RABU, 26 Februari 2025 adalah hari terakhir kunjungan Sekber SPAB Provinsi Bali di DIY. Karena tidak ada agenda kunjungan ke sekolah lagi, saya mewakili MKKS SMA bersama MKKS SMK dan MKKS SLB Provinsi Bali memanfaatkan waktu dengan baik bertemu Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Prof. Muhammad Nur Rizal. Pertemuan kami berlangsung di Cronica Creative Workspace Kota Yogyakarta tidak jauh dari Hotel 1O1 Style tempat rombongan Bali menginap.
Pertemuan kami berlangsung sekitar pukul 09.00 WIB secara santai difasilitasi oleh Mbak Viska Erma Mustika, dosen Psikologi UGM dan Mbak Lily seorang pendeta yang mengelola Sekolah Dasar. Obrolan mengalir secara alami tentang perubahan dunia Pendidikan yang bergerak cepat dengan aneka persoalan yang menguntitnya. Diawali dengan pemesanan kopi dengan kudapan pelengkap oleh Mbak Viska membuat obrolan makin hangat dalam suasana kafe yang beranjak ramai makin siang. Sejumlah mahasiswa tampaknya memanfaatkan wifi di kafe untuk mengerjakan tugas kuliah sambil menyeruput kopi.
Ketua GSM Bali, Made Rasta yang mewakili MKKS SMK Provinsi Bali membuka obrolan dengan statemen pemantik. “Pendidikan adalah latihan penyadaran diri. Oleh karena itu, motivasi intrinsik harus dibangkitkan. Dalam konteks Bali, misalnya selalu diawali dengan ritual penyadaran, yang disebut banten. Banten dapat ditelisik dari baan enten dengan makna sadar, terjaga, atau jagra“ kata Made Rasta Kepala SMKN 1 Sawan yang berlatar belakang Pendidikan Kimia dengan S-2 Pendidikan Agama Hindu dan sedang berkuliah S-3 Pendidikan Agaa Hindu di UNHI Denpasar.
Mbak Viska sebagai seorang Psikolog menangkap pancingan Made Rasta dengan cerdas bijaksana. “Pendidikan yang berkesadaran (mindfull) mensyaratkan adanya kesenangan (joyfull) dan kebermaknaan (meaningfull) bagi peserta didik. Maka pembelajaran di sekolah, pada mulanya untuk membangun pondasi kesenangan dengan aneka metode dan pendekatan”, kata Mbak Viska, dosen psikologi UGM.
Pernyataan Mbak Viska sejalan dengan pandangan Pranoto guru besar ITB, yang mengajak siswa/mahasiswa menjadi kasmaran belajar. Kasmaran belajar ibarat pertemuan dalam berpacaran. Selalu dinanti dan diburu walaupun tantangan yang sulit bahkan tempat kramat sekali pun tengah malam, masih menggebu-gebu ingin bertemu. Itu tidak lain karena Dewa Asmara telah menuntun. Pun demikian bagi siswa Bali yang sudah mendapat anugerah Dewi Saraswati, ia belajar sampai lango. Madasar tresna asih. Berdasarkan kasih sayang. Belajar dengan kesadaran berpendekatan kasih sayang.
Sambil menyeruput kopi, sekitar pukul 11.00 WIB tiba-tiba Prof. Muhammad Nur Rizal founder GSM datang bergabung setelah mendampingi putrinya wisuda di UGM. Obrolan seputar pendidikan pun berkembang secara komparatif antara Yogyakarta dan Bali. Ia langsung nyeroscos dengan interogasi: “Mengapa pendidikan di Bali secara akademik di bawah Yogyakarta padahal secara kultural Bali adalah jagonya?”
Tiba-tiba saja saya teringat Howard Gardner tentang teori kecerdasan majemuk. Katanya, setiap manusia adalah makhluk yang hebat dan unik. Demikian pula manusia dan anak-anak Bali yang hidup dalam lingkungan adat dan budaya agama yang kental. Ke arah itu pula tampaknya, kecerdasan mereka tersalurkan. Bali secara nasional dan global memang unggul secara kultural. Kedatangan bule ke Bali berkat budayanya. Namun secara historis, Bali makin dikenal dunia berkat orang-orang hebat dari berbagai belahan dunia yang melakukan riset bidang antropologi dan kebudayaan. Itulah cikal bakal perkenalan pariwisata Bali di dunia Internasional.
Keunggulan di bidang kebudayaan menjadi landasan pembangunan Bali secara berkelanjutan. Hal itu dilembagakan melalui Satuan Pendidikan dari jenjang Pendidikan dasar menengah dan tinggi. Bahkan Universitas Udayana sebagai kampus negeri tertua di Bali bervisi : Unggul, Mandiri, dan Berbudaya.
Jawaban kami bertiga tampaknya masih membuat Prof. Muhammad Nur Rizal ragu. Menurutnya, secara kultur Bali menang tetapi secara akademik masih kalah dengan Yogyakarta. Keraguan Rizal dapat dimaklumi bila mengacu pada GSM yang didirikan dengan iklim belajar yang menyenangkan dan budaya yang mendukung iklim akademik seyogyanya prestasi akademik Bali lebih bersinar.
Keraguan Rizal tidak membuat kami mengurungkan menyeruput kopi dengan kripik sate ayam yang renyah. Tampaknya ia sedang memikirkan jangan-jangan kebijakan Pendidikan secara makro selama ini belum berpihak maksimal mengangkat dan mengembangkan potensi anak sesuai dengan desa (tempat), kala (waktu), patra (cara) mengedepankan kearifan lokal. Sebab, bila mengacu pada teori decentering dalam sastra, keunggulan itu sekarang belum tentu ada di pusat, tetapi bisa jadi tersebar di pinggiran termasuk di daerah. Semua yang dipinggiran berpeluang menjadi pusat keunggulan. Pusat keunggulan tidak bersifat sentral lagi sejalan dengan paradigma otonomi daerah. Oleh karena itu, Kurikulum berkearifan lokal perlu digarap sungguh-sungguh tanpa mengabaikan semangat nasionalisme dan selalu lentur dan selektif menerima pengaruh global.

Founder GSM Prof. Muhammad Nur Rizal dari UGM (baju kotak-kotak) | Foto: Dok. Nyoman T
Setelah membaca buku “Di Balik Lahirnya Gerakan Sekolah Menyenangkan” karya pasangan Rizal – Novi, saya menjadi makin yakin bahwa Rizal sedang gelisah menyaksikan Pendidikan Indonesia kini, termasuk Bali yang secara ekosistem mengagumkan tetapi belum maksimal berkembang. Dari buku itu, jawaban atas keraguan itu saya temukan. “GSM bertujuan membentuk iklim sekolah yang menyenangkan agar siswa bisa belajar dengan antusias, mandiri, imajinatif, dan terus-menerus bergairah untuk menemukan versi terbaik diri mereka”.
Atas dasar ketimpangan kualitas itulah, GSM yang berdiri sejak 2016 berusaha menggandeng sekolah pinggiran agar kualitasnya setara dengan sekolah yang diidealkan. Jika itu bisa diwujudkan, pembangunan SDM melalui Pendidikan akan membingkai dan memberikan pigura yang indah bagi masa depan anak Indonesia mewujudkan Indonesia Emas 2045. GSM diniatkan untuk menghapus kesenjangan sejalan dengan konsep Pendidikan bermutu untuk semua yang dikampanyekan Mendikdasmen, Abdul Mu’ti.
Jika mencermati suasana kebatinan di balik lahirnya GSM yang digagas pasangan Rizal-Novi, jelaslah bahwa kepedulian pada Pendidikan adalah perjalanan spiritual yang didedikasikan untuk mengajarkan kebijaksanaan, penalaran, dan menuntun kodrat alam manusia yang terispirasi dari pengalaman mendidik dan menyekolahkan anak di Australia. Sebagai perjalanan spiritual, kedua pasangan ini menemukan kembali ajaran Ki Hadjar Dewantara di Negeri Kangguru.
Dalam konteks beragama Hindu, GSM yang didirikan pasangan Rizal-Novi adalah bagian dari jnana yadnya yang berfokus pada pengembangan sumber daya manusia, yang disebut manusa yadnya. Di dalam Bagawad Gita IV Sloka 33 disebutkan, “Persembahan korban berupa ilmu pengetahuan adalah lebih agung sifatnya daripada korban benda yang berupa apa pun jua, sebab segala pekerjaan dengan tiada kecuali memuncak dalam kebijaksanaan yang diperoleh melalui pengetahuan”.
Oleh karena itu, GSM yang diinisiasi kedua pasangan intelektual UGM ini telah sampai pada kerja seorang yogi yang menjalankan karmayoga. Bekerja sebagai pendidik adalah melakukan ibadah untuk memberikan pelayanan secara tulus iklhas dengan pembelajaran yang mendalam (deef learning) berdasarkan kesadaran (mind full) dari dalam diri. Mengetuk pusat kesadaran gravitasi manusia untuk belajar sepanjang hayat. Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan penggerak perubahan dari akar rumput yang coba diaplikasikan oleh sekolah-sekolah dengan dukungan para guru pembelajar yang memang kasmaran belajar. Itulah ide dasar yang melandasi lahirnya GSM sehingga layak berguru pada founder-nya. Padamu negeri, kami mengabdi di dunia Pendidikan untuk memasuki rumah batin bangsa membangun jiwa raga seutuhnya. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Jaswanto
- BACA JUGA: