Niat Penyeimbang Ideologi dan Persembahan
Yayasan Janahita Mandala Ubud berkomitmen untuk selalu dapat melahirkan karya literasi dan karya seni. Dalam konteks literasi Yayasan Janahita Mandala Ubud telah berhasil secara konsisten menghadirkan segmen Sarasastra dan Macandetan. Kedua gelaran tersebut bahkan dapat menerbitkan Buku Sarasatra yang menyarikan pemikiran para sastrawan mengenai kesusastraan Bali dan Buku Mecandetan meramu jalinan pemikiran mengenai gamelan Bali dari sudut pandang teoritis, praktikal dan komposisi.
Buku Sarasastra hingga tahun 2024 sudah memasuki edisi ke V dan Mecandetan baru memasuki seri ke III. Kemudian khusus pada gelaran Mecandetan memiliki visi untuk dapat menyeimbangkan literasi dan kekaryaan agar tercipta ekosistem antara pengetahuan dan kerja kreatifnya. Oleh sebab itu setelah Buku Mecandetan terbit pada edisi ke III maka selanjutnya muncul niat untuk melahirkan karya seni gamelan menegaskan posisi Macandetan untuk selalui imbang dalam produktivitas “pena dan panggul”. Pena sebagai simbol dari gerakan literasi dan panggul sebagai wujud arah pemikiran penciptaan karya seni.


Niat menciptakan karya seni gamelan untuk menyeimbangkan karya literasi Buku Mecandetan tercetus ketika dilakukan pertemuan evaluasi atas penyelenggaraan Ubud Campuhan Budaya yang digelar pada tanggal 13 sampai 14 Desember 2024. Saat itu pada tanggal 25 Desember 2024 bertepatan dengan Rahina Buda Manis Perangbakat serta berbarengan dengan Hari Natal menjadi momentum untuk menegaskan niat untuk merancang penciptaan karya gamelan baru.
Pada saat itu yang terlibat dalam diskusi adalah Tjokorda Gde Agung Ichiro Sukawati sebagai ketua umum, Cokorda Gde Bayu Putra selaku sekretaris umum, Cokorda Gede Anggara Sukawati, Ida Bagus Manobhawa, I Made Purnawirawan, Gede Krisna Dwipayana dan penulis sendiri. Selain itu masalah penyeimbang karya terdapat hal yang penting yang melandasi niatan penciptaan karya seni gamelan tersebut yaitu perihal akan dilangsungkan Karya Tawur Panca Wali Krama dan Pedudusan Agung di Pura Payogan Agung Gunung Lebah Campuhan.
Perlu juga diketahui bahwa Yayasan Janahita Mandala Ubud memiliki hubungan yang erat secara bathin dan spiritual dengan Pura Payogan Agung Gunung Lebah Campuhan. Secara bathin bahwa Ketua Umum Yayasan Janahita Mandala Ubud yaitu Tjokorda Agung Ichiro Sukawati juga sebagai pengemong dari Pura Payogan Agung Gunung Lebah Campuhan. Kedua, secara spiritual Pura Payogan Agung Gunung Lebah Campuhan menjadi orientasi pergerakan kebudayaan dari Yayasan Janahita Mandala Ubud. Maka dari itu sudah sepatutnya Yayasan Janahita Mandala Ubud melalui segmen Mecandetan untuk menghaturkan sebuah persembahan karya seni yang kemudian disebut dengan Tarpana Kelangon kehadapan Ida Betara-Betari yang berlingga di Pura Payogan Agung Gunung Lebah Campuhan.
Malam itu juga pada tanggal 25 Desember 2024 bertempat di Gedong Daja, Puri Anyar Ubud didiskusikan mengenai gagasan ide karya, konsep karya, bentuk karya, media ungkap dan teknis penyajian karya. Secara prinsip gagasan, ide, konsep dan media ungkap karya didiskusikan harus berpijak pada pencapaian serta portofolio kegiatan mengenai gamelan melalui segmen Mecandetan. Kemudian melalui diskusi yang hangat diputuskan bahwa akan digarap sebuah karya seni gamelan dengan memadukan olahan tembang. Selain itu juga diputuskan untuk menggunakan perangkat Nolin dari komunitas Neo Nolin Pujungan hasil jelajah kreatif Komang Resa Angga Nurbawa sebagai media ungkap gamelannya.
Selanjutnya penembangnya dipilih Ni Putu Tina Ratna Puspadewi (Tina), Ni Kadek Thaly Titi Kasih (Thaly) dan Ni Luh Putu Wiwin Astari (Wiwin). Nolin dari komunitas Neo Nolin dipilih selain memiliki potensi garap dari tungguhan dawainya juga pernah menjadi materi dan narasumber work shop dalam gelaran Ubud Campuhan Budaya tahun 2023. Ni Kadek Tina Ratna Puspadewi dan Ni Luh Putu Wiwin Astari pernah mengumandangkan suara emasnya di gelaran Ubud Campuhan Budaya. Khusus untuk Ni Kadek Thaly Titi Kasih dipilih karena portofolionya dalam urusan tembang-menembang khususnya pada gaya kontemporer. Selain itu Thaly juga pernah mengumandangkan suara empuknya pada karya Nyapuh Tirah Campuhan produksi Yayasan Puri Kauhan Ubud. Dalam karya yang menyinggung soal kemuliaan campuhan, Thaly sukses membangun imajinasi atas pemulian air sebagai sumber kehidupan.
Selanjutnya mengenai teknis, tempat dan waktu pementasan masih menjadi perbincangan yang hangat. Cokorda Gde Bayu Putra dengan pijakan idealisme mengenai pertemuan momentum dan produk artifisial dengan tegas memilih dua peristiwa yang dianggap penting sebagai ruang diseminasi karya yaitu pada acara Mapeselang dan Memasar. Kemudian dari dua opsi tersebut Tjokorda Gde Agung Ichiro Sukawati memberikan pandangan pertama jika karya dipentaskan pada acara Mepeselang sangat riskan berbenturan dengan rangkaian upacaranya serta konsentrasi masyarakat tidak akan fokus pada penyajian karya seni. Kedua, menyarankan untuk dipentaskan pada acara Memasar sebagai sajian pemendak dari petedunan Ida Betara-Betari sebelum melinggih di areal Alun-Alun Pasar Ubud, Bencingah Puri Agung Ubud. Cokorda Gde Bayu Putra juga menyambut baik opsi kedua ini yang juga bertepatan posisinya pada titik nol Ubud yaitu Catus Pata. Catus Pata dalam imajiner Cokorda Gde Bayu Putra merupakan “pusering Usadhi Desa” sebagai pusat pergerakan kerangkan pikiran spiritual-budaya masyarakat Ubud dan sekitar. Akhirnya diputuskan bahwa karya seni gamelan dengan media ungkap Neo Nolin yang dipadukan dengan olah tembang akan dipentaskan pada acara Memasar dengan menggunakan Catus Pata sebagai tempat penyajian karya.
Mengolah Dawai dan Tembang
Neo Nolin adalah sebuah barungan baru hasil pengembangan tungguhan Nolin oleh Komang Resa Angga Nurbawa (Mang Angga) dari Desa Pujungan, Tabanan. Nolin hasil pengembangan organologi dan visi kompositorisnya kemudian disebut dengan Neo Nolin. Predikat “Neo” disematkan sebagai penanda dari spirit pengembangannya. Neo Nolin merupakan golongan tungguhan berdawai (senar) terdiri dari delapan tungguh dengan rincian tiga tungguh semacam kantilan, tiga tungguhan semacam pemade dan dua tungguh semacam calung/jublag. Pola musikal yang dapat diolah adalag ngatih, norot dan ngotek. Ngatih untuk mempertegas bentuk melodi, norot untuk mengelaborasi melodi dengan konsep ngempat dan ngotek untuk menyajikan melodi dengan sistem membagi pola menjadi polos-sangsih. Dalam karya gamelan ini kemudian disusun struktur bagian ngatih, bagian norot dan bagian ngotek.

Pada setiap bagian selanjutnya dihiasi dengan olahan tembang dengan bentuk mempertebal melodi dan menjalin melodi antar melodi. Penembang yang dipilih yaitu Ni Putu Tina Ratna Puspadewi (Tina) dan Ni Kadek Thaly Titi Kasih (Thlay). Suara Tina dengan karakter gregel tradisi Bali yang kuat diolah untuk menghiasi tema melodi pokok yang ditembangkan oleh Thaly yang telah memiliki tekstur vokal yang tebal dan kuat. Selain dua penembang yang menyanyikan dan menghiasi melodi juga ditambahkan bentuk palawakya yang dinyanyikan oleh Ni Luh Putu Wiwin Astari (Wiwin). Wiwin sebagai penembang palawakya memiliki gema suara dalam dan sangat cocok dengan karakter teks Palawakya dengan hayatan yang dalam.
Teks yang digunakan dalam karya gamelan ini bersumber dari kidung dan kakawin. Kidung yang digunakan sebagai acuan pemilihan kata-kata untuk lirik adalah Kidung Warga Sari untuk penedunan. Sedangkan untuk palawakya bersumber pada karya Kakawin Gajah Mada pekardin Ida Tjokorde Gde Ngoerah dari Puri Agung Ubud (Pesaren Kauh) dan Kakawin Gunung Kawi karya Rakawi Ida Padanda Ngurah dari Gria Blayu. Teks kidung Warga Sari untuk penedunan tidak digunakan secara an-sich, tetapi diambil beberapa teks yang sesuai dengan tonal, sukat dan ritme melodi. Selanjutnya teks Kakawin Gajah Mada dan Gunung Kawi dipilih dari bagian yang narasinya berhubungan dengan campuhan dan digunakan secara an-sich untuk bagian palawakya.
Dalam komposisinya antara olahan garap musikal dari Neo Nolin dengan tembang disusun dengan sistem berlapis-lapis. Sistem berlapis-lapis yang dimaksud adalah antara bentuk melodi Neo Nolin dan tembang disusun dengan cara ngutang-nuduk (membuang-mengambil). Ngutang-nuduk yang dimaksud adalah pola melodi Neo Nolin tidak selalu dilapisi oleh tembang secara linear, tetapi juga lebih banyak olahan melodinya bertemu pada satu titik arah nada pada akhir tonal atau pada nada yang tidak menjadi golongan kolotomik. Dengan teknik ngutang-nuduk ini sajian melodi Neo Nolin dan vokal menjadi bervariasi dan beragam dari segi lapisan audialnya.
Relasi Gunung Dalam Penciptaan Karya Gamelan
Pada kegiatan penciptaan karya seni gamelan oleh Yayasan Janahita Mandala Ubud yang berkolaborasi dengan komunitas Neo Nolin terdapat sebuah relasi yang sangat menarik. Relasi menariknya selain pertemuan selayaknya campuhan antara ide garap musikal Ubud tempat bernaung dari Yayasan Janahita Mandala Ubud dengan gagasan media ungkap dari Pujungan yang berlokasi di lereng Gunung Batukaru, Tabanan sisi barat. Antara Ubud dan Pujungan yang berlokasi di lereng Gunung Batukaru, Tabanan sisi barat dari sisi geografis sangatlah jauh. Namun ternyata secara spiritual khususnya jika berbicara masalah orientasi tentang gunung maka antara Ubud dan Pujungan sama-sama memiliki orientasi pemujaan terhadap Gunung Batukaru. Ubud sendiri memiliki tempat pemujaan terhadap Gunung Batukaru dengan areal prahyangan yang sangat luas terletak 100 meter arah utara dari Puri Agung Ubud. Lalu Desa Pujungan tempat tumbuh kembang dari komunitas Neo Nolin juga secara tradisi juga memuja Gunung Batukaru dengan ritual upacara-upakara Ngusaba Kapat yang berlokasi di Pura Pucak Kedaton yang berlokasi tepat pada puncak Gunung Batukaru. Jadi antara Ubud dan Pujungan memiliki orientasi pemujaan yang sama terhadap Gunung Batukaru.
Satu hari sebelum pementasan pada tanggal 12 Pebruari 2025 para penabuh Neo Nolin bermalam di Puri Anyar yang kebetulan berada di sebelah selatan Pura Batukaru Ubud. Secara kebetulan penabuh dan tim Neo Nolin yang aslinya bermukim di lereng Gunug Batukaru bagian barat bermalam di Puri Anyar yang juga berdekatan dengan Pura Batukaru Ubud tempat pemujaan Ida Betara yang berstana di Gunung Batukaru pula. Jadi penabuh dan tim Neo Nolin seperti selalu dinaungi oleh spirit Gunung Batukaru. Malam itu penabuh Neo Nolin melakukan latihan musikal bersama penembang Thaly dan Wiwin.
Setelah melakukan latihan kemudian dilakukan sesi dubing recording vokal Thaly oleh tim Neo Nolin. Begitu selesai sesi dubing recording vokal selesai rencana penabuh Neo Nolin dan tim untuk istirahat menjadi urung karena di Gedong Daja Puri Anyar telah menunggu beberapa pengurus Yayasan Janahita Mandala Ubud untuk menyapa dan berbincang santai. Beberapa pengurus Yayasan Janahita Mandala Ubud yang hadir menyapa penabuh Neo Nolin dan tim saat itu adalah Cokorda Gede Dalem Dharmawijaya, Cokorda Agung Surya Dwidharma dan Cokorda Raka Surya Adhitya, beliau bertiga terlibat obrolan serta diskusi yang hangat dengan penabuh dan tim Neo Nolin. Kehangatan obrolan ini semakian menegaskan relasi spirit gunung yaitu antara Gunung Lebah Campuhan Ubud dan Gunung Batukaru. Saking hangatnya obrolan dan diskusi hingga berlangsung hingga pukul 02.00 Wita menjelang subuh.
Terdapat hal yang menarik imbas dari diskusi hingga subuh yaitu penabuh dan tim Neo Nolin yang sejatinya dijadwalkan untuk tangkil dan sembahyang di Pura Payogan Agung Gunung Lebah urung dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh penulis yang ditugaskan menghantar penabuh dan tim Neo Nolin untuk tangkil ke pura telat bangun akibat diskusi hingga subuh. Namun urungnya penabuh dan tim Neo Nolin sembahyang di Pura Payogan Agung Gunung Lebah ternyata menyimpan satu hal menarik yaitu menakdirkan mereka untuk kemudian sembahyang di Catus Pata Ubud pada saat berlangsungnya upacara Memasar serta tepat di depannya melinggih pajenengan berupa tombak duwe dari Pura Batukaru. Sungguh peristiwa langka dan mengharukan urung sembahyang di Pura Payogan Agung Gunung Lebah namun justru dapat sembahyang tepat berhadapan dengan pajenengan tombak duwe dari Pura Batukaru pula. Dalam artian lain mereka ditakdirkan selalu berada disisi terdekat Gunung Batukaru. Hal ini adalah sisi lain sudut kreativitas yang mengarah pada pijakan spiritual.
Nadi Campuhan
Nadi Campuhan sebagai judul dari karya Neo Nolin dan tembang ini terlahir dari diskusi dan pemikiran yang panjang. Bahkan judul Nadi Campuhan ini baru digulirkan serta disepakati satu hari pada tanggal 11 Pebruari 2025 atau satu hari sebelum pementasan. Nadi Campuhan dicetuskan oleh Cokorda Gde Bayu Putra yang sebelumnya sudah melakukan diskusi dengan Ida Bagus Oka Manobawa beserta persetujuan dari Cokorda Agung Ichiro Sukawati selalu penanggung jawab karya. Nadi Campuhan dapat ditelaah dari dua kata Nadi dan Campuhan. Nadi dalam konteks ini dimaknai sebagai sungai dan Campuhan ialah pertemuan.
Maka Nadi Campuhan adalah representasi dari titik Campuhan hasil dari pertemuan dua sungai (Nadi) Wos kawan dan wos kangin atau wos kiwa (kiri) dan wos tengen (kanan). Dua aliran Nadi ini sebelum bertemu pada satu titik Campuhan sebelumnya berhulu di Danau Batur melalui semburan mata air yang disebut Tirta Kuning. Campuhan sebagai titik pertemuan dua Nadi tersebut berdiri megah dan sakral prahyangan suci bernama Pura Payogan Agung Gunung Lebah. Maka Nadi Campuhan yang digunakan sebagai judul karya Neo Nolin dan tembang memiliki makna terdapatnya kandungan ideologi serta spirit Campuhan dalam karya ini. Campuhan musik instrumental dengan vokal.

Dalam kerja musikalnya Nadi Campuhan pertama-pertama ditempatkan pada posisi sebagai faktor ekstra musikal. Ekstra musikal adalah faktor-faktor diluar elemen musikal seperti bunyi, tempo, dinamika, ritme dan nada yang menyusun karya musik/gamelan. Ekstra musikal adalah nilai di luar elemen musikal yang berbentuk filosofi dan nilai yang ditafsir menjiwai sebuah karya musik. Nadi Campuhan sebagai ekstra musikal dalam karya ini ditafsir sebagai dua aliran karawitan instrumental bersumber dari instrumen Neo Nolin dan tembang yang bersumber pada suara vokal manusia.
Kedua sumber bunyi inilah dipadukan selayaknya Campuhan sebagai pertemuan dua “nadi/aliran”. Pertemuan kedua aliran sumber bunyi antara Neo Nolin dengan tembang olah vokal mewujudkan bentuk posisi komposisi vertical. Pola komposisi vertikal yang dimaksud adalah pola melodi dari Neo Nolin ditumpuk dengan olahan vokal. Vokal yang disusun berdasarkan tonal melodi dari Neo Nolin. Seluruh olahan vokal dalam karya ini tidak ada yang berposisi secara unison dengan pola melodi Neo Nolin. Wujud susunan komposisi vertical seperti ini dalam konteks gagasan musikal adalah masing-masing instrumen musik memiliki pola lajur melodi yang nanti bertemu pada sati titik tonal tertentu. Hal inilah yang kemudian menjadi sinkronisasi antara ide gagasan ekstra musikal dengan musikal dari Nadi Campuhan.
Sinkronisasi antara gagasan ekstra musikal dan musikal dalam judul Nadi Campuhan menjadi sebuah penanda komitmen literasi yang selalu digaungkan oleh Yayasan Janahita Mandala Ubud. Nadi Campuhan adalah pertemuan sari pemikiran sastrawan dengan seniman gamelan yang bermuara pada sebuah karya seni dalam hal ini adalah karya karawitan vokal.
Nadi Campuhan yang dicetuskan bertepatan dengan upacara Membem Banten (menyucikan sarana upakara) di Pura Payogan Agung Gunung Lebah, Campuhan, Ubud dan latihan terakhir dari karya karawitan vokal ini bertempat di Puri Anyar Ubud merupakan sebuah pertemuan “nadi/aliran” pula. Membem Banten adalah sebuah rangkaian peristiwa menyucikan seluruh karya mudra para pengayah dalam wujud banten dan latihan karawitan vokal terakhir oleh senimannya adalah sentuhan final sebelum dipentaskan. Hari itu sama-sama mengalir menuju titik final yang sama sehingga dapat mecampuhan pada peristiwa Adining Karya keesokan harinya pada tanggal 12 Pebruari 2025, Rahina Buda Kliwon Wuku Sinta bertepatan dengan Purnama sasih Kawuulu.
Menarasikan Air, Diguyur Air, Berlinang Air Mata
Karya karawitan vokal dengan judul Nadi Campuhan ini pada tanggal 12 Pebruari 2025 Rahina Buda Kliwon Wuku Sinta bertepatan dengan Purnama sasih Kawulu seperti yang telah direncanakan akan pentas perdana. Sesuai dengan judul Nadi Campuhan dengan maksud memetafora titik pertemuan dua sungai (Nadi) Wos kawan dan wos kangin atau wos kiwa (kiri) dan wos tengen (kanan) hari itu sudah siap dipentaskan. Dimulai dengan persiapan menuju Catus Pata Ubud dari Puri Anyar tempat menginap para penabuh Neo Nolin pada pukul 10.00 wita. Saat itu cuaca cerah dan sesuai harapan, mengingat dari hari Minggu sebelumnya hujan deras disertai angin kencang melanda Ubud dan sekitar bahkan Pulau Bali. Kostum yang disiapkan secara sigap oleh Gede Krisna Dwipayana yang dijemput secara khusus ke Singapadu menambah semangat pentas selain itu tidak kalah penting peran I Made Purnawirawan (Bendahara Yayasan Janahita Mandala Ubud) yang dengan cekatan mengurus logistik memastikan energi pentas terpenuhi.
Meskipun dalam karya Nadi Campuhan menarasikan air khususnya keutamaan serta kesucian aliran (Nadi) Campuhan yang berhulu di Danau Batur, hari itu kami memanjatkan doa agar Ida Betara-Betari berkenan tidak menurunkan “air hujan” sejenak hingga seluruh rangkaian upacara berakhir. Selain itu pada hari itu adalah Adining Karya (puncak) dari Karya Pedudusan Agung dan Tawur Manca Wali Krama di Pura Payogan Agung Gunung Lebah, Campuhan, Ubud.
Dalam Adining Karya terangkai tiga upacara penting yaitu Pujawali Pedudusan Agung, Mapeselang dan Memasar. Dari ketiga rangkaian upacara tersebut Pujawali Pedudusan Agung dan Mapeselang digelar di Utamaning Mandala Pura Payogan Agung Gunung Lebah, Campuhan, Ubud dan Memasar akan diselenggarakan di Pasar Ubud tepat di jantung Desa Ubud (Usadhi Desa). Memasar ini menjadi upacara yang ditunggu-tunggu karena seluruh Pretima dan arca lingga berwujud barong-rangda yang berjumlah puluhan dari sekitar 20 desa adat seputaran Ubud akan dipundut lunga ke Pasar Ubud dari Pura Payogan Agung Gunung Lebah.

Karya Nadi Campuhan inilah yang nantinya akan berfungsi sebagai pemendak seluruh Pretima dan arca lingga berwujud barong-rangda sebelum melinggih dan dihaturkan upakara Memasar. Oleh sebab itu upacara Memasar menjadi atensi dari semua pihak dan tidak berlebihan jika terpanjat agar hujan tidak turun mengguyur upacara ini. Sebagai informasi bahwa turunnya hujan pada saat Pujawali Ida Betara-Betari Pura Payogan Agung Gunung Lebah, Campuhan, Ubud adalah sebuah tradisi. Terdapat keyakinan bahwa Ida Betara-Betari Pura Payogan Agung Gunung Lebah, Campuhan, Ubud adalah representari dari Ida Ratu Sakti Batur Mekalihan yang lekat dengan elemen air.
Selain itu terdapat kepercayaan masyarakat Ubud bahwa Ida Betara-Betari Pura Payogan Agung Gunung Lebah, Campuhan, Ubud memiliki pelinggihan berupa kepiting sungai (yuyu) dan pengabih Ida Betara Bayu berwujud Hanoman yang juga lekat dengan angin yang biasanya berdampingan dengan hujan. Keyakinan dan kepercayaan yang sejatinya adalah anugerah pada saat itu kami mohonkan agar turun setelah upacara selesai.
Terangnya cuaca pada pukul 10.00 wita saat itu memberikan kelegaan hati dari para krama dan tentunya kami dari Yayasan Janahita Mandala Ubud, Neo Nolin dan para penembang. Namun sepertinya anugrah air yang menjadi keyakinan dan kepercayaan kami akhirnya tetap berjalan seperti tradisi. Pura Payogan Agung Gunung Lebah dan sekitar Ubud diguyur hujan sekitar pukul 11.00 wita pada saat kami akan melakukan kegiatan sound check. Pada saat itu di Pura Payogan Agung Gunung Lebah, Campuhan, Ubud sedang berlangsung upacara Pujawali Pedudusan Agung yang dilanjutkan dengan upacara Mapeselang. Rupanya keyakinan kami bekerja secara alami bahkan kami sejatinya sedang diingatkan bahwa jangan egois, ambisi kami sekalipun itu berlandaskan bhakti harus dikekang.
Kami lupa bahwa pelinggih Ida Betari berwujud kepiting sungai (yuyu) memerlukan air untuk dapat berjalan tangkil juga untuk memuja Ida Betara-Betari. Begitu juga Ida Betara Bayu yang berwujud Hanoman sepertinya juga tidak berkenan jika tidak menunjukan kehadiran beliau melalui hujan. Intinya semua ingin menunjukkan rasa bhakti kehadapan Ida Betara-Betari. Kemudian pada pukul 13.00 wita setelah rangkaian upacara Pujawali Pedudusan Agung dan Mapeselang usai cuaca mulai cerah dan hujan reda. Sepertinya alam telah mengatur semua menjadi indah dan sesuai harapan hanya saja kita sebagai manusia kurang sabar dan ikhlas demi mewujudkan ambisi sekalipun itu berlandaskan bhakti pula.
Setelah langit cerah persiapan sound check yang sempat tertunda setelah diguyur “paica” hujan. Begitu sound check selesai maka kami melajutkan persiapan untuk berias. Riasan yang digunakan oleh penabuh Neo Nolin dan para penembang menggunakan konsep lawasan yang merujuk pada masa Ubud masih menjadi Punggawa. Begitu selesai berhias yang memakan waktu selama satu jam para penabuh Neo Nolin dan para penembang beristirahat sembari sesekali melatih petikan pada Nolin atau menyetem suara vokal oleh penembang. Tepat sekitaran pukul 15.45 wita terdengar informasi melalui saluran protofon (handy talky) bahwa Pretima Ida Betara-Betari dan arca lingga barong-rangda siap untuk tedun menuju ke Pasar Ubud.
Maka dari itu penabuh Neo Nolin bersiap untuk mengambil posisi tepat di plataran Kantor Lurah Ubud sementara para penembang masih melakukan persiapan pemasangan clip on untuk memunjang performa volume suara nantinya. Sembari menunggu datangnya iring-iringann prosesi Ida Betara-Betari penabuh Neo Nolin memainkan salah satu gending andalan mereka yang berjudul Nang Dudu. Begitu alunan Neo Nolin beruara nyaring tapi lembut sontak menjadi pusat perhatian para krama yang juga hadir untuk ikut serta dalam upacara Memasar. Terlebih bahwa Neo Nolin belum begitu familiar dalam telinga tradisi masyarakat Ubud sehingga mengundang perhatian untuk mendekat mengamati serta mendengar. Setelah selesai memainkan gending Nang Dudu, iring-iringan Ida Betara-Betari sudah nampak dari kejauhan. Maka kami bersiap untuk segera memanikan karya pamungkas Nadi Campuhan sebagai sebuah pemendak (penyambut) rauhnya Ida Betara-Betari di Catus Pata Ubud.
Tepat pada saat ujung iring-iringan Ida Betara-Betari tiba di depan Pura Jati kawitan dari Nadi Campuhan berkumandang. Mengapa dimulai dari Pura Jati?. Kembali penulis ingin menekankan bahwa sejatinya Ida Betara-Betari Pura Gunung Lebah Ubud adalah representasi dari Ida Ratu Sakti Mekalihan Pura Ulun Danu Batur. Kemudian Pura Jati adalah stana dari bhagawanta Ida Ratu Sakti Batur Mekalihan. Dalam tradisi spiritual Desa Adat Batur bahwa untuk memulai ritual tahunan upacara selalu dimulai dari Pura Jati.
Oleh sebab itu pula kami mengadopsi tata krama upacara di Desa Adat Batur juga di Ubud yang menjadi panjak sekaligus penghayat bathin Batur. Sete;ah kawitan dilanjutkan dengan tembang dari suara lembut Tina dan Thaly berlirik “Hyang………….pangastutining ulun damuh, Hatur ingsun majeng ring pakulun Mahameru, pacing katuwur”. Sembari berkumandang pengawit Nadi Campuhan iring-iringan Ida Betara-Betari memargi (berjalan) secara perlahan hingga berhenti sementara tepat di depan Pura Desa-Bale Agung Desa Adat Ubud. Setelah berhenti sejenak Ida Betara-Betari dihaturkan suguhan karya Nadi Campuhan secara utuh dengan alunan Neo Nolin beserta tembang dengan lirik seperti berikut dibawah ini:
Tembang Mamitang Lugra:
“Hyang…………
Pangastutining hulun damuh,
Hatur ingsung majeng ring pakulun
Mahameru…….pacang katuwur”
Tembang Penuwur:
“Jenar ya jenar makebyor byor, mas mirah manik wastra sutra,
Wastra sutra makebyor byor, Gedong kunci Mahameru
Gedong Kunci Mahameru, Pinuji……….”
“Margi linggah purwa tangi, panjak sami pada sami sumuyup,
Kara kalih menyakup, akasa lan pertiwi,
Margi linggah purwa tangi, panjak sami pada sami sumuyup,
Buk Padan Cokor Ratu, ukir ranu jeladi”
Palawakya:
Kekawin Gajah Mada
“Puja ning hulun ri jeng bathara Dhatra makadi sira lingga ning sarat kabeh,
Mukye bapabu nikang tribwana tekeng pati uripnya bhatara manreshti,
Salwir ning hala hayu ning ulah padha lumekasa madudwa-dudwan ika kabeh,
Tekwan sarwa lengeng ing pasir ukir kapwa ya gawe mangun harsa ning mulat”
Kakawin Gunung Kawi
“Honyang parwwata nungguula ri uttaratisaya ri samipanya ertali,
Tan pendah ri lekas nirang pramasadaka tuhagana masuryyasewana,
Lenglengannya sawit latangkura sudiwya bhasa asing apuspa darbane,
Rum ning sewala pindha basma rumaket I raya kadi tinatarengwaken”
Tembang Pengajum:
“Mangelencok….., muncrat mumbul manyiratin……,
Mas membah tirta saking ukir, saking kalih metunggilan,
Mengaran Campuhan linggih luih Hyang Betari,
Pepasihan Merta Gangga, Yogi Agung Mangredana”
“Sihan Betari kadi Jantra, Membah ngelencok, Manyiratin,
Ngalebar sahanan mala reged ring jagat,
Tunjang petak mangarasmi, rasmi hati bhakti suci,
Duh Hyang Betari ring Ukir……………”
Tembang Nunas Panugrahan:
“Buk padan paduka Betari, beras catu manik galih,
Patemuan…………………….
Kawula kalih Gusti,
Memasar…….ngaran indik
Memasar……….ngaran indik”
Palawakya:
Kekawin Gunung Kawi
“Katon Asrama purwwakanya tisaya prakasita ri dungus nikang parung,
Lwir pendah kahayunnya ring Manarawatya tisaya subhageng jagatraya,
Wet ning sandhi natanya sang Sri Sukawatya tuhu jana nuraga ring jagat,
Wit ning bitra watek rsi pwa ya niwita duga-duga citta praharsana”
Dalam alunan Nolin berpadu dengan tembang yang dinyanyikan oleh Tina dan Thaly sesuai teks tertulis di atas serta pembawaan palawakya oleh Wiwin memberikan kesan yang berbeda untuk menyertai tedun Ida Betara-Betari Pura Gunung Lebah. Biasanya sepetedun Ida Betara-Betari lazimnya disertai dengan alunan Gamelan Gong Gede atau Gong Kebyar yang memainkan bentuk gending gilak atau gegilakan. Namun kali ini derap langkah para pemundut Ida Betara-Betara disertai oleh dentingan dawai dengan karakter melengking namun lembut.
Menariknya, penulis melihat peristiwa haru yaitu Jero Mangku Pura Gunung Lebah yang masih beusia remaja (kisaran dua puluh tahunan) sebagai jan banggul Ida Betara-Betari sesekali menyeka air mata yang berlinang dari pelupuk matanya. Momentum ini terjadi pada saat Ida Betara-Betari Pura Gunung Lebah Campuhan berserta pelawatan Ratu Gede dan Ratu Sakti mekabehan berhenti sejenak untuk menerima sajian pemendak Nadi Campuhan, sebelum menuju altar yang telah dipersiapkan di alun-alun Pasar Ubud. Penulis dapat mengamati peristiwa ini karena g kebetulan mengambil posisi duduk bersila tepat dibelakang penabuh Neo Nolin.
Nadi Campuhan pada saat itu yang hadir untuk mempersembahkan sajian yang disebut Tarpana Lango menarasikan air sebagai simbol Ida Betara-Betari Pura Gunung Lebah Campuhan juga Ida Betari-Betara Sakti Batur Mekalihan dianugrahi guyuran air (hujan) yang menyejukan ditambah linangan air mata dari jan banggul Ida Betara-Betari.
Sebagai sebuah Tarpana Lango yaitu seni persembahan Nadi Campuhan adalah cara menghaturkan bahkti kehadapan Ida Betara-Betari Pura Gunung Lebah Campuhan Ubud berdasarkan rasa kreativitas seni khususnya dalam bidang gamelan. Cara berbhakti dengan mengaitkan sradha dengan kesenian adalah salah satu komitmen dari Yayasan Janahita Mandala Ubud untuk selalu dapat hadir dalam konteks spirit ngrastitiang jagat.

Akhir kata, tentu karya ini buahh kerja kolaborratif segenap insane yang berikthiar mempersembahkannya sebagai wujud Sradha Bhakti pada Ida Betara-Betari Pura Payogan Agung Gunung Lebah di lereng bukit kecil dengan campuhannya. Kami sungguh berhutang pada aliran kemakmuran dan kreativitas yang diberikan selama ini.
Pada titik lain karya ini juga memastikan komitmen Janahita Mandala Ubud hadir pada medan pengabdian yang erat dengan nafas sosial religious. Tarpana Langgo Nadi Campuhan adalah sradha bhakti Yayasan Janahita Mandala Ubud kehadapan sang pengalir nadi derasnya pengetahuan seni oleh Ida Betara-Betari Pura Payogan Agung Gunung Lebah. [T]
Penulis: I Wayan Diana Putra
Editor: Adnyana Ole