yang menceritakan kisah pertempuran antara Raja Bhanoraja dengan Rakatabyuha itu memuat petuah panjang seorang pendeta yang bernama Purbhasomi. Karena memuat ajaran pendeta tersebutlah karya berbentuk tutur ini juga diberi judul Tutur Bhagawan Purbhasomi. Melalui penjelasan Bhagawan Purbhasomi pula kita tahu bahwa seorang pendeta yang hendak melakukan sanggama diikat oleh tata krama (sasana).

Pertama-tama sebelum bersanggama, seorang pendeta disarankan untuk membersihkan diri dengan mantra berikut ini: Ong gumi suddha sarira suddha, bayu suddha kadi Sang Hyang Candra tan kalamukan megha, mangkana ening sarira jati, tan patalutuh, tĕlas ikang sarwwa lĕtuh. Ketika keinginan melakukan hubungan suami-istri itu telah tumbuh, ia mesti berkonsentrasi pada Hyang Smara dan Ratih. Setelah itu, pendeta laki-laki memegang dan meremas payudara istrinya. Susu yang di sebelah kanan bernama I Resta, sedangkan sebelah kiri bernama I Bakul. Gerakan tersebut lalu diikuti dengan mencium pipi sang istri yang bernama I Sundari Putih dan hidung yang bernama I Mas. Pada saat mencium, dalam batinnya ia menciptakan visualisasi Ongkara Sumungsang (terbalik) dengan Ongkara Ngadeg (tegak). Setiap melakukan ciuman, pada saat yang bersamaan juga mengundang I Sundari Putih. Ucapan yang dilantunkan di dalam hati ketika mengundang I Sundari Putih adalah Nyai Mas Sundari Putih, menek wangsya hati ring tempat. Usai mengundang Ni Sundari Putih, sang pendeta menyimpan tenaganya sebentar, sembari membuka pintu yang ada di wilayah Pemenang (vagina) disertai dengan desahan. Setelah itu barulah sanggama dilakukan. Karena merasa nyeri di wilayah vagina, biasanya roman wajah sang istri berseri. Pada saat itu, ada cairan berwarna kekuningan mengalir di vaginanya yang bernama Kuta Jaring Wesi. Adegan memeluk dan memangku juga mesti dilakukan oleh pendeta laki-laki selama proses sanggama. Pasca melakukan berbagai adegan tersebut dan tenaga pasangan masing-masing telah habis, Sang Pendeta merapalkan mantra berikut ini: Tirtha, tirtha kamandalu, sepi-sepi, alah maharum kena ya. Di adegan penutup, sang lelaki mencium keringat telapak tangan istrinya.[iv]

Pustaka Catur Yuga memberikan jaminan bahwa keringat sang istri akan beraroma wangi ketika berhasil dengan tepat melakukan hubungan sanggama sesuai petunjuk pustaka itu. Jika keringatnya wangi, sang pendeta laki-laki dapat mengusapkannya ke seluruh tubuh.[v] Aroma keringat yang wangi itu secara tidak langsung menjadi penanda suksesnya aktivitas hubungan suami istri yang dilakukan dengan landasan cinta kasih dan spiritual. Kelak, jika hubungan suami istri itu melahirkan seorang anak maka anak itu akan lahir dengan kualitas tubuh yang jarang tertimpa sakit, segala penjahat takut, pandai dalam segala bidang ilmu, berperilaku suci, perwira, dan berkuasa.

Spirit Tantra

Dikaitkan dengan konteks ajaran Tantra yang berpengaruh kuat di Bali, kita dapat memaknai lebih dalam aktivitas seksual dalam pustaka Catur Yuga di atas.

Langkah pertama yang dilakukan ketika melakukan hubungan seksual adalah membersihkan diri menggunakan mantra yang pada intinya bertujuan agar ruang yang ada di luar diri (gumi suddha), tubuh (sarira suddha), dan tenaga (bayu) seseorang menjadi bersih serta bebas dari segala kotoran. Kenapa harus membersihkan tiga hal tersebut menggunakan mantra? Jelas karena lapisan tubuh yang disasar bukan hanya pada tingkatan fisik, tetapi batin. Untuk membersihkan batin manusia dari kekotoran laten, mantra adalah sarana yang bisa digunakan. Mantra merupakan salah satu alat untuk menyeberangkan pikiran menuju kesucian karena pikiran manusia senantiasa bergejolak seperti riak air samudra. Oleh sebab itu, kekuatan mantra jika diucapkan dengan benar akan menyebabkan pikiran terkonsentrasi, semakin terpusat, semakin terarah sesuai dengan tujuan orang yang melantunkannya. Lapisan tubuh batiniah yang telah suci seperti cahaya bulan tak bermendung inilah yang nantinya akan digunakan sebagai brahma pura ‘Kuil Tuhan’. Hati yang suci dan hening itu pula dijadikan altar untuk memuja Hyang Smara dan Ratih sebagai dewata pemegang otoritas penciptaan. Beliau berdua adalah ayah ibu dari seluruh kehidupan.

Selanjutnya, bagian-bagian tubuh yang dijadikan sebagai generator rangsangan seperti pipi, hidung, dan payudara tidak dianggap seperti benda fisik-mati belaka, tetapi diberi nama spesifik untuk melegitimasi daya hidupnya. Pipi bernama Ni Sundari Putih ‘tanah putih’, hidung bernama I Mas ‘emas’, payudara kiri bernama I Resta ‘hresta: kesenangan’, dan payudara kanan bernama I Bakul ‘wakul’. Pemberian nama yang berkonotasi positif seperti ‘tanah putih’ untuk warna pipi, ‘emas’ untuk warna hidung, ‘kesenangan’ dan ‘wakul’ untuk kesuburan payudara tersebut juga bertujuan memuliakan bagian-bagian tubuh pada saat proses berhubungan seksual dilakukan.

Pada saat mencium, konsentrasi diarahkan penuh untuk visualisasi Ongkara Ngadeg dan Ongkara Sungsang. Penggunaan visualisasi ini jelas menjadikan tubuh sebagai simbol mistis (mystic symbol). Tubuh manusia, baik laki-laki maupun perempuan dibayangkan seperti Ongkara dengan penjelasan sebagai berikut. Rambut yang seperti helai garis tipis dengan posisi ke atas sama dengan Nada. Kepala yang bentuknya bulat adalah Windhu. Bahu kiri dan kanan yang dilekukkan ke atas menyerupai bulan sabit sama dengan Ardha Candra. Selanjutnya, organ di bawah dagu, mulai dari dada hingga kaki merupakan Okara yang bentuknya serupa dengan angka tiga dalam aksara Bali. Okara ini pada umumnya disebut Wiswa yang berarti lingkaran jagat atau bumi.[vi] Ketika ciuman dilakukan bahkan diteruskan dengan adegan sanggama, kedua pasangan yang melakukan sanggama sudah memvisualkan diri berwujud Ongkara. Barangkali, pada saat inilah pembagian menjadi Ongkara Ngadeg dan Ongkara Sungsang dilakukan. Ongkara Ngadeg adalah figur perempuan yang berada di posisi bawah, sedangkan Ongkara Sungsang adalah figur laki-laki yang berposisi di atas. Pertemuan kedua pasangan yang sudah memvisualisasikan diri sebagai Ongkara ini mengharapkan didapatkannya amerta ‘air suci kehidupan yang abadi’ dalam aktivitas sanggama.

Bersandar pada penjelasan di atas, hubungan seksual yang semula hanya aktivitas fisik berubah menjadi sangat sublim karena dalam batin seorang pendeta telah manunggal dua perwujudan aksara, yaitu Ongkara Sungsang dan Ongkara Ngadeg. Pasca melakukan sanggama dengan teknik inilah seorang pendeta mengharapkan amertha atau air suci kehidupan yang abadi. Cara menuntunnya adalah dengan rapalan mantra Tirtha, tirtha kamandalu, sepi-sepi, alah maharum kena ya. Mungkin, salah satu ciri bahwa amerta telah didapatkan melalui proses sanggama adalah keluarnya aroma harum dari keringat pasangan setelah melakukan sanggama. Oleh sebab itu, pustaka Catur Yuga menyarankan agar mencium keringat telapak tangan istrinya. Untuk apakah amerta itu?

Salah satu jawaban di balik usaha mencari amerta melalui sanggama adalah untuk dijadikan “minuman” bagi Atma.[vii] Itulah capaian tertinggi dalam aktivitas seksual. Yang mereguk kenikmatan dari aktivitas itu tidak hanya badan dengan segenap piranti indrawinya, tetapi juga lapisan terdalam manusia yaitu sang Jiwa. Sampai di sini, kita melihat pergerakan aktivitas seksual melangkah dari pendakian raga menuju aksara. [T]

Paris, 5 April 2025


[i]    Oka Manobhawa, IB. tt. “Pameda Smara Jalaran Ngulati Kaluhuraning Budhi” (Paper dibawakan dalam Seminar Bulan Bahasa Bali tahun 2019).

[ii]   Dharma Palguna, IBM. 2015. Shastra Wangsa Kamus Istilah Wangsa Bali Pustaka Pusaka Manusia. Mataram: Sadampatyaksara. Hlm. 67.

[iii]   Putra Pudartha, IB, dkk. 2008. Alih Aksara dan Terjemahan Catur Yuga. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Hlm. 100.

[iv]   Putra Pudartha, IB, dkk. 2008. Alih Aksara dan Terjemahan Catur Yuga. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Hlm. Hlm. 100-102)

[v]  Putra Pudartha, IB, dkk. 2008. Alih Aksara dan Terjemahan Catur Yuga. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Hlm. 102.

[vi] Dharma Palguna, IBM. 2018. Manusia Tattwa. Mataram: Sadampatyaksara. Hlm. 71-72

[vii] Dharma Palguna, IBM. 2018. Manusia Tattwa. Mataram: Sadampatyaksara. Hlm. 20

Penulis: Putu Eka Guna Yasa
Editor: Adnyana Ole

  • BACA artikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA
DI BALIK TOPENG DALEM SIDDHAKARYA
SOMYA DAN ŚŪNYA: Yang Terlupakan dari Gemuruh Euforia Ogoh-Ogoh
TRI KARANA SWARŪPA : Temuan Ida Wayan Oka Granoka untuk Menjawab Tantangan Zaman
Tags: aksarasastra bali klasikSeksualitas
Previous Post

5 Tradisi Umat Muslim di Bali: Selain Unik, juga Menghangatkan Tali Persaudaraan

Next Post

Oratorium Panji Sakti, Ragam Nusantara dan “Shortcut” — Catatan Malam Apresiasi Seni HUT Kota Singaraja

Putu Eka Guna Yasa

Putu Eka Guna Yasa

Pembaca lontar, dosen FIB Unud, aktivitis BASAbali Wiki

Next Post
Oratorium Panji Sakti, Ragam Nusantara dan “Shortcut” — Catatan Malam Apresiasi Seni HUT Kota Singaraja

Oratorium Panji Sakti, Ragam Nusantara dan “Shortcut” -- Catatan Malam Apresiasi Seni HUT Kota Singaraja

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Galungan di Desa Tembok: Ketika Taksi Parkir di Rumah-rumah Warga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Manusia Tersekolah Belum Tentu Menjadi Terdidik

by I Nyoman Tingkat
May 19, 2025
0
Manusia Tersekolah Belum Tentu Menjadi Terdidik

PADA 2009, Prof. Winarno Surakhmad, M.Sc.Ed. menerbitkan buku berjudul “Pendidikan Nasional : Strategi dan Tragedi”.  Buku setebal 496 halamanitu diberikan...

Read more

Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

by Dewa Rhadea
May 19, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

PAGI ini, saya membaca sebuah berita yang membuat dada saya sesak: sekelompok siswa Sekolah Dasar (SD) di Cilangkap, Depok, terlibat...

Read more

Aktualisasi Seni Tradisi dalam Pusaran Era Kontemporer

by Made Chandra
May 19, 2025
0
Aktualisasi Seni Tradisi dalam Pusaran Era Kontemporer

Upaya Membaca yang Dianggap Lalu, untuk Membaca Masa Kini serta Menerka Masa Depan KADANG kala selalu terbersit dalam pikiran, apa...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Mujri, Si Penjaja Koran: Sejak 22 Tahun Tetap Setia Berkeliling di Seririt
Persona

Mujri, Si Penjaja Koran: Sejak 22 Tahun Tetap Setia Berkeliling di Seririt

TERSELIPLAH sosok lelaki bertopi di antara sahut-riuh pedagang dan deru kendaraan di jalanan sekitar Pasar Seririt, Buleleng, Bali, pada satu...

by Komang Puja Savitri
May 19, 2025
Literasi Film untuk Keluarga: Anak-anak Menonton Sekaligus Belajar
Panggung

Literasi Film untuk Keluarga: Anak-anak Menonton Sekaligus Belajar

AMFLITEATER Mall Living World, Denpasar, ramai dipenuhi pengunjung. Sabtu, 10 Mei 2025 pukul 17.40, Tempat duduk amfliteater yang bertingkat itu...

by Hizkia Adi Wicaksnono
May 16, 2025
Sariasih dan Manisnya Jaja Sengait Gula Pedawa 
Kuliner

Sariasih dan Manisnya Jaja Sengait Gula Pedawa

ADA beberapa buah tangan yang bisa kalian bawa pulang untuk dijadikan oleh-oleh saat berkunjung ke Singaraja Bali. Salah satunya adalah...

by I Gede Teddy Setiadi
May 16, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co