SESAAT setelah menerima undangan pernikahan dari pacarnya, ia langsung teringat Dumbo Octopus. Lalu ia tertawa terbahak-bahak.
“Apa yang lucu?” tanya Rani, pacarnya.
Ia tak lekas menjawab. Diangkatnya espreso di hadapannya dan disesapnya perlahan. Itu adalah usahanya untuk menghentikan tawa di waktu yang tidak tepat. Meskipun ia tahu, itu adalah tawa getir, bukan tawa yang muncul dari sesuatu yang sungguh-sungguh lucu.
Dengan kedua tangan ia membuka undangan itu. Bentuknya sederhana saja, terbuat dari kertas ivory dan berwarna krem. Di dalamnya nama lengkap Rani terukir dengan huruf-huruf cantik yang menyerupai pohon oak sebagai mempelai perempuan. Namun, nama yang terukir sebagai mempelai laki-laki bukanlah namanya.
Oh… tidak. Ia tidak akan terjebak oleh rasa sentimentil berlebih sebagaimana dalam kisah roman picisan. Ia sudah sangat memperhitungkan dan mengira-ngira kalau saat seperti ini pasti akan tiba. Ia adalah kreator hidupnya sendiri. Nasib yang menimpanya adalah buah dari tindakan dan pilihan-pilihan yang ia ambil secara sadar. Kalaupun harus bersedih, itu adalah kesedihan yang masih dalam taraf wajar dan manusiawi.
“Kamu masih ingat apa yang paling sering kamu katakan setiap kali lelah sama hubungan kita?” Tiba-tiba ia balik bertanya.
Rani menggeleng sembari menyesap latte yang masih hangat.
“Kamu selalu mengatakan kalau isi kepalaku gelap karena tak pernah bisa kamu pahami,” ujarnya lagi.
“Oh, iya, isi kepalamu memang gelap, bahkan lebih gelap dari Palung Mariana.”
Itu bukanlah kali pertama ia mendengar Rani berkata seperti itu. Dalam setiap kerenggangan hubungan dan pertengkaran mereka, perempuan itu memang selalu membawa-bawa perihal isi kepala.
“Bagaimana hubungan kita bisa berhasil kalau kamu tak pernah jujur, tak pernah terbuka,” keluh Rani suatu ketika.
Namun, ia terus berkelit. Yang keluar dari mulutnya hanya retorika-retorika kosong nirmakna; atau kedustaan-kedustaan yang tak perlu, tapi tetap ia katakan demi menutupi kebenaran yang tersimpan rapi di benaknya. Rani, dengan ketajaman instingnya, tahu belaka kalau kekasihnya senantiasa menutupi sesuatu, tapi ia tetap tak bisa menembus kegelapan isi kepalanya. Sepintar dan secerdik apa pun dirinya, sedikit pun tak ada cahaya yang dapat menguak kejujuran dan keaslian pikiran.
Ketika suatu waktu Rani mengatakan kalau isi kepalanya lebih gelap dari Palung Mariana, ia langsung berselancar di internet. Tempat paling dalam di bumi itu memang selalu dingin dan gelap karena cahaya matahari tak dapat menembusnya sedikit pun. Dan karena saking gelapnya, pengetahuan manusia tentang tempat itu pun masih terbatas, terutama terkait makhluk-makhluk yang ada di situ. Namun, berdasarkan satu artikel yang ditemukannya, ada satu spesies gurita yang menarik perhatiannya, yang konon merupakan penghuni palung terdalam itu. Para ilmuwan menyebutnya Dumbo Octopus. Dinamakan demikian karena gurita itu mirip Dumbo, karakter fiksi berbentuk gajah terbang ciptaan Walt Disney.
Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia membenarkan perkataan pacarnya. Ia memang terbiasa membangun tembok tebal untuk menutupi sisi rentannya, agar ia selalu terlihat kuat. Hidup mengajarkannya untuk tak boleh lemah. Hari demi hari dihabiskannya untuk mengumpulkan rupiah, dan merencanakan hidup untuk masa-masa yang akan datang—termasuk rencana menikahi Rani, kekasihnya. Namun, rencana tidak pernah berjalan mulus. Ia boleh berencana, tapi dunia ini tidak digerakkan berdasarkan rencananya. Ia hanyalah satu dari sekian banyak rakyat blangsak di negeri ini yang harus berdarah-darah demi hidup yang lebih baik; ia tak punya kuasa atas dunia di sekitarnya. Maka, ketika gempuran cobaan terhadap rencananya itu datang dan ia masih menolak kalah, hubungan bersama pacarnya itu terasa begitu membebaninya.
Kemudian ia teringat hari-hari ketika Faisal, sahabat lamanya, menaruh beban itu pertama kali di pundaknya.
***
Waktu itu usianya dua puluh empat tahun. Ia sudah dua tahun lulus kuliah dan bekerja sebagai penulis lepas. Faisal mengenalkannya pada Rani di acara pernikahannya. Dengan sedikit menggodanya, sahabatnya itu memintanya agar menemani Rani mengobrol, karena perempuan itu datang sendirian. Ia menurut saja, demi menghormati mempelai yang sedang berbahagia.
Faisal baginya bukan cuma sahabat, tetapi malaikat penyelamatnya semasa kuliah. Faisal-lah yang siap sedia membantunya di kala kantongnya kembang kempis di akhir bulan; juga yang menyelamatkannya dari rasa lapar tatkala ia hanya bisa mendekam pasrah di kamar kos sendirian.
Persahabatan itu adalah sesuatu yang ia syukuri. Namun, ia tetap tahu diri, karena bagaimana pun ia dan Faisal tidaklah setara jika dilihat pakai tolok ukur kebanyakan orang. Dan karena itulah ia tidak pernah punya pacar semasa kuliah, meskipun itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepercayaan dirinya sebagai laki-laki. Ia hanya merasa belum saatnya untuk menjalin hubungan serius dengan perempuan. Alhasil, ia pun hanya menjadi saksi hubungan romansa sahabatnya. Faisal memacari Sofia—teman sekelas mereka—di semester enam, hingga akhirnya hubungan keduanya berakhir di pelaminan.
Setelah acara pernikahan itu, Faisal berulang kali mendorongnya agar terus mendekati Rani.
“Dilihat dari segi apa pun, kau itu cocok dengan Rani, Han,” katanya.
Rani sendiri sebenarnya adalah adik tingkat mereka. Namun, selama kuliah perempuan itu luput dari perhatiannya. Sementara itu, Faisal mengenal Rani karena ia adalah juniornya di salah satu ormek yang mereka ikuti.
Ia memutuskan untuk mengikuti Rani di media sosial, tanpa berharap terlalu banyak. Namun, ajaibnya, itu adalah langkah kecil yang menggiringnya pada hal besar di kemudian hari, pada hubungan dua insan yang tak pernah ia bayangkan. Rani balik mengikutinya, dan obrolan keduanya berlanjut. Mereka bertukar nomor telepon, dan percakapan menjadi lebih hangat. Mereka bertemu di kala senggang, hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan serius.
Dua tahun berhubungan, segalanya terasa begitu indah baginya. Hidupnya terasa lebih bermakna; ia merasa tumbuh sebagai laki-laki yang dapat diandalkan, memberi arti pada sosok yang ia sayangi. Namun, hal sebaliknya justru terjadi pada hubungan Faisal dan istrinya. Rumah tangga sahabatnya itu bak kapal karam yang hanya bisa pasrah diterjang gelombang raksasa.
Suatu malam, Faisal menghubunginya dan mengajak bertemu. Mereka bertemu di angkringan jogja yang tak jauh dari indekosnya. Tak ada tanda-tanda kesedihan di wajah sahabatnya. Sebaliknya, laki-laki itu justru tampak bersemangat. Dengan menggebu-gebu ia bercerita tentang kelakuan istrinya di rumah, sembari mengisap rokok elektrik tiada henti.
“Coba dengar ini, Han,” kata Faisal, sembari menyodorkan ponsel ke arahnya.
Dari ponsel itu terdengar suara Sofia yang sedang berteriak dan memaki-maki. Jika tidak salah hitung, ada empat atau lima nama binatang yang digunakan sebagai umpatan. Faisal rupanya baru saja merekam istrinya yang sedang marah besar. Dan sahabatnya itu mengatakan kalau ia baru saja diusir dari rumah. Tak banyak yang bisa dikatakannya, karena ia sendiri belum punya pengalaman berumah tangga. Ia hanya memintanya bersabar, dan meyakinkannya kalau ia pasti bisa menyelesaikan masalahnya itu; sebuah retorika kosong yang ia lontarkan hanya untuk membesarkan hati sahabatnya.
Namun, satu minggu kemudian, ia dikagetkan oleh postingan video dari akun media sosial Sofia. Video itu cukup viral dan mengundang ribuan komentar. Tampak Sofia yang sedang menangis tersedu-sedu di video itu. Namun, yang paling mengagetkannya adalah luka lebam di sekitar wajahnya. Perempuan itu juga menunjukkan lebam yang ada di lengan, paha, dan sekitar tulang selangka. Dengan tersengal-sengal, Sofia mengatakan kalau Faisal sering memukul, menendang, menjambak rambut, dan membenturkan kepalanya ke tembok. Tak begitu jelas sebab musabab dari kekerasan itu, karena selanjutnya perempuan itu hanya mengatakan kalau ia sudah tidak tahan dan ingin pergi dari rumah.
Ia mencoba menghubungi Faisal, tapi tak ada jawaban. Namun, tiga bulan setelahnya, ia mendengar kabar kalau Faisal dan Sofia sudah resmi bercerai. Ia mencoba kembali menghubungi sahabatnya, yang kali ini mengangkat teleponnya.
“Tak usah ikut campur, Han! Urus urusanmu sendiri!” jawab Faisal ketika ia menanyakan perihal perceraiannya. Tak seperti biasa, jawaban laki-laki itu begitu sengak, ia seperti tidak mengenalinya lagi. Dan setelah itu, keduanya nyaris tak pernah bertemu.
Di sisi lain, ia sendiri merasa hubungannya dengan Rani mulai ada gejolak. Rani mulai menyindir-nyindir perihal kapan ia akan melamar dirinya. Ketika ia berkelit atau tidak memberi jawaban pasti, maka kekasihnya itu akan uring-uringan berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Dari sini, pertengkaran mulai sering terjadi. Tapi, ia bukannya tak ingin memberi jawaban pasti. Ia sedang menghitung kapan waktu yang tepat untuk melamar atau melangsungkan pernikahan. Ia memang sedang memikirkan dan mempersiapkan segalanya: biaya resepsi, tempat tinggal, tabungan setelah menikah, dan segala tetek bengek yang ada di kepalanya.
“Tunggu setidaknya dua tahun lagi,” jawabnya ketika sudah terdesak.
Dalam dua tahun itu pun waktunya banyak habis untuk mengais rupiah. Ada sedikit keberuntungan yang didapatnya karena sebelum itu ia diterima sebagai guru di salah satu SMA swasta yang cukup bonafide. Penghasilan dari pekerjaan itu setidaknya dapat menambah jumlah nominal di rekeningnya selain dari penghasilan sebagai penulis lepas.
Sedikit demi sedikit uang tabungannya bertambah. Semoga nanti cukup untuk modal menikah rakyat blangsak seperti dirinya, begitu harapnya.
Namun, ibarat maut yang tak tahu kapan datangnya, kesialan pun demikian. Di tengah malam buta tiba-tiba ibunya menelepon sembari terisak. Sebuah kabar buruk langsung membuat kakinya lemas. Ayahnya yang bekerja sebagai buruh tani kopi di Lampung Barat baru saja diterkam harimau sumatra. Tak jelas benar cerita ibunya, ia hanya menangkap kalau ayahnya diserang harimau yang tiba-tiba merangsek ke perkebunan ketika hendak pulang. Beruntung ayahnya masih bisa diselamatkan warga, tapi ia harus kehilangan kaki sebelah kanannya.
Peristiwa itu sangat memukulnya. Kini ayahnya tak lagi bisa bekerja. Orang tuanya tak lagi punya penghasilan, karena kondisi fisik ibunya sendiri sudah sangat lemah lantaran mengidap penyakit jantung koroner. Padahal, ia masih punya seorang adik yang sedang kuliah di Bandung, yang tentu perlu biaya setiap bulannya. Mau tidak mau ia harus menanggung beban ekonomi keluarganya.
Seolah belum cukup, dua bulan kemudian ia mendapat kabar kalau ia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai guru. Yayasan yang menaungi SMA tempatnya mengajar ternyata sedang mengalami kesulitan keuangan dan nyaris dinyatakan pailit.
Kini pukulan itu terasa bertubi-tubi. Waktu terus berjalan, tapi tabungannya terus terkikis alih-alih bertambah. Uang yang ia kumpulkan dengan susah payah, lesap begitu saja tanpa aba-aba. Ia boleh berencana, tetapi dunia ini tidak digerakkan berdasarkan rencananya. Rencana menikahi Rani? Terasa semakin jauh dari jangkauannya.
“Aku tidak bisa terus-terusan menunggu,” jawab Rani ketika ia mengatakan kalau butuh waktu lagi untuk melamarnya. “Abah sudah sering tanya, kapan kamu datang ke rumah untuk melamar,” tandasnya lagi.
Ia pun semakin terdesak. Puncaknya adalah ketika Rani memintanya datang ke rumah karena abahnya ingin bertemu. Kala itu ia datang menjelang magrib, dan abahnya Rani sudah menunggu di ruang tamu. Ia mencoba bersikap sewajarnya karena ini bukan kali pertama ia datang bertamu. Setelah mengobrol sekitar 15 menit, mereka pun menuju masjid. Ayah kekasihnya itu menjadi imam di masjid tak jauh dari rumah. Selesai salat, ketika keduanya sedang berjalan kaki kembali ke rumah, lelaki tua yang menurut taksirannya sudah menginjak usia 60 tahun itu tiba-tiba berhenti dan menatapnya serius.
“Mas, tolong segera nikahi Rani, kasihan dia,” katanya. Ia merasa tenggorokannya tercekat. Dadanya bergemuruh dan ia hanya membisu. Laki-laki tua itu masih menatap, mengiba kepadanya. “Dan tak baik kalau kalian terlalu lama pacaran,” pungkasnya.
Ia pun mengamini apa yang dikatakan ayah kekasihnya. Sebagai laki-laki terhormat, ia tidak bisa terus memberi janji yang tak pasti. Di kepalanya, kini ia hanya punya dua pilihan: mengakhiri hubungannya dengan Rani atau melucuti egonya—membuka rahasianya, kelemahannya, kerentanannya, dan mengharap iba demi mempertahankan hubungan. Dan ia lebih memilih yang pertama.
Meskipun ia sudah menata kata-katanya sebaik mungkin, tangis Rani tetap pecah malam itu. Tak ada yang bisa menangkal rasa pilu dari kata putus. Hatinya perih, tapi tak ada yang bisa dilakukannya. Kelak, ia kerap bertanya-tanya, andai ia mau jujur dan terbuka, apakah kesempatan hidup bersama Rani itu masih ada? Apakah mereka bisa berkompromi lalu mencari jalan keluar sehingga hubungan mereka bisa bertahan? Sayangnya, berandai-andai seperti itu percuma belaka karena tak akan mengubah realita,
Bertahun-tahun ia berusaha berdamai dengan rasa sesal. Dan ia pikir ia mampu. Yang ia tidak mampu adalah menggusah rasa sayangnya terhadap Rani. Baginya, perempuan itu tetaplah kekasihnya, meski itu hanya ada di hati dan pikirannya sendiri.
***
Sudah delapan bulan ia bekerja di kafe kecil ini, dan kini mereka kembali duduk berhadap-hadapan. Awalnya Rani sekadar mampir, tapi secangkir latte yang ia sodorkan memaksanya berlama-lama. Setelah latte itu tandas, perempuan itu pun mulai menunjukkan gelagat hendak pergi.
Ia mengiringi Rani berjalan menuju tempat parkir, seraya kembali mengamat-amati undangan pernikahan di tangannya. Sesekali diliriknya perempuan di sebelahnya itu, yang kerudungnya berkibar-kibar terkena angin malam.
“Sampaikan salamku untuk Faisal,” katanya, “Semoga kalian berdua berbahagia.”
“Kenapa tidak kamu sampaikan sendiri?”
“Dia tidak pernah membalas pesanku.”
“Oh..”
Rani pun berlalu. Ia masih tidak dapat melepaskan pandangannya dari perempuan itu. Lalu ia membayangkan, seperti apa kehidupannya kelak bersama suaminya. Sayangnya, dalam bayangannya hanya ada gelap, bahkan lebih gelap dari Palung Mariana. [T]
Penulis: Anggit Rizkianto
Editor: Adnyana Ole