MAHIMA March March March tahun 2025 ini melibatkan saya bukan lagi sebagai penampil, melainkan sebagi pembedah buku berujudul Sana dan Sini : Ingatan Teater, Masyarakat dan Seni karya Andy Sri Wahyudi (selanjutnya Andy SW) pada tanggal 16 Maret 2025 di Komunitas Mahima. Sebuah pekerjaan yang “tak lazim” bagi seorang pelaku seni tradisi seperti saya yang biasanya membaca lontar/salinan lontar, kakawin dan sejenisnya.
Namun Made Adnyana Ole (saya panggil Pak Ole) meyakinkan saya bahwa, “Dalam teater tradisi itu, ingatanlah yang membangun pertunjukan, ceritakan itu bagaimana ingatan seniman diramu dan dipanggungkan”.
Sejak pesan itu disampaikan, saya langsung membaca buku yang cukup tebal bagi saya yang hanya membaca buku jika ada perlu. Saya betul dipaksa oleh Pak Ole untuk membaca, sehingga niat saya ya pasti membaca cepat. Namun ternyata niatan itu berbeda arah. Setiap sub judul dalam buku, banyak diksi-diksi yang dipilih seakan mengajak saya untuk membaca lebih lama, banyak ingatan tentang masa kuliah saya di Yogyakarta terbangun lagi.
Tidak hanya itu, pengungkapan dengan gaya naratif yang lugas, membawa saya menelusuri dinamika teater yang digunakan oleh Andy SW sebagai medium ekspresi kejujuran, kejenakaan dan keseriusan Andy SW dalam perisitwa yang dialaminya.
Tentang Andy Sri Wahyudi
Setelah membaca buku ini, dan mendiskusikanya dengan beberapa teman, saya menemukan sastra dan teater yang menubuh dalam diri Andy SW. Betapa tidak, sastrawan yang menuliskan puisi-puisi dijadikan naskah teater serta langsung memproduksi dan menjadi sutradara mampu menjelajahi medium seni pertunjukan untuk menemukan pengetahuan (metode penciptaan, penyutradaraan, penulisan naskah lakon termasuk manajemen produksi) di baliknya.

Putu Ardiyasa (penulis) saat menyampaikan materi pada acara bedah buku “Sana dan Sini, Ingatan Teater, Masyarakat dan Seni” serangkaian acara Mahima March March March di Komunitas Mahima, Singaraja-Bali, Minggu 16 Maret 2025 | Foto: Dok. Komunitas Mahima
Andy SW bagi saya termasuk seorang yang jujur dengan kebebasannya. Karena Andy SW dapat mewujudkan gagasan-gagasannya di atas panggung pertunjukan, bebas melakoni menjadi sutradara, aktor dan penulis naskah. Termasuk bebas mengapresiasi seni pertunjukan yang digarap oleh pelaku teater lainnya dengan menuliskan ulasan-ulasan kritis.
Catatan Andy SW ini mengingatkan saya dengan catatan perjalanan Miguel Covarrubias tentang peristiwa kebudayaan Bali dalam sebuah buku berjudul Island Of Bali atau Selampah Laku karya Ida Peranda Made Sidemen yang selalu mencatat perisitwa kehidupannya dalam bentuk geguritan ataupun bentuk lainnya.
Serupa? Tentu tidak. Namun Andy SW melakukan pola yang sama, “menulis” sebuah peristiwa yang kelak akan membangunkan ingatan tentang kejadian yang penting saat itu.
Ingatan yang Diceritakan
Persoalan ingatan dalam judul buku Andy SW ini kembali membongkar ingatan masa lalu saya bahkan cerita-cerita unik terutama kisah dalang lingsir (sepuh) dalam pertunjukannya. Sajian buku Andy SW ini mengingatkan saya dengan cerita kakek tentang Dalang Rai Mesi (alm) dari Bangli yang populer tahun 1970-1985. Kala itu orang-orang hanya menunggu nomor togel (dalam istilah Bali disebut buntut) yang diceritakan oleh punakawan ataupun tokoh utama dalam pertunjukan wayang. Setelah itu bahkan penonton sebagian besar bergegas pulang untuk membaca buku kecil 1000 Mimpi.
Dalam praktek sebagai seorang dalang, saya melakukan hal yang sama seperti dilakukan Andy SW, membaca kakawin Brata Yudha itu secuplik dalam pakem, namun sekalinya buka Brata Yuda, malah bisa bolak-balik, “lah kok ini bagus, lah ini apa maksudnya”, sehingga harus membaca bait-bait sebelum atau sesudahnya. Atau dalam kerja-kerja kreatif seniman topeng Bali, selalu mendiskusikan hal-hal yang akan dibicarakan di atas pentas itu di belakang panggung berdasarkan ingatan yang dilihat sebelum pementasan atau dalam pementasan terdahulu.

Buku “Sana dan Sini, Ingatan Teater, Masyarakat dan Seni” | Foto: Dok. Komunitas Mahima
Ingatan lain dalam praktek berkesenian juga muncul ke permukaan tentang bagaimana pesan Pekak (kakek) Dalang I Made Sidja (alm) dengan bahasa “nah muruk gen malu ning, tongos meigelan pasti ade”. Artinya kita disuruh latihan dulu, perkara pentasnya dimana itu seperti beserah kepada alam semesta. Saya mempercayai dan menerapkan prinsip kerja ini. Bahkan latihan yang saya pahami dalam konteks pedalangan, tidak hanya menggerakkan wayang, tetapi juga mebalih (menonton), ningeh (mendengar), nutur (bercerita), dan nyurat (menulis).
Hal inilah yang diajarkan secara tidak langsung oleh Pekak Dalang Sidja dan saya temukan dalam buku Andy SW. Bahwa menjaga ingatan dengan cara menulis itu adalah cara yang paling bijaksana. Andy SW mencatat peristiwanya hadir dalam sebuah festival, pertunjukan ataupun pengalaman pribadinya dalam menulis puisi dan naskah. Hal serupa juga saya temukan di dalam buku Seni Pertunjukan dan Akal Sehat karya Sal Murgiyanto seorang kritikus kenamaan di bidang kritik tari. Sal juga menuliskan peristiwanya mengajar seni tari di sebuah universitas negeri di Taiwan, Intitut Kesenian Jakarta, ataupun catatannya sebagai kritikus tari yang malang melintang keliling dunia dalam “membaca” kesenian tradisi di Bali, sampai pada karya kontemporer avant garde di Amerika.

Kadek Sonia Piscayanti (salah satu pembedah) dan Andy Sri Wahyudi pada acara bedah buku “Sana dan Sini, Ingatan Teater, Masyarakat dan Seni” serangkaian acara Mahima March March March di Komunitas Mahima, Singaraja-Bali, Minggu 16 Maret 2025 | Foto: Dok. Komunitas Mahima
Jika tidak dituliskan, saya meyakini ingatan kakek saya tentang Dalang Rai Mesi mungkin akan sirna jika tidak diceritakan kembali, atau ingatan pragina (penari) topeng Bali mungkin akan selalu berkembang sehingga yang terjadi lebih banyak improvisasi. Bahkan saya tidak lagi bisa belajar dari kisah-kisahnya Pekak Dalang Sidja.
Namun dalam menulis, Andy SW dan penulis-penulis yang saya sebutkan itu sudah dapat dilihat dalam bukunya bahwa mereka tentu membaca dan menonton kemudian buah pikirannya dituliskan.
Pelaku Seni Pertunjukan Tidak Hanya Mencipta, Tetapi Membaca, Menonton, dan Menulis
Buku Andy SW ini menunjukkan bahwa kekayaan berpikir pelaku seni lahir dalam proses mencipta (produksi) karya seni yang di dalamnya tidak hanya usaha kreatif dalam “mengkomposisi” bentuk-bentuk dalam hal ini adegan. Namun juga terlahir dari menonton banyak karya seni lainnya, membaca sumber referensi untuk menguatkan karya seni yang diproduksi.

Kadek Sonia Piscayanti (salah satu pembedah), Made Adnyana Ole (moderator) dan Andy Sri Wahyudi pada acara bedah buku “Sana dan Sini, Ingatan Teater, Masyarakat dan Seni” serangkaian acara Mahima March March March di Komunitas Mahima, Singaraja-Bali, Minggu 16 Maret 2025 | Foto: Dok. Komunitas Mahima
Dalam prinsip kerja seni pedalangan khususnya di Bali yang dirumuskan dalam teori kawi dalang oleh Prof. Dr. I Nyoman Sedana, MA (selanjutnya Nyoman Sedana) dapat dilihat dua aspek penting, yaitu aspek bentuk dan isi. Pada aspek bentuk terdapat unsur-unsur teknis sebagai pembentuk pertunjukan seperti bentuk wayang, iringan, dalang, katengkong dan aparatus pertunjukan seperti kelir, keropak, jelujuh, racik, blencong, cepala dan lain-lain. Sedangkan aspek isi, dalam istilah pedalangan disebut isen-isen satuwa (isi cerita) yang menjelaskan kerja kreatif dalang dalam menyampaikan pesan dalam pertunjukannya.
Apakah semua itu bisa dilakukan tanpa membaca dan menonton? Pasti tidak bisa, Dalang I Wayan Nardaya (Dalang Cenk Blonk) misalnya pernah bercerita kepada saya tentang prosesnya menjadi dalang. Dalang Cenk Blonk dalam ceritanya, gemar membaca skrip pertunjukan wayang di perpustakaan ISI Denpasar (sekarang ISI Bali). Tidak berhenti di situ, Dalang Cenk Blonk mengumpulkan rekaman-rekaman pertunjukan dalang mulai dari Dalang Madra, Dalang Buduk (dalang dari Desa Buduk), Dalang Rai Mesi, Dalang Sidja, Dalang Sidia (Buleleng) dan Dalang Wija untuk didengarkan dan ditulis isen-isen satwanya. Apakah cukup di sana, ternyata belum, Dalang Cenk Blonk juga “mengulik” cerita dalang-dalang kenamaan di Bali, salah satunya I Wayan Rajeg yang lebih dikenal sebagai Dalang Tunjuk (dalang dari Desa Tunjuk).
Rekaman itu tidak hanya menjadi hiasan dinding, melainkan didengarkan dan dikumpulkan hal-hal identik, dan unik dari para dalang. Misalnya gerak wayang, kentara sekali Cenk Blonk banyak adopsi gerak wayang Dalang Wija, pembawaan punakawan Delem Sangut yang terinspirasi dari Dalang Buduk dan Dalang Rai Mesi. Kumpulan hal-hal identik dan unik ini ditulis oleh Dalang Cenk Blonk dan digunakan dalam pertunjukan wayangnya.
Satu kasus ini pasti tidak bisa mewakili semuanya, tetapi satu kasus ini adalah bukti bahwa proses membaca, menonton dan menulis menciptakan sejarah besar dalam dunia seni pedalangan di Bali, melahirkan dalang fenomenal pada Abad 21 yang belum tergantikan posisinya hingga saat ini.

Sejumlah mahasiswa menjadi peserta acara bedah buku “Sana dan Sini, Ingatan Teater, Masyarakat dan Seni” serangkaian acara Mahima March March March di Komunitas Mahima, Singaraja-Bali, Minggu 16 Maret 2025 | Foto: Dok. Komunitas Mahima
Bagi Andy SW, apa yang ditulis itu adalah pengetahuan, karena baginya seni pertunjukan tidak hanya melahirkan produk dalam bentuk barang/jasa, tetapi juga melahirkan pengetahuan berupa metode, konsep, dan karya panggung (artistik) termasuk pengetahuan pasar seni tentang siapa target segmen dari produk karya yang diproduksi.
Buku Andy SW ini kembali meyakinkan bahwa praktek berkesenian dalam teater tradisional dalam kerja produksi seninya sekalipun membutuhkan kemampuan (tidak hanya teknis) tetapi keterampilan membaca, menonton dan menulis termasuk mengungkapkan kembali proses kreatif itu dalam sajian seni pertunjukan yang menghubungkan antara antara seniman dan penontonnya yang disebut relasi ekosistem seni pertunjukan.
Relasi Seni Pertunjukan
Kesempatan saya membedah buku karya Andy AW ini jujur membuat saya kesana ke sini kembali mempersoalkan hal-hal yang pernah saya alami dulu, mungkin saja itu pernah saya anggap tidak penting, namun pasca membedah buku ini semuanya “kok jadi penting ya”.
Mungkin saja apa yang saya lakukan, ataupun saya lihat praktek kerja kesenian di Bali itu sudah “usang” (biasa saja), tapi dalam buku ini saya menemukan bagaimana seniman berjuang untuk mempertemukan karyanya dengan masyarakat penonton, sponsor, penyelenggara event, termasuk lembaga pendidikan. Seperti halnya pelaku seni di Bali, saya sekalipun untuk berelasi dengan masyarakat penonton perlu mempelajari “kesukaan” dari masyarakat yang akan “dihibur” (hiburan tidak hanya tertawa). Bahkan masuk ke tempat tajen (sabung ayam),ke pasar dan ke lokalisasi sekalipun, tidak sebagai penikmak sesungguhnya, tetapi sebagai pengamat bagaimana peristiwa yang berkembang di masyakat kemudian dibawa ke pertunjukan.
Hal ini dalam penelitian saya tahun 2017 tentang kelompok seni Pertunjukan Papermoon Puppet Theater yang berbasis di Yogyakarta disebut sebagai upaya untuk membangun reputasi. Bahwa sebagai pelaku seni tidak hanya menyelesaikan sebuah naskah tetapi juga melibatkan penonton melalui kehadiran peristiwa-peristiwa masyarakat dalam pertunjukan.

Putu Ardiyasa (penulis/pembedah), Kadek Sonia Piscayanti (pembedah), Made Adnyana Ole (moderator) dan Andy Sri Wahyudi pada acara bedah buku “Sana dan Sini, Ingatan Teater, Masyarakat dan Seni” serangkaian acara Mahima March March March di Komunitas Mahima, Singaraja-Bali, Minggu 16 Maret 2025 | Foto: Dok. Komunitas Mahima
Dalam konteks kerja kesenian, Andy SW juga mensyaratkan pentingnya jejaring kerja. Baginya, pelaku seni tanpa jaringan kerja kita tidak dapat mewujudkan cita-cita. Kita harus selalu kreatif dalam membuat sistem kerja dan menciptakan produk karya. Tidak hanya itu, kita juga berbekal kemampuan berkomunikasi, menunjukkan kesunguh-sungguhan, dan tanggungjawab.
Meminjam istilah Pekak Dalang Sidja (alm) disebut dengan Seken, Tulus Dadi. Sebuah konsep kerja kesenian yang memadukan antara Seken (sungguh-sungguh) dalam setiap proses yang dilalui, Tulus (penuh keyakinan) dalam menekuni prosesnya dan Dadi yang dimaknai sebagai pencapaian terhadap hasil proses yang dilalui baik sekala dan niskala.
Dari Andy SW, saya punya pertanyaan dalam diri (dapat juga saya ajukan kepada kawan-kawan yang membaca dan yang senasib). Apakah kita sudah membaca, menonton dan menulis dalam berkarya? Jika sudah, sudah sampai mana? Adakah catatan proses kreatif dan sistem kerja itu? jika ada mari datang dan bagikan kepada kami.
Demikianlah
Saya akhiri catatan ini dengan Tancab Kayonan
Salam budaya
Cinta Budaya, cinta Indonesia
Penulis: Putu Ardiyasa
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: