15 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

SOMYA DAN ŚŪNYA: Yang Terlupakan dari Gemuruh Euforia Ogoh-Ogoh

Putu Eka Guna YasabyPutu Eka Guna Yasa
March 9, 2025
inEsai
SOMYA DAN ŚŪNYA: Yang Terlupakan dari Gemuruh Euforia Ogoh-Ogoh

Ogoh-ogoh | Gambar diolah dari berbagai sumber di internet

Sumber Sastra

Ogoh-ogoh yang kini menghiasi setiap sudut balai banjar di Bali lahir dari rahim rangkaian pelaksanaan hari suci Nyepi. Secara lebih khusus, ogoh-ogoh diarak sehari sebelum Nyepi melalui prosesi yang dikenal luas dengan sebutan Pangrupukan. Sebelum sampai pada pusaran hal yang mungkin luput dari perhatian, mari kita tengok dulu sejumlah sumber sastra tentang Pangrupukan. Dengan sandaran sastra, kita bisa melihat genetika ide dari kreativitas ini, termasuk pula perkembangannya kini.

Pustaka Aji Swamandala memaparkan bahwa pada saat Tilem Kasanga, kawanan Kala dan Kali mendatangi desa untuk mencari mangsa (apan Sang Kala Kali wus minder mangulati bhuktinira, mara ring desa-desa kabeh). Oleh sebab itu, baik di perempatan desa maupun di rumah, warga masyarakat menghaturkan sesajen berupa pacaruan. Setelah upacara pacaruan dihaturkan, barulah Pangrupukan dilaksanakan. Menariknya, pustaka Aji Swamandala menyatakan Pangrupukan dengan istilah Caru Asasapen yang berarti ‘caru yang digelar sebelum Nyepi’. Ketika caru dipersembahkan, pada saat yang bersamaan diiringi pula oleh gambelan, kentongan bulus, dan sorak sorai yang ramai (maduluran tangguran, mambulus, mwang surangkang ramya).

Senada dengan Aji Swamandala, pustaka Sundarigama sebagai salah satu sumber literasi upacara yang paling sistematis di Bali bahkan memberikan penjelasan yang lebih rinci. Pustaka ini menyatakan bahwa pada malam tergelap di fase peralihan bulan ke-9(sekitar Maret) menuju ke-10 (sekitar April) upacara Bhūṭa Yadnya mesti digelar di pusat desa. Tingkatannya bisa dipilih mulai dari yang terkecil, yaitu caru panca sata, panca sanak, ataupun tawur pada tingkatan yang lebih besar. Di pekarangan rumah dipersembahkan sesajen berupa nasi sembilan tanding dengan ayam brumbun, serta tetabuhan tuak dan arak yang diletakkan di depan pintu rumah. Sesajen itu ditujukan kepada Sang Bhuta Raja dan Kala Raja. Tidak ketinggalan, para pasukan Bhuta Kala juga diberikan sesaji berupa nasi 108 tanding yang dilengkapi dengan jeroan mentah, serta satu segehan agung.

Setelah selesai melakukan upacara tawur, barulah Pangrupukan dilakukan. Tujuan Pangrupukan yang utama menurut pustaka Sundarigama adalah mengembalikan para Bhuta Kala ke tempat asalnya (umantukaken ikang sarwa bhuta kala kabeh) dan mengusir wabah, baik sasab maupun mrana (angunduraken sasab mrana) sehingga tidak mengganggu stabilitas desa. Sarana yang digunakan adalah obor-obor, kokorok, dan api yang dinyalakan dengan daun kelapa kering serta disembur dengan rempah masui. Pada saat Pangrupukan, para pendeta memanjatkan berbagai jenis mantra penolak dan pelindung agung. Usai menggelar ritual di perempatan desa, upacara selanjutnya dilakukan di dalam rumah. Baik laki-laki maupun perempuan diharapkan menyucikan diri dengan cara menatab sarana upacara yang maknanya sering tidak kita ketahui: yaitu sayut pamyakala [pengusir Kala], lara malaradan [peluruh lara], dan prayascita [penyuci pikiran].

Secara lebih khusus lagi, pustaka Siwa Tattwa Purana menjelaskan persembahan pada Tilem Kasanga yang berupa tawur ditujukan kepada Sang Hyang Kala Gumi (Tĕka wĕnang wong ing madhya ginawe tawur mwang Nyepi sadinten. Den hana pranging satha ya lalapĕn Sang Kala Bhumi). Sarana persembahannya adalah tetesan darah ayam sabungan yang dilaksanakan warga desa. Hal inilah yang menyebabkan banyak sabung ayam kecil yang kerap dilakukan sebelum pelaksanaan tawur. Meski sudah sangat berkurang karena ada aturan yang melarang judi sabung ayam, di beberapa desa tradisi ini masih hidup hingga saat ini.

Menyimak penjelasan pustaka di atas yang menggambarkan suasana heroik serupa pertempuran pada Aji Swamandala dan Sundarigama, kita menjadi tergoda untuk menafsirkan lebih jauh arti kata Pangrupukan. Apakah mungkin kata iniberasal dari paruput dalam bahasa Bali yang berarti ‘bertarung di dalam tempat terkurung’? Maksudnya, ketika hendak mengembalikan Bhuta Kala ke tempatnya, terjadi proses adu kekuatan sehingga mereka menjauh dari desa. Dugaan ini dapat diperkuat dengan istilah lain, yaitu Nogtog yang bermakna ‘mengetuk pintu dengan keras’ di tempat-tempat para Bhuta Kala potensial untuk tinggal. Demikian pula, satu istilah lagi yang sering digunakan untuk Pangrupukan, yaitu Ngrebeg yang berarti ‘menggrebek’ kawanan Bhuta Kala sehingga kembali ke tempat asalnya.

Ogoh-Ogoh

Berdasarkan tiga sumber sastra yang menjelaskan pelaksanaan Pangrupukan pada hari suci Tilem Kasanga di atas, keterangan yang secara langsung mewajibkan adanya ogoh-ogoh pada saat Pangrupukan atau Caru Sasepen tidak ditemukan. Dalam Aji Swamandala hanya disebutkan ketika caru digelar mesti diiringi gambelan, kentongan bulus, dan sorak-sorai yang ramai. Dalam konteks pangramya inilah ogoh-ogoh dihadirkan. Ogoh-ogoh yang dibuat dengan kreativitas tinggi dapat dipastikan akan menjadi magnitud bagi orang-orang untuk bersama-sama berkeliling desa.

Istilah ogoh-ogoh sendiri sesungguhnya relatif baru. Dalam bahasa Bali, kata yang dekat dengan istilah ogoh-ogoh adalah ogah yang bermakna goyang. Kata ogah-ogah berarti bergoyang-goyang. Untuk menunjukkan bahwa ada gerakan sosok bertubuh besar yang bergoyang-goyang, maka muncullah kata ogoh-ogoh. Bunyi o yang mendominasi kata tersebut memiliki konfigurasi makna sesuatu yang besar, sama seperti kata kecrot, kebrot, grobog, dan yang lainnya.

Lagu ogoh-ogoh di youtube | Foto: tangkap layar youtube

Kata ogoh-ogoh kemungkinan besar makin populer ketika Okid Kress dan Yan Bero menciptakan dan menyanyikan lagu yang berjudul Ogoh-Ogoh pada tahun 1990-an. Konteks pemakaian kata ogoh-ogoh dalam lagu ini sesungguhnya tepat. Sebab, Okid Kress dan Yan Bero menyebutkan ogah-ogah ogoh-ogoh Kala Kali lumampah yang bermakna ‘bergoyang-goyang terus, [ketika] Kala dan Kali berjalan’.

Melacak lebih jauh ke era kolonial, setidaknya dari karya Miguell Covarubias, pelaksanaan Pangrupukan di Bali tahun 1930-an belum memakai ogoh-ogoh. Covarubias dalam buku monumentalnya Island of Bali itu hanya menyatakan bahwa upacara tawur yang dilaksanakan di Denpasar sempat diramaikan dengan sabung ayam. Pemerintah Belanda saat itu memberikan izin kepada masyarakat untuk melakukan sabung ayam karena diyakini berhubungan erat dengan ritus tawur kasanga. Sesudah sabung ayam dan tawur kasanga, masyarakat meledakkan petasan di segala arah dan menyuarakan semua kentongan dengan riuh rendah. Para penduduk juga berlarian dalam kelompok-kelompok dengan wajah dan tubuh yang digambari, membawa obor, memukul gendang, gong, kaleng, atau apa pun yang dapat menghasilkan bunyi. Masyarakat kala itu meneriakkan kata magedi-magedi ‘pergi-pergi yang dilakukan hingga larut malam.

Ogoh-Ogoh Paksi Ireng, Karya Marmar Herayukti | Foto: Now Bali.co.id

Seluruh penjelasan etnografis Covarubias di atas sangat relevan dengan penjelasan Aji Swamandala, Sundarigama, dan Siwa Purana Tattwa. Dari penjelasan penting tersebut, kreativitas pembuatan ogoh-ogoh tampaknya belum terjadi pada zaman kolonial. Demikian pula pada masa sebelumnya ketika masyarakat Bali masih berada di zaman kerajaan. Meskipun tradisi serupa sudah ada, misalnya pembuatan kaki patuk dan nini patuk (dadong sempret) pada saat ritus upacara pangabenan. Banyak pihak yang menduga bahwa kreativitas kolektif untuk membuat ogoh-ogoh pada saat Pangrupukan terjadi sekitar tahun 1980-an dan berlanjut hingga sekarang. Bahkan, pembuatan ogoh-ogoh menjadi lebih bergairah, daripada pelaksanaan hari suci Nyepi yang dilakukan setelahnya.

Ramya, Somya, dan Śunya

Ogoh-ogoh memang sebentuk kreativitas budaya yang anyar. Apabila kita mengacu pada pustaka Aji Swamandala, ogoh-ogoh yang diarak keliling desa pada saat Pangrupukan merupakan bagian dari pangramya ‘peramai’ (surangkang ramya). Sama seperti gambelan dan kulkul bulus yang kini bertransformasi menjadi berbagai bentuk seni pertunjukan seperti balaganjur, masyarakat Bali juga menyisipkan satu seni rupa sebagai simbol Bhuta Kala pada saat tawur dilakukan, yaitu ogoh-ogoh.

Lantas, kenapa ogoh-ogoh identik dengan wujud yang menakutkan? Penjelasan ini bisa kita temukan dalam pustaka Adiparwa, khususnya dalam fragmen Jaratkaru. Sang Jaratkaru adalah pendeta yang memiliki wajah menakutkan karena bertugas untuk menghancurkan kekuatan jahat. Teks itu menyatakan sebagai berikut: tekaning katakutnyāśarira, yogya katakutana, apan makasbhāwa kṣaya. Dalam konteks yang lebih luas, para dewata dalam ajaran Hindu (Siwa) juga memiliki bentuk krura [menakutkan] ketika hendak menghancurkan kejahatan. Parwati, shakti Shiwa memiliki wujud Durga Mahesasura Mardini ketika mengalahkan raksasa bengis berkepala kerbau. Krisna sebagai perwujudan Wisnu pun memiliki wujud Krisna Murti ketika hendak menghukum Kurawa atas berbagai kejahatan yang dilakukannya dalam Mahabarata.

Sampai di sini, kiranya tentang wujud ogoh-ogoh yang menyeramkan ditopang oleh sumber sastra. Dengan itu, kehadiran ogoh-ogoh sesungguhnya menjadi bagian utuh dari Pangrupukan yaitu dalam proses mengembalikan [mengusir] para Bhuta Kala ke asalnya masing-masing pasca mendapatkan sesajen berupa tawur. Dalam bahasa yang lebih sederhana, usai mendapatkan sesajen di jantung desa, para Bhuta Kala yang berwatak destruktifdiharapkan bisa menjadi somya ‘damai’ serta tidak tinggal dan mengganggu stabilitas desa. Pada saat yang bersamaan, ogoh-ogoh juga diharapkan dapat menjadi sebentuk kekuatan yang lebih besar untuk mengusir wabah dan musibah berupa sasab dan mrana yang bisa saja menimpa desa dalam siklus waktu tahunan terutama sasih ka-6 (Desember) sampai ke-9 (Maret).

Proses transformasi dari ramya ‘ramai’ ke somya ‘damai’ pada saat Pangrupukan mesti bergerak selangkah lagi untuk sampai pada puncaknya yaitu mencapai sunya ‘keheningan tertinggi’ pada saat hari suci Nyepi dilakukan. Catur Brata Panyepian yang terdiri atas empat janji diri seperti tidak menyalakan api (mati geni), tidak memenuhi objek indrawi (mati lelanguan), tidak bepergian (mati lelungan), dan menghentikan aktivitas (mati karya) itulah yang dijadikan sarana untuk mencapai keheningan secara penuh. Dengan melakukan berbagai jenis brata, kita diharapkan dapat suntuk dalam samadhi sebagai bagian dari ajaran yoga. Tujuan akhir dari yoga adalah bersatu dengan beliau yang bertubuh Kesunyian Tertinggi, yaitu Parama Shiwa.

Sampai saat ini, di balik euforia ogoh-ogoh yang ramya ‘ramai’ kita sering melupakan dimensi somya ‘damai’ dan shunya ‘sunyi’ sebagai capaian dari pendakian rohani yang lebih tinggi ketika hari suci Nyepi. Ternyata, budaya kita yang terlalu kolektif menyebabkan Nyepi menjadi tidak mudah. Untuk memasuki ruang diri pada saat Nyepi, orang Bali perlu bantuan Pacalang untuk lalu lalang. Meski di dalam rumah mungkin tak ada satupun brata yang dijalankan.

Tak hanya pada saat Nyepi, bagian yang penting untuk kita jadikan bahan renungan adalah pelaksanaan Pangrupukan. Kalau dari informasi Miguell Covarubias kita tahu bahwa sejak era tahun 1930-an Pangrupukan dapat diiringi dengan gambelan sederhana berupa kulkul bulus dan alat lain untuk menghasilkan bunyi, anggota sekaa truna kini tak perlu khawatir apabila tidak memiliki gambelan balaganjur. Tak ada gambelan, kulkul masih bisa digunakan. Tak ada kulkul, kata “magedi-magedi” masih bisa dihasilkan sendiri. Suara-suara itu melengkapi mantra pangraksa yang diucapkan oleh para pendeta.

Anak-Anak Menggambar dan Mewarnai Diri dengan Wajah Menakutkan, dalam Ritus Ngrebeg di Tegalalang | Foto: Kompas.com

Di samping itu, jika dari penjelasan Covarubias kita menyadari bahwa pembuatan ogoh-ogoh sesungguhnya bagian dari alih kreativitas orang-orang yang semula memoles dan menggambar wajah sendiri [serupa dengan ritus Ngrebeg di Desa Tegalalang] lalu berkembang menjadi pembuatan kreativitas seni berupa ogoh-ogoh, anggota sekaa truna tidak perlu memaksakan diri untuk menghabiskan dana yang besar agar bisa bersaing dengan banjar lain yang memang memiliki sumber dana yang tinggi. Salah satu kriteria penting dari maraknya lomba ogoh-ogoh yang perlu dipertimbangkan adalah persoalan dana yang dihabiskan. Seharusnya, semakin sedikit uang yang dikeluarkan, pada saat yang bersamaan ada kreativitas yang dimekarkan. Bukankah penekun kawisesan di Bali sudah lama menyadari, bahwa bukan sarana ‘bahan’ yang penting, tapi jnyana ‘kualitas pemikiran’ original dari penciptanya?

Terakhir, jika kita sadar bahwa ogoh-ogoh dan pacaruan secara esensi adalah bagian dari persembahan kepada beliau yang memiliki ‘kekuatan destruktif semesta’ bergelar Sang Kala Gumi, seharusnya tak ada lagi bahan ogoh-ogoh yang dapat menyebabkan kerusakan bumi seperti sampah plastik, botol bekas minuman, bahan sterofom, dan lainnya. Demikian pula pada saat mengaraknya keliling desa. Melalui Pangrupukan dan Nyepi mari kita jeda sebentar, agar bumi yang terus kita eksploitasi berkesempatan mendetoksifikasi ‘memulihkan’ diri. [T]

Paris, 5 Maret 2025

Penulis: Putu Eka Guna Yasa
Editor: Adnyana Ole

  • BACA artikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA
YONINÉ GENTOSIN: Mengubah Kualitas Kelahiran Perspektif Ida Padanda Made Sidemen
TRI KARANA SWARŪPA : Temuan Ida Wayan Oka Granoka untuk Menjawab Tantangan Zaman
“Warabhoga”: Refleksi Makanan Bergizi untuk Pelajar-Pertapa dalam Sastra Kawi
Tags: baliHari Raya NyepihinduHindu Baliogoh-ogohtradisi nyepi
Previous Post

Kawalu, Bulan Puasanya Suku Baduy

Next Post

Masa Depan Pendidikan di Era AI: ChatGPT dan Perplexity, Alat Bantu atau Tantangan Baru?

Putu Eka Guna Yasa

Putu Eka Guna Yasa

Pembaca lontar, dosen FIB Unud, aktivitis BASAbali Wiki

Next Post
Masa Depan Pendidikan di Era AI: ChatGPT dan Perplexity, Alat Bantu atau Tantangan Baru?

Masa Depan Pendidikan di Era AI: ChatGPT dan Perplexity, Alat Bantu atau Tantangan Baru?

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

LELUHUR JAGUNG

by Sugi Lanus
June 13, 2025
0
PANTANGAN MENGKONSUMSI ALKOHOL DALAM HINDU

—Catatan Harian Sugi Lanus, 13 Juni 2025 *** Ini adalah sebuah jejak “peradaban jagung”. Tampak seorang ibu berasal dari pulau...

Read more

Apa yang Sedang Disulam Gus Ade? — Sebuah Refleksi Liar Atas Karya Gusti Kade

by Vincent Chandra
June 12, 2025
0
Apa yang Sedang Disulam Gus Ade? — Sebuah Refleksi Liar Atas Karya Gusti Kade

Artikel ini adalah bagian dari tulisan pengantar pameran tunggal perupa Gusti Kade di Dinatah Art House, Singapadu, opening pada tanggal...

Read more

Tanah HGB, Kerjasama dan Jaminan Kredit

by I Made Pria Dharsana
June 10, 2025
0
Perjanjian Pengalihan dan Komersialisasi Paten dalam Teori dan Praktek

Tanah HGB, Kerjasama dan Jaminan Kredit : Pasca Putusan MK Nomot 67/PUU-XI/2013 Penulis: Dr. I Made Pria Dharsana, SH., MHumIndrasari...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Rizki Pratama dan “Perubahan Diri” pada Acara “Suar Suara: Road Tour AKALPATI” di Singaraja
Panggung

Rizki Pratama dan “Perubahan Diri” pada Acara “Suar Suara: Road Tour AKALPATI” di Singaraja

DI acara “Suar Suara: Road Tour AKALPATI” itu, Rizki Pratama tampaknya energik ketika tampil sebagai opening di Café Halaman Belakang...

by Sonhaji Abdullah
June 10, 2025
New Balance Sneakers Store di Indonesia Terpercaya
Gaya

New Balance Sneakers Store di Indonesia Terpercaya

SAAT ini sneakers bukan lagi sekadar kebutuhan untuk melindungi kaki saja melainkan telah berkembang jadi bagian penting dari gaya hidup....

by tatkala
June 9, 2025
I Wayan Suardika dan Sastra: Rumah yang Menghidupi, Bukan Sekadar Puisi
Persona

I Wayan Suardika dan Sastra: Rumah yang Menghidupi, Bukan Sekadar Puisi

ISU apakah sastrawan di Indonesia bisa hidup dari sastra belakangan ini hangat diperbincangkan. Bermula dari laporan sebuah media besar yang...

by Angga Wijaya
June 8, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [19]: Mandi Kembang Malam Selasa Kliwon

June 12, 2025
Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

June 7, 2025
Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

June 7, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co