PADA saat masih duduk di bangku kuliah, Soe Hok Gie adalah sosok yang saya idolakan. Bukan saja karena sikap dan pemikirannya, tapi juga hobinya mendaki gunung. Bahkan, pada momen tertentu, saya membayangkan dirinya bersemayam dalam diri saya—sesuatu yang tidak masuk akal, memang. Tetapi begitulah yang saya rasakan saat saya terlibat dalam perdebatan sengit di forum-forum diskusi atau saat menggigil di puncak gunung—atau sekadar mendengarkan Donna Donna (nyanyian Yahudi itu) di kamar saya yang sempit.
Karena begitu mengagumi sosoknya, tentu saja saya juga membaca buku-bukunya, salah satunya buku yang berjudul “Zaman Peralihan” terbitan Gagas Media tahun 2005. Buku ini memuat tulisan Soe Hok Gie yang berserak di berbagai media massa tentang kondisi Republik Indonesia (seputar kebangsaan, kemahasiswaan, dan kemanusiaan) di era peralihan kekuasaan Soekarno (orde lama) ke Soeharto (orde baru).
Namun, meski ditulis pada era 60-an, beberapa tulisan Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan tampak menggambarkan situasi Indonesia hari ini. Bukan saja soal kebangsaannya, tapi juga kemahasiswaannya dan kemanusiaannya. Pada titik ini, saya merasa, negara ini sepertinya tidak belajar dari sejarah, masih saja jatuh ke lubang yang sama. Persoalan korupsi, kolusi, dan nepotis masih berkembangbiak dengan subur. Pun praktik-praktik pelacuran intelektual tak kunjung hilang dari dunia pendidikan.
Saya setuju dengan Dr. Kuntowijoyo dalam pengantarnya dalam buku ini, bahwa persoalan-persoalan yang ditulis oleh Soe Hok Gie masih relevan dengan keadaan sekarang (pasca reformasi), di mana sedang terjadi krisis legitimasi dikarenakan tidak adanya exemplary center, yaitu hilangnya panutan yang bisa dicontoh, yang seharunya diberikan oleh mereka yang berada di pucuk kekuasaan.
“Krisis legitimasi ini terjadi tatkala perilaku yang ada di tingkat kekuasaan, yaitu kekuatan-kekuatan yang secara menyeluruh mendominasi ekonomi, politik, jenjang sosial, dan produksi kultural yang tak mampu lagi menjadi panutan masyarakat,” lanjut Kuntowijoyo.
Hari-hari ini demonstrasi ada di mana-mana—di kota-kota besar sampai ke pelosok-pelosok negeri. Pemantiknya jelas: ketulian dan kedunguan pemerintah yang kian mengkhawatirkan. Disahkannya revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI adalah bentuk betapa pemerintah begitu tidak peduli terhadap suara—pun nasib—rakyatnya sendiri. Sebagaimana kata Gie, “betapa tak menariknya pemerintah sekarang”. Mengenai situasi semacam ini, Zaman Peralihan seperti menuntun kita untuk mengeja kembali kebangsaan kita hari-hari ini.
Bacalah artikel Menaklukkan Gunung Slamet, Anda akan mengetahui bahwa Gie juga melihat bagaimana Indonesia (orde baru) sebetulnya tidak berubah—dari orde lama. Seturut kata Stanley dan Aris Santoso, editor Zaman Peralihan, esensi yang terkandung dalam pikiran-pikiran Soe Hok Gie masih sama. Ibarat sebuah tontonan, lakonnya tetap sama. Hanya setting panggung, kostum, dan pemainnya saja yang berbeda. Ini satu indikasi bahwa pemerintah memang tidak pernah belajar dari sejarah—bahkan barangkali itu perihal yang tak penting dipelajari. Hipokrasi, cakar-cakaran, dan tukang kecap masih menonjol. Malah masih banyak mahasiswa yang tadinya kelihatan “idealis” mendadak terserang dekadensi moral—seperti yang terjadi pada beberapa tokoh aktivis ’98 hari ini.
Diamnya para intelektual Indonesia pada masa orde baru turut Gie kritisi. Ia menyampaikan, “Saya pribadi melihat, bahwa generasi mendatang akan banyak sekali mengecam generasi intelektual Indonesia sekarang [orde baru]. Sebagian besar dari mereka, tutup mulut, dan tidak berbicara mengenai pelanggaran-pelanggaran paling kasar terhadap manusia yang terjadi di Indonesia.” Dan ini tampaknya juga berlaku bagi intelektual-intelektual kita hari ini yang memilih bungkam melihat ketidakadilan, kesewenang-wenangan, mengangkang di depan matanya.
Di negeri ini, sampai sekarang, tak sedikit intelektual yang perannya sebatas pelegitimasi struktur status quo penguasa. Mereka memilih menyumpal telinga, mulut, dan pikirannya dengan jabatan-jabatan di kampus maupun di pemerintahan dan pendapatan-pendapatan haram yang membuatnya lena. Mereka, kata Gie, adalah pelancur-pelacur intelektual “yang bekerja dengan bajingan-bajingan minyak, calo-calo modal asing dan pejabat-pejabat yang korup dan sloganistis”.
Tetapi juga tak sedikit intelektual yang masih—seperti kata Arief Budiman—berperangi layaknya resi, yang dalam waktu-waktu tertentu rela meninggalkan pertapaannya untuk mengabarkan keadaan yang buruk sambil berharap penguasa akan mengubah keadaan buruk tersebut. Intelektual semacam ini jelas tidak memulai pamrih politik.
Selain soal kebangsaan, kemahasiswaan, dan kemanusiaan, Zaman Peralihan juga memuat catatan-catatan Soe Hok Gie selama berkunjung ke Amerika dan Australia (pada rentang 8 Oktober 1968 hingga 3 Januari 1969). Di sana, Gie berkelana ke universitas-universitas seperti Berkeley, Yale, dan Cornell, dan berbincang dengan banyak mahasiswa dari berbagai latar belakang negara serta ideologi. Dalam salah satu catatannya, Gie membahas tentang agama dan tantangnya—dalam konteks Amerika—yang ditutup dengan lelucon di WC kampus Universitas Hawaii: “God is Not Dead But Unemployed” (Tuhan tidak mati, Cuma jadi pengangguran).
Sampai di sini, buku Zaman Peralihan masih penting untuk dibaca. Bukan saja masih relevan tapi juga mencakup hal-hal subtansial dalam sejarah bangsa Indonesia. Apalagi keterus-terangan Gie dalam setiap tulisannya membuat kita mengetahui siapa aktor-aktor yang disebut Gie sebagai “pelacur intelektual”. [T]
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: