SEBAGAI penabuh kendang, Gede Utama, memberikan satu kepercayaan kuat terhadap proses belajar. Ia begitu hirau, dan sangat yakin—bahwa ilmu pengetahuan tak hanya bisa diakses melalui kelas belajar di sekolah formal. Tetapi juga dari orang-orang yang ditemui, soal musik, tentu di desa.
Gede Utama lahir di Desa Sari Mekar, Kecamatan Buleleng, Bali, pada 12 Desember 1958. Lelaki itu sempat menamatkan sekolah menengahnya di SMPN 1 Singaraja. Dan kecintaannya pada seni tabuh itu tumbuh sejak ia kecil. Setelah lulus SMP, ia berharap akan melanjutkan belajar seni tabuh secara formal.
Tapi sayang keinginannya tak terkabul. Sebab sakit, katanya, ia tidak dapat melanjutkan ke jenjang SMA, yang mungkin saja bisa waktu itu, membawanya ke KOKAR (Konservatori Karawitan) – atau yang kini bernama SMKN 5 Denpasar, Bali.
Walaupun jalan hidup tidak semulus lelaki itu bayangkan, keterbatasan ia dobrak. Lelaki itu mempelajari seni tabuh sendiri secara otodidak. Tidak masalah. Cintalah sesekali membuat orang bertahan, demikian kata Umbu Landu Paranggi dalam puisi Melodia.
“Kalau nabuh posisi saya memang di kendang (gupek). Kuatnya di sini,” kata Gede Utama saat ditemui sembari bermain di acara Pidato Bupati Buleleng Terpilih di Gedung DPRD pada Rabu, 5 Maret 2025. Di Gedung DPRD itu, Gede Utama tampil bersama Komunitas Karya Remaja dari desa Sari Mekar, Buleleng.
Bukan main masa mudanya Gede Utama. Lelaki itu sudah aktif dalam menciptakan berbagai tabuh kreasi di desanya. Kreativitasnya yang tinggi dan pemahamannya yang mendalam tentang kendang membuatnya menjadi sosok yang dihormati di komunitas seni di Singaraja sekarang.
Katanya, sekitar tahun 2003 menjadi titik manis baginya. Ia mulai mengajar seni tabuh secara lebih luas lagi tak hanya soal menabuh kendang. Ia mengajar berbagai instrumen gamelan seperti angklung, gender, dan geguntangan. Tapi kalau secara fokus, Gede Utama tetap mempertahankan dirinya sebagai spesialis kendang.

Komunitas Karya Remaja dari Desa Sari Mekar, Buleleng, saat tampil di DPRD Buleleng | Foto: tatkala.co/Son
Ya, lelaki itu ingin dikenal sebagai penabuh kendang yang sejati, tetapi bisa memainkan alat musik apa saja. Mantap.
Bukan hanya keterampilannya Gede Utama dikenal, disukai, dan dihormati jasanya di bidang perkendangan. Tapi sewaktu mengajar, Gede Utama pula dikenal sebagai sosoknya yang sabar dan liat soal dedikasi. Tak mesti diragukan.
Ia tidak hanya mengajarkan teknik, tetapi juga menanamkan prinsip bahwa budaya lokal itu penting dilestarikan, bagaimanapun caranya dan di manapun itu tempatnya. “Tidak boleh hilang,” kata lelaki itu. “Walaupun dengan segala macam keterbatasan,” tambahnya.
Kemudian berkat dedikasinya itu dari usia muda hingga senja—sekarang, ia dianugerahi piagam Dharma Kusuma oleh Pemerintah Provinsi Bali pada tahun 2018. Terutama sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya dalam menciptakan tabuh kreasi.
Meskipun telah menciptakan banyak tabuh kreasi yang tak terhitung jumlahnya, Gede Utama tetap rendah hati. “Saya lupa apa saja,” katanya lagi.
Bagi lelaki itu, bermain kendang bukan sekadar keterampilan menepuk-nepuk, tetapi juga panggilan jiwa—atawa hati nurani yang suci. Tapi sayang, beberapa kendang di rumahnya justru telah rusak, dan ia tidak lagi memiliki kendang lagi di rumah.
Tapi karena ia sudah ahli, sudah sering main kendang, dan karena seni tabuh sudah menjadi bagian dari dirinya yang melekat dan mengalir di urat nadi tangannya. Bahkan tanpa kendang, katanya, ia menagku tetap bisa menyalurkan kecintaannya itu.
“Sekarang tidak punya. Tidak apa-apa, kan sudah bisa, karena sering bermain juga. Kalau dulu kan masih belum bisa, jadi harus berlatih di rumah.” kata Gede Utama, tersenyum.
Dari cerita dan kesederhanaan yang terpupuk di pundaknya; mengajar ikhlas siapa saja, mencintai seni. Dan belajar keras waktu muda, memberi spirit bagi anak muda zaman sekarang—bahwa kemungkinan besar manusia untuk tumbuh akan selalu pasti—tapi hanya bagi mereka yang tak pernah surut belajar.
Wah, hormat Pak. Panjang umur dan teruslah menabuh…. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole