SEHARI sebelum Nyepi, 28 Maret 2025, umat Hindu di seluruh Bali, juga di Nusantara, melaksanakan pengerupukan, sebuah kegiatan keagamaan yang bertujuan untuk mengusir energi negatif bhuta kala di lingkungan rumah dan sekitarnya.
Di Desa Padangbulia, Buleleng-Bali, kegiatan mengusir energi-energi negatif dilakukan dengan ritual yang cukup berbeda dengan desa-desa lain di Bali. Pada saat pengerupukan, selain pengarakan ogoh-ogoh dan meamuk-amukan atau perang api, juga dilakukan ritual ngoncang.
Apa itu ngoncang?
Ngoncang adalah kegiatan memukul-mukul ketungan, persis seperti orang yang sedang menumbuk padi. Ngoncang ini memiliki perbedaan dengan menumbuk padi atau nebuk.
Kalau nebuk, di dalam ketungannya tentu ada padi. Kalau ngoncang, di dalam ketungan itu kosong. Karena kosong, maka, ketika dipukul-pukul, ketungan itu menimbulkan suara yang khas dan cukup keras menyerupai suara gambelan.
Ngoncang biasanya dilakukan oleh warga, terutama ibu-ibu, satu grup berjumlah antara 5 sampai 10 orang, tergantung panjang ketungannya.

Bapak-bapak di Desa Padangbulia ngoncang saat hari pengerupukan sebelum Nyepi | Foto: Dok. Dek Bem
Mereka akan secara bersama-sama memukul-mukul kentungan dengan tempo yang berbeda-beda. Ada pemukul ada yang menciptakan tempo yang cepat, ada yang sedang, ada yang acak, dan ada juga yang menciptakan tempo lambat. Suara pukulan mereka bersahut-sahutan, persis seperti tempo metronome.
Sehingga terciptalah suara suara yang sederhana namun menarik.
Ibu-ibu para penabuh ketungan atau kita sebut saja tukang ngoncang atau pengoncang. Mereka berjejer di pinggir jalan. Jalanan adalah panggung mereka untuk mempertunjukkan atraksi memukul-mukul ketungan. Ketungan itu dipukul dengan pemukul yang terbuat dari kayu, biasa disbut lu.
Apa itu ketungan? Ketungan adalah sebuah alat untuk menumbuk padi di masa lalu yang terbuat dari batang kayu yang cukup besar dengan panjang sekitar 3 sampai 5 meter.
Batang kayu tersebut dilubangi di bagian tengahnya sebagai tempat untuk menaruh padi ketika akan ditumbuk. Alat penumbuknya atau pemukulnya disebut dengan lu yang juga terbuat dari kayu yang memiliki panjang sekitar 1 meter sampai 2 meteran.
Adapun tujuan dari kegiatan itu adalah untuk mengusir atau meleyapkan energi-energi negatif dari bhuta kala. Di masa lalu ngoncang juga dilakukan ketika ada gerhana bulan
Pada saat gerhana bulan, masyarakat akan secara spontan mereka memukul-mukul kentungan atau ngoncang agar gerhana bulannya cepat berlalu dan bulan kembali bersinar. Namun seiring waktu kegiatan itu mulai ditinggalkan.

Warga di Desa Padangbulia ngoncang saat hari pengerupukan sebelum Nyepi | Foto: Dok. Dek Bem
Banyak faktor yang menyebabkan mulai hilang tradisi ngoncang, terutama saat gerhana bulan atau gerhana matahari. Antara lain penyebabnya karena sudah hampir tak ada lagi orang yang menumbuk padi. Jadi otomatis keberadaan ketungannya pun sudah semakin langka.
Ngoncang memiliki makna yang mendalam karena kegiatan ngoncang itu adalah sebuah peroses untuk menciptakan keindahan gerak keharmonisan, kerjasama dan juga penyelarasan rasa melalui peran yang berbeda-beda. Bersama tidak harus sama.
Semoga ke depan nanti masyarakat tetap masih mau untuk melakukan atau menjalankan tradisi ngoncang ini sehingga tetap ada dan terus memberikan irama irama sederhana namun penuh makna di tengah segala gempuran teknologi, entah bagaimanapun caranya. [T]
Penulis: Gede Dedy Arya Sandy
Editor: Adnyana Ole