DINAMIKA religius masyarakat Bali saat ini kembali terklaster sampradaya—kembali mengalami perselisihan karena urusan kepercayaan, serta terjadi pemaksaan kebudayaan baru masuk untuk diterima dan diterapkan oleh warga Hindu Bali.
Di sisi lain, ideologi penyatuan sesungguhnya telah ada bahkan bertahan sampai beberapa abad, yakni penyatuan ajaran-ajaran (sekte) di Bali pada zaman Raja Udayana, dan hal itu bisa d laksanakan oleh masyarakat dalam bentuk Desa Pakraman, Pura Kahyangan Tiga, atau Sanggah Kemulan.
Untuk menghindari perpecahan dan perselisihan umat Hindu di Bali, ideologi penyatuan ini harus didengungkan kembali sehingga dikenal oleh masyarakat luas. Karena Bali memang sempat berada pada masa yang kelam, pernah mengalami perpecahan karena aliran kepercayaanjangan, dan masa kelam itu jangan sampai terulang kembali.
Alasan itulah yang menyebabkan I Wayan Titra Gunawijaya punya obsesi besar menyusun disertasi dengan judul “Konsep Ajaran Panca Tirtha di Pura Silayukti dalam Keberagamaan Masyarakat di Bali (Perspektir Teologi Hindu)”. Seagai dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang mengampu mata kuliah Weda, Teologi Nusantara, dan Filsafat Kebudayaan, ia merasa punya kewajiban moral untuk mendengungkan kembali konsep-konsep penyatuan umat Hindi agar tak kembali mengalami perpecahan di tengah munculnya aliran-aliran kebercayaan baru di tengah masyarakat.
Titra Gunawijaya mempertanggungjawabkan disertasinya | Foto: Facebook
Disertasi itu ia pertanggungjawabkan dalam ujian untuk meraih program doktor pada Prodi Ilmu Agama Program Pascasarjana Universitas I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar. Ia lulus, dan kini berhak menyandang gelar doktor. Namanya kini menjadi Dr. I Wayan Titra Gunawijaya, S.Fil., M.Ag.
Titra menyelesaikan S1-nya pada Jurusan Filsafat Hindu IHDN Denpasar tahun 2013, lalu S2 pada Jurusan Brahma Widya Pascasarjana IHDN Denpasar (2016), dan S3 diselesaikan dengan baik pada Prodi Ilmu Agama Hindu Program Pascasarjana UHN IGBS Denpasar (2025). Dan, kini ia bisa anteng mengajar di Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang ditekuninya sejak tahun 2019.
Ajaran Panca Tirtha di Bali
Isi selengkapnya disertasi Trita Gunawijaya tentu saja panjang, dan barangkali cukup rumit untuk dipahami dalam dunia populer. Namun, Trita menulis ringkasannya yang barangkali bisa membuat umat Hindu menjadi paham.
Inilah ringkasannya yang ditulis sendiri oleh Trita:
DINAMIKA kehidupan religius masyarakat Bali Kuna tidak terlepas dari perkembangan sekte di dalamnya, pada kerajaan Bali Kuna yang dipimpin oleh Raja Udayana masyarakat Bali terklaster karena keberadaan sekte. Cara persembahyangan, bentuk pemujaan yang beranekaragam tentu membuat masyarakat tidak nyaman serta menumbulkan perselisihan.
Untuk memitigasi hal tersebut Raja Udayana memohon bantuan kepada Putra Mpu Tanuhun yakni Panca Tirtha (Mpu Semeru, Mpu Gnijaya, Mpu Gana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah) untuk datang ke Bali menyelesaikan perselisihan tersebut.
Melalui samuan agung (rapat besar) di Pura Samuan Tiga sepakatlah sekte-sekte tersebut berbaur dengan wadah Desa Pakraman sebagai organisasi sosial, Kahyangan Tiga dan Sanggah Kemulan sebagai simbul religius masyarakat Bali Kuna.
Perkembangan zaman modern serta kemajuan ilmu pengetahuan membuat umat Hindu selalu menggali informasi mengenai keagamaan sangat mendalam, sehingga, belakangan ini, muncul kembali panatikisme berlebihan sehingga kembali masyarakat modern mengalami klaster karena paham agama. Tentu sesungguhnya ini merupakan pengulangan sejarah yang telah terjadi pada zaman Bali.
Ideologi penyatuan Panca Tirtha ini penting untuk dipahami bersama sehingga umat paham sejatinya Hindu itu universal, melalui konsep bahwasanya tirtha dimaksud dalam arti lebih luas dapat berarti sumber dharma/kebenaran, kesucian/patirtha, dan orang suci, sehingga tirtha dimaksud dalam penelitian ini adalah Panca Tirha /lima orang suci melalui rumusan masalah:
Pertama, mengapa Pañca Tirtha dipuja di Pura Śilayukti Desa Padangbai, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem?
Kedua, bagiamana ajaran Pañca Tirtha di Bali?
Ketiga, bagaimana implikasi dan makna Teologi Hindu dari ajaran Pañca Tirtha terhadap keberagamaan masyarakat di Bali?
Menjawab pertanyaan pertama mengapa dipuja di Pura Silayukti tercermin dari beberapa alasan:
Pertama, Alasan Mitologi, dimana Mpu Semeru melakukan perjalanan melalui Batur serta bertemu warga wed kemudian di ajari ajaran agama/kebenaran diberikan penugrahan abiseka menjadi Mpu Kamereka serta bergelar bhujangga sebagai pemuput upacara Pasek Kayu Selem, Mpu Gnijaya penganut paham bhamaisme alihan brahma memuja api, yang sering melakukan diskusi dengan adiknya Mpu Kuturan di pasraman beliau di Bukit Padangan (Pura Silayukti). Mpu Gnijaya, Mpu Kuturan dan Mpu Gana sering mediskusikan mengenai falsafah ketuhanan di Bukit Padangan, baru kemudian berkunjung ke Besakih mengunjungi Mpu Semeru.
Kedua, Alasan Teologis, di mana masing-masing menganut paham yang berbeda. Mpu Semeru pemuja Siwa, Mpu Gnijaya pemuja Brahma, Mpu Gana pemuja Ganesha, Mpu Kuturan dan Bharadah penganut Budha Mahayana. Penyatuan inilah menyatukan kosep ketuhanan Hindu di Bali, kemudian lebih dikenal penyatuan Siwa Budha di Bali melalui Mandala dan Tantra;
Ketiga, Alasan Simbolik, di masing-masing patung di Pura Silayukti memiliki bentuk yang berbeda seperti simbul ketuanya berbeda dan baja.
Keempat, Alasan Penghormatan kepada pada mpu merrupakan alasan utama mengapa pemujaan terhadap patung panca tirtha di dilaksanakan di Pura Silayukti untuk menghormati para jasa beliau dalam menyatukan sekte di Bali
Kelima, Estetika, tentu patung merupakan salah satu wujud cipta manusia untuk memberikan keindahan pada ruang termasuk juga Pura Silayukti.
Ajaran Panca Tirtha di Bali meliputi:
- Pemujaan terhadap Tri Murti sebagai wujud penyatuan sekte di Bali yang dilaksanakan oleh Mpu Kuturan pada samuan agung di Pura Samuan Tiga melahirkan konsep pemujaan kepada Tiga Dewa Utama yang tersurat juga pada kitab Upanisad (Maitri Upanisad) sebagai sumbernya.
- Pemujaan tehadap Api/Agni atau pemujaan tehadap Brahmaisme. Hal tersebut tercermin dari pelaksanaan homa yajna yang dilaksanaan di Kerajaan Klungkung. Pemujaan terhadap agni juga dijelaskan dalam Rg Weda;
- Pemujaan Ganesa, pemujaan terhadap Dewa Ganesha sesungguhnya sudah dilaksanakan oleh masyarakat Bali sebelum kedatangan Mpu Gana ke Bali. Keberadaan beliau kemudian memperkuat pemujaan terhadap Ganesa sebagai dewanya Gana;
- Bhujangga merupakan orang suci atau sebutan orang suci bagi masyarakat Bali Kuna/ salah satunya adalah Pasek Kayu Selem.
Implikasi ajaran Panca Tirtha di Bali
- Implikasi terhadap keberagamaan masyarakat Bali terlihat dari cara pemujaan dan dewa yang dipercayai oleh umat Hindu dari generasi ke generasi yakni Tri Murti melalui pelaksanaan yajna.
- Implikasi terhadap kebudayaan masyarakat Bali tentu terasa melalui kebiasaan yajna yang dilaksanakan dalam suatu wilayah, seperti salah satunya kebudayaan ngaben melintasi Pantai Padangbai saat pengabenan, serta kebudyaan lain pada tempat yang lain;
- Implikasi terhadap kehidupan masyarakat Bali menjadi terpolarisasi dalam satu wadah organisasi kemasyarakatan yakni Desa Pakraman serta aturan yang termuat di dalamnya yakni awig-awig;
- Implikasi teologi terhadap masyarakat Bali tentu tertuang melalui puja mantra yang disampaikan pada saat melakukan pemujaan terhadap Panca Tirtha, hal tersebut tertuang pada Mantra Puja Ida Bhatara Kawitan yang dikarang oleh Ida Pandita Mpu Dharma Kerti dari Griya Bhuana Sari Padangkeling-Buleleng.
Temuan penelitian
- Penyatuan sekte di Bali bersumber pada kitab Upanisad dan kitab Purana yang menjelaskan konsep Trimùrti merupakan bagian dari kodifikasi Veda.
- Memperkuat penyatuan Śiwa-Budha di Bali melalui tantrayana, penyatuan ajaran Śiwa dan Budha melalui ritual keagamaan dan mandala dalam tantra.
- Pañca Tirtha melahirkan konsep pemujaan Trimùrti, pemujaan Dewa Ganesa, ajaran Kebrahmanaan, serta Bhujangga pendeta bagi masyarakat Bali Kuna.
- Self surpasing peningkatan hakekat diri menjadi Bhaṭāra, seperti halnya peningkatan eksistensi Mpu Semeru, Mpu Gnijaya, Mpu Gana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah, yang distanakan dan di puja oleh masyarakat Bali.
Tertarik pada Teologi
I Wayan Titra Gunawijaya lahir di Marga, Tabanan, 21 Mei 1991. Masa kecil hingga remaja dihabiskan di desanya yang masih hijau royo-royo, tepatnya di Banjar Dinas Gelagah, Desa Payangan, Marga- Tabanan. Sebelum bergerak ke Denpasar untuk kuliah, pendidikan dasar dan menengah semuanya dihabiskan di kampung halamannya. Ia masuk SDN 3 Payangan, lalu SMPN 1 Marga, kemudian SMAN 1 Marga.
Setamat kuliah S1, ia sempat menekuni wirausaha, juga menjadi petani jambu di desanya, sebelum memutuskan untuk menjadi dosen di STAHN Mpu Kuturan.
Titra Gunawijaya berdoa dalam suasana kelulusannya untuk mendapat gelar doktor | Foto: Facebook
Ia sosok pemuda Hindu yang menunjukkan ketertarikannya yang begitu besar pada bidang teologi. Kenapa ia tertarik dengan teologi?
Sebagai masyarakat yang religius, kata Titra, kehidupan tidak akan pernah lepas dari agama dan pengetahuannya. Teologi merupakan ilmu yang mempelajari ajaran ketuhanan, kalau dalam Hindu disebut dengan brahmawidya atau ilmu ketuhanan Hindu.
“Jadi, mempelajari ilmu agama secara tidak langsung telah mengajari cara untuk hidup dalam adat dan budaya Bali. Itulah alasan penting kenapa saya tertarik pada bidang teologi,” katanya.
Barangkali, di Bali, ada pemuda Hindu lain yang seperti Tirtra—tertarik begitu lekat kepada bidang ilmu teologi Hindu. Namun jumlahnya tidaklah banyak. Buktinya, program studi Teologi Hindu di kampus STAHN Mpu Kuturan Singaraja, juga di kampus Hindu lain di Bali dan luar Bali, peminatnya selalu paling sepi dibanding program studi lain semisal Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
Kondisi program studi teologi di kampus-kampus Hindu yang sepi peminat itu tentu saja membuat Titra cukup gelisah.
Kenapa pemuda Hindu tak banyak yang tertarik belajar agama, terkhusus teologi Hindu?
Menurut Titra, ini karena stigma di masyarakat bahwa mempelajari agama hanya dilakukan oleh orang yang sudah tua. Anak-anak muda menganggap mempelajari agama tidak akan menghasilkan uang. Itu pemikiran materialis.
Masyarakat modern, dengan pola pikir berorientasi kepada uang, tentu akan mencari ilmu yang akan cepat menghasilkan uang seperti ilmu pariwisata yang bisa terserap dalam dunia kerja, atau ilmu teknik yang dibutuhkan masyarakat ketika pembangunan berkembang pesat.
“Ilmu agama cenderung dianggap bersifat dogma atau keyakinan semata sehingga ketika dikaitkan dengan konsep materialistik sedikit bertolak belakang,” ujar Titra.
Tapi, ngomong-ngomong, apa sebenarnya teologi Hindu itu?
Teologi Hindu, kata Titra, adalah cabang pemikiran dalam agama Hindu yang membahas tentang hakikat Tuhan (Brahman), hubungan antara Tuhan dan makhluk, serta prinsip-prinsip keimanan dalam ajaran Hindu. Tidak seperti dalam teologi agama monoteistik yang sering kali memiliki sistem dogmatis yang jelas, teologi Hindu bersifat pluralistik dan multidimensional, mencerminkan keragaman filsafat dan praktik dalam tradisi Hindu.
Lebih lanjut Titra mengatakan, Teologi Hindu bukanlah satu sistem kepercayaan yang seragam, tetapi merupakan rangkaian pemikiran yang beragam tentang hakikat Tuhan dan hubungan manusia dengan realitas tertinggi.
“Dengan pendekatan filosofis yang kaya, Hindu menawarkan berbagai cara untuk memahami Tuhan, mulai dari non-dualisme murni hingga bhakti yang personal terhadap dewa tertentu,” kata Titra.
Titra Gunawijaya dalam suasana kelulusannya untuk mendapat gelar doktor | Foto: Facebook
Dengan begitu, teologi Hindu adalah ilmu yang penting. Kata Titra, “Mempelajari teologi Hindu bukan hanya penting bagi pemeluknya, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin memahami keanekaragaman pemikiran agama, spiritualitas, dan filosofi kehidupan.”
Dengan mengeksplorasi konsep-konsep ketuhanan dalam Hindu, menurut Titra, seseorang dapat memperluas wawasantentang hakikat realitas, hubungan manusia dengan Tuhan, serta peran agama dalam membentuk budaya dan masyarakat. Pemahaman tentang teologi Hindu dapat memberikan perspektif baru dalam studi agama dan filsafat.
Sementara itu, bagi masyarakat umum, ajaran-ajaran Hindu dapat menjadi sumber inspirasi dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan harmonis, mengingat sebagai bahan kajian dalam upaya menyederhanakan implementasi ajaran agama, sesungguhnya agama bukan saja dalam tatanan pemahaman tapi juga tindakan dalam bentuk yajna yang lebih spesifik ritual keagamaan.
“Memahami Teologi menjadi sangat penting karena sesungguhnya ajaran ini yang paling dekat dan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Melalui pemahaman yang benar akan tercipta harmonis,” ujarnya.
Kuliah Teologi akan Menjadi “Pemangku”?
Berkaitan dengan teologi, ada stigma yang selama ini berkembang, tentu saja anggapan yang keliru. Bahwa orang yang kuliah di jurusan atau program studi teologi Hindu adalah orang yang ingin, atau akan, menjadi pemangku. Pemangku adalah orang yang bertugas memimpin atau biasa disebut muput upacara Hindu.
Benarkah teologi berkaitan dengan kepemangkuan?
Titra menjawab, belajar agama tidak mesti dilakukan dalam rangka menjadi pemangku, atau hal-hal yang berkaitan dengan kepemangkuan. Teologi Hindu lebih menekankan kepada keyakinan personal mengenai konsep ketuhanan yang nirguna (tidak terbayangkan) dan saguna (terbayangkan dalam bentuk manifestasi dewa-dewa dan bhatara lokal).
“Setiap orang yang beragama (Hindu) sesungguhnya wajib mempelajari teologi Hindu untuk mengetahui ketuhannya, tidak serta merta ber-yajna atau sekadar pelaksana gengsi dan ikut-ikutan,” kata Titra.
Dengan penjelasan seperti itu, kata Titra, sesungguhnya telah menjawab stigma di masyarakat bahwa belajar teologi Hindu tidak menjadi pemangku, karena setiap umat beragama harus mempelajari teologi Hindu.
Sebagai ilmu ketuhanan, tentu teologi erat sekali kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat Bali dalam kesehariannya. Titra mencontohkan, mabanten saiban merupakan pemujaan terkecil kepada manifestasi Tuhan Saguna Brahman, sembahyang di merajan merupakan pemujaan kepada manifestasi Tuhan dalam wujud Ida Bhatara Hyang Guru, melaksanakan persembahyangan di Pura Desa memuja manifestasi Tuhan dalam wujud Brahma, dan lain sebagainya.
“Melaksanakan yajna dalam keseharian secara tidak langsung merupakan penerapan ajaran teologi hindu yang paling sederhana,” ujarnya.
Titra kemudian memberi sejumlah tips, atau hal-hal yang mesti dipahami sehingga generasi muda tertarik untuk mempelajari teologi Hindu;
Pertama, mengubah paradigma masyarakat bahwasanya agama itu hanya boleh dipelajari oleh orang dewasa atau orang tua saja;
Kedua, mengubah paradigma bahwa kuliah di teologi, setelah lulus hanya bisa menjadi pemangku.
Ketiga, edukasi mengenai ajaran agama sesungguhnya yang paling murni terdapat di teologi Hindu karena tidak ada kontaminasi dari sektor pendidikan, sektor manajemen, dan teknik.
Keempat, guru agama dan penyuluh agama Hindu sebenarnya sudah membantah anggapan bahwa kuliah di teologi tidak mempunyai masa depan dan tidak menghasilkan uang. Bahwa ruang kerja yang dapat dicapai lulusan teologi sangat banyak.
Kelima, lulusan teologi Hindu bisa merambah ke berbagai sektor seperti dunia pendidikan (guru Agama Hindu), sosial budaya (Penyuluh Agama Hindu), adat (pemuka agama), Akademisi/ Peneliti( pengkaji naskah suci). [T]
Reporter: Tim Tatkala
Penulis/Editor: Adnyana Ole