Slinat (Silly In Art), seniman jalanan asal Denpasar, Bali menggelar pameran tunggalnya dengan tajuk utama “I Bali”. Pameran dibuka Sabtu, 22 Maret 2025 dan berlangsung hingga Sabtu, 12 April 2025 di TAT Art Space, Jalan Imam Bonjol, Denpasar. Dalam pamerannya kali ini, Slinat kembali bermain dengan medium awalnya di tahun 2009 dalam membahas satu hal yang tidak kunjung selesai terbahaskan: wheatpaste dan pariwisata Bali.
Wheatpaste adalah salah satu metode berkarya di tembok jalanan, menempel kertas yang sudah digambar. Metode ini sudah ada berabad-abad lamanya sebagai media pengumuman atau mempromosikan sesuatu. Namun metode itu akhirnya menjadi cara berekspresi kaum yang dimarjinalkan, yang dilakukan secara gerilya. Di dunia seni jalanan atau street art, karya wheatpaste jarang dipasang di siang hari, lebih sering di malam hari dan menjadi hal yang mengagetkan keesokan harinya.


Karya-karya Slinat yang dipamerkan di TAT Art Space. Pameran tunggal bertajuk “I Bali” berlangsung dari hari Sabtu, 22 Maret sampai dengan 12 April 2025 | Foto: Gede Sumarjaya
Berbicara tajuk pameran, bagi Slinat ada gejolak yang terus mengusiknya. Di saat Bali konon dijanjikan akan diselamatkan dari turisme, justru sebaliknya. “Pariwisata berlebihan nir kontrol memunculkan ragam persoalan. Penyerobotan lahan, alih fungsi lahan dan privatisasi pantai kerap terjadi. Pula permasalahan lainnya seperti kemacetan, sampah dan banjir yang tak kunjung terselesaikan,” jelasnya.
Untuk Slinat, rasanya mungkin terlalu repetitif membahas tentang Pariwisata Bali yang tidak ada habisnya dibahas, namun di saat yang sama terlalu menggelitik untuk tidak disuarakan. Sampai-sampai, slogan cindera mata dari Bali, “I Bali”, sudah tidak terdengar manis lagi.
Hal-hal mengenaskan itu membuat Slinat ingin mengeksplorasi simbol “I Bali” sebagai propaganda serta memparodikan dengan chiri khasnya. Sebelumnya ia pernah memparodikan “Visit Bali Year” yang penuh dengan imaji penari legong maupun perempuan menggunakan masker asap karena eksploitasi yang berlebihan terjadi di tanah asalnya ini. Seakan memberi gambaran dampak turisme Bali perlu menjadi bagian dari imaji keseharian semua orang.

Karya-karya Slinat yang dipamerkan di TAT Art Space. Pameran tunggal bertajuk “I Bali” berlangsung dari hari Sabtu, 22 Maret sampai dengan 12 April 2025 | Foto: Gede Sumarjaya
Dengan eksplorasi baru ini, Slinat memperkaya visualnya lagi dengan simbolisasi yang telah melekat pada pariwisata Bali yang menyatakan aku sayang Bali. Namun sebenarnya mempertanyakan: apakah benar kita sayang dengan Bali? Sebuah pertanyaan yang humanis kepada yang non-manusia, daratan Pulau Bali dan alamnya, tetapi untuk sesama manusia Bali-nya juga.
Pula dalam karyanya, Slinat menawarkan pembingkaian baru terhadap gambar-gambar Bali lawas dengan caranya, mengenalkan anomali dan mutasi baru, mengelaborasi tema “I Bali”. Seperti wajah-wajah yang terdistorsi menjadi banyak muka muncul dari efek negatif industri pariwisata. Wajah berlubang dengan lilin atau elemen lainnya menggambarkan pelaku adat Bali yang sering dijadikan objek daya tarik wisata, namun di sisi lain selalu menjadi korban efek buruknya. Gambar babi berkepala buldoser yang mencerminkan bahwa peliharaan babi yang dulu diternak secara liar merupakan simbol ruang atau lahan yang tanpa dibatas-batasi, namun itu semua hilang saat pariwisata semakin maju dan lahan atau tanah bernilai semakin tinggi.


Karya-karya Slinat yang dipamerkan di TAT Art Space. Pameran tunggal bertajuk “I Bali” berlangsung dari hari Sabtu, 22 Maret sampai dengan 12 April 2025 | Foto: Gede Sumarjaya
Yang menarik dari karya Slinat adalah penggunaan gaya realisme. Cenderung didominasi warna hitam putih, atau menggunakan warna alam, sehingga memberi kesan mengingatkan keberadaan kita sebagai manusia di bumi ini. Dengan sifat kekaryaan yang wheatpaste dan drawing, membawakan kesan raw atau kasar menggambarkan realita yang semata-mata distopia tetapi juga mengajak kita sebagai manusia berpikir realistis.
Apa yang dihadirkan Slinat merupakan perpanjangan dari gaya realisme sosial, menceritakan dan menjadi suara tentang keberadaan rakyat kecil yang terimbas dari perkembangan sebuah negara. Maka Slinat menghadirkan realita-realita baru dalam parodi terbarunya “I Bali”. Setidaknya Slinat menghadirkan hal-hal yang menurutnya realita menggelitik di pulau yang katanya disayangi sepenuh hati. [T]
Sumber: Rilis Pameran
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA