“Apa yang kau masak hari ini?”
Tentu saja pertanyaan itu tidak datang lalu kemudian menggetarkan genderang telingaku. Suara mesin gerinda di belakang rumah begitu jelas, keras terdengar, sibuk sedari pagi memotong besi.
Pertanyaan itu hadir begitu saja. Sementara telingaku sedang sibuk dengan alunan musik yang tidak akan kau suka. Musik yang aku putar untuk menyamarkan suara gerinda. Menyamarkan kendaraan yang melintas hilir mudik, gonggongan anjing, suara gerbang biru yang dibuka-tutup oleh penghuninya yang sibuk, sibuk keluar masuk.
“Apa yang kau masak hari ini?” Itulah pertanyaan yang datang begitu saja.
Seperti seekor kadal yang tiba-tiba muncul di ruang tamu. Atau seekor anak cicak yang melintas di bawah gelas kopi yang terongok beberapa hari. Entah itu kopi hari apa, aku lupa, yang aku tahu dia telah berubah fungsi menjadi rumah untuk sekumpulan jamur.
“Aku belum memutuskan!” jawabku. “Yang jelas hari ini aku tak akan memasak keringatku!”
Tidak ada pertanyaan susulan. Hanya gonggongan seekor anjing terdengar sayup-sayup mengejar kendaraan yang melintas. Sayup-sayup di antara suara gerinda dan alunan musik memutar lagu selanjutnya.
Keringatku belum cukup untuk bisa dimasak, walau dia merembes keluar dari pori-pori namun tetap saja masih tidak cukup.
Hujan yang hadir dengan semena-mena membuatnya begitu cepat larut dan luruh bersama lumpur yang bangkit dari selokan dan menggenangi kakiku.
“Keringatku belum cukup untuk bisa aku masak hari ini!”
“Lalu apa yang akan kau masak hari ini?” Pertanyaan itu kembali datang, tidak puas dengan jawaban yang kuberikan.
“Aku belum memutuskan!” jawabku tegas.
Untuk apa tahu tentang apa yang aku masak hari ini. Untuk apa tahu tentang apa yang aku makan hari ini. Aku tak ingin memberitahukannya.
Tanah masih basah, hujan lebat semalam hingga pagi tadi masih menyisakan jejaknya. Sementara speaker sedang memutar lagu selanjutnya, lagu yang tidak aku tahu judulnya, namun aku tahu kau tidak akan suka.
Aku memutarnya hanya untuk menyamarkan suara kendaraan yang melintas. Menyamarkan suara perempuan di belakang dinding yang tak pernah lelah memarahi anaknya. Marah akibat si anak tidak segera mandi, atau mengompol, atau susah disuruh makan. Atau ratusan alasan lain untuk marah. Ratusan alasan agar dia bisa marah.
Mungkin saja amarah itu bisa menjaganya tetap waras dan masih bangun pagi dan menyiapkan ratusan keperluan anak-anaknya.
Pertanyaan itu tidak muncul. Namun kini suara perempuan di belakang dinding kian meninggi dan bertubi-tubi. Seperti berondongan senapan mesin yang ditembakkan dengan dendam.
Volume musik aku besarkan, aku tidak ingin mendengar berondongan amarah. Juga tak mau mendengar tembakan pembalasan yang akan kian membabibuta. Amarah balasan yang akan menyusul kemudian.
Biarkan saja instrument yang tak aku mengerti itu memenuhi telingaku.
Aku duduk dengan segelas kopi yang aku buat siang tadi. Dengan gelas lain yang aku letakkan di sebelah segelas kopi yang telah hadir terlebih darulu. Segelas kopi dengan jamur mengambang di permukaannya. Teronggok begitu saja di salah satu sudut ruang keluarga.
Ruang keluarga yang bahkan telah lama kosong, ditinggalkan. Mereka telah pergi untuk berlari mengejar mimpi-mimpi mereka.
Jamur mengambang dari sisa kopi yang entah telah berapa hari aku abaikan. Aku ingin membiakkannya, siapa tahu itu adalah jamur yang bisa membuat mimpi-mimpi bisa terlupakan. Sehingga tak ada lagi yang perlu berlarian, berkejar-kejaran mengejar mimpi dan pada akhirnya saling meninggalkan. Berakhir untuk saling meninggalkan.
Tentu saja keinginan itu akan kalah oleh kenyataan, aku butuh gelas untuk setiap kopi pahit yang aku butuhkan untuk mengawali hari. Melewati hari di rumah ini. Menikmati waktu bersama ruang keluarga yang kesepian setelah ditinggalkan keluarganya.
Gerbang biru terdengar dibuka, lengkap dengan suara penghuninya yang melengking tinggi.
Aku ingin membesarkan volume musikku, namun hari telah gelap. Akan ada dua teriakan yang silih berganti menghimpitku dari depan dan belakang. Apa yang sebenarnya mereka banyangkan dengan teriakan teriakan yang mereka pekikkan.
“Apa kau akan memasak hari ini?” Pertanyaan itu kembali. Pertanyaan yang berubah dari sebelumnya.
Aku tidak ingin langsung memutuskan untuk menjawabnya. Bisa jadi pertanyaan itu adalah sebuah perangkap untuk pertanyan-pertanyaan selanjutnya yang tak akan pernah berhenti. Pertanyaan yang akan memancing aku harus mengungkapkan apa yang hendak aku lakukan dan kenapa melakukan itu.
Atau aku tidak menjawabnya karena memang aku tidak ada gambaran apakah aku akan memasak atau tidak hari ini.
Sejujurnya sudah beberapa hari ini aku tidak memasak. Ada persoalan api yang tak mau menyala. Bahkan ketika gas melon telah berhasil aku isi ulang, sebagai sumber energy untuk api bisa kembali menyala. Belakangan niatku hanya berhasil sebatas membuat air panas.
Hanya air panas untuk kopi bersama rebusan daging giling untuk anjing yang tak tahu diri. Serta menghangatkan opor dan rendang instant kemasan yang dikirimkan sebagai hadiah hari raya tahun ini.
Itu tentu tidak masuk dalam kategori memasak.
Sebatang rokok lembab aku ambil dari dalam bungkus rokok yang berserak di lantai. Bungkus rokok yang berjuang keras untuk tetap menjaga sebatang rokok tetap kering. Usahanya berhasil secara citra. Paling tidak rokok itu masih putih mulus tanpa bercak kecoklatan yang akan membuat muak untuk membakarnya.
Namun belum lagi aku menghembuskan asap hisapan pertama dari sebatang rokok yang berhasil diselamatkan oleh sebungkus kertas rokok, pertanyan datang kembali, “Jadi apa kau akan memasak hari ini?”
Pertanyaan itu kembali hadir begitu saja, seenaknya. Pertanyaan yang membuatku tersedak.
Sebuah rice cooker buluk teronggok menganga di depan kulkas penuh stiker. Aku melihatnya dengan seksama. Melihatnya sambil bersandar pada dinding yang tak mampu meredam lengkingan suara perempuan yang datang dari belakang rumah. Menatapnya, hanya enatapnya.
Apakah rice cooker itu yang sedang melempar pertanyaan itu padaku?
Jika dia yang melemparkannya, dia seharusnya sudah tahu jawabannya.
Bukankah itu kebiasaan hari ini, melempar pertanyan yang jawabannya sudah diketahui dan sudah berada dalam genggaman. Bertanya bukan untuk mencari tahu, namun untuk memamerkan apa yang diketahui.
‘Ahh, tidak mungkin rice cooker akan melakukan itu’ pikirku di antara asap yang mengepul dari sebatang rokok kretek lembab. Asap hembusan kedua yang jauh lebih nikmat dari hembusan pertama yang kacau oleh pertanyaan.
Aku masih belum beranjak, menikmati sebatang rokok lembab yang berhasil aku temukan di antara serakan bukus rokok kertas favoritku. Duduk bersandar sambil menyeruput kopi dari sebuah gelas yang belum direbut oleh jamur. Belum direbut dan dikuasai oleh kemalasan dan pengabaian.
Aku belum beranjak, masih memandang ke setiap sudut ruang. Serakan pakaian, beberapa selebaran, kursi, dan benda-benda yang sejujurnya aku tidak paham untuk apa harus disimpan.
“Ini ruang keluarga dimana seharusnya gelak tawa dan cengkrama terjadi. Namun alih-alih menyebutnya sebagai ruang keluarga, ruang ini tak lebih dari ruang kesepian. Jadi biarkan saja barang-barang itu hadir, menguasai, meramaikan. Meramaikan kesepian ruang keluarga yang telah ditinggalkan oleh keluarga yang menghadirkan ruang, sebagai ruang keluarga,” pikirku.
Setengah gelas telah habis, setengah batang dari sebatang kretek lembab itu juga telah jadi abu.
“Baiklah aku akan memasak hari ini,” kataku dalam diri, sebelum beranjak dari posisiku. Berdiri dan melangkah dengan setengah batang rokok lembab dan setengah gelas kopi.
Berjalan menuju dapur.
“Apa yang hendak kau masak hari ini?” Pertanyaan itu datang lagi. Sebuah pertanyaan bawel yang begitu amat teguh mengejar keingin tahuannya.
“Biarkan aku sampai dapur dahulu,” kataku. “Setelah itu akan aku putuskan!”
Mengambil ulekan yang tertelungkup di sebelah korakan, bercak jamur begitu jelas terlihat. Bercak jamur yang tumbuh akibat pengabaian yang berlangsung. Jamur yang terpaksa harus disingkirkan lewat kucuran air yang menetes perlahan.
Ulekan ditengadahkan.
Sebuah wajan yang telah mengering di rak perabotan masih menyisakan jejak kerak pada pantatnya. Sudahlah, itu riwayat, siapa yang bisa menghapusnya?
Yang bisa aku lakukan hanyalah menerimanya. Menerima setiap jejek kerak yang masih melekat, menerimanya sebagai riwayat kisah, riwayat perjalanan.
Aku menghitung amarahku, menghitung dengan seksama. Ya, aku menghitungnya dengan seksama. Bahkan ketika amarah itu telah keriput dan mengering dalam dingin ruang penyimpanan bawah sadar.
Yang begitu dingin. Begitulah dingin mengeringkan.
Aku menghitungnya dengan seksama, mesatikannya dalam bilangan ganjil. Mengikuti nasehat soerang ibu warung yang berkata, “Pedasnya cabai itu nikmat jika berjumlah ganjil!”
Bukankah amarah juga seperti itu? Dihitung dengan seksama dalam hitungan ganjil, dengan keganjilannya.
Aku melempar amarah itu dalam ulekan.
Kemudian menambahkan sejumput kecil asin, hanya sejumput kecil duka, sejumput kecil saja, akan pengalaman duka yang dialami.
Aku harus hati-hati pada asin, asin akan melahirkan potensi emosional dan tentu saja kekentalan darah (yang bisa diukur dalam hipertensi). Aku juga takut rasa asin pengalaman yang berlebih membuat rasanya tidak lagi sesuai dengan keadaan yang terjadi.
Berelebih akan menghadirkan selain emosiaonal akibat kekentalan darah juga kebas di lidah, yang akan membuat kepekaan akan rasa menjadi sirna.
Serangkaian perjalanan waktu dan proses saling belajar, yang seharusnya menjadi ruang tumbuh bersama untuk saling jujur telah diinjak-injak, menjadi bangkai. Diinjak-injak dengan dendam dan pembalasan, lalu kemudian dikemas sedemikian rupa dalam bentuk pembenaran diri.
Aku ingin menghadirkannya, dan harus menghadirkannya.
Secuil terasi, rasa sederhana. Butuh sedikit saja, untuk mengingatkan akan bagaimana rentang proses dan perjalan itu diabaikan dan dirubah begitu saja untuk kemudian dihadirkan dalam bentuk baru (pembenaran). Terasi adalah rasa yang hadir dari serangkaian pengorbanan dalam serangkaian rentang proses perjalanan.
Sebuah limau aku iris. Untuk memastikan, luka itu adalah perih yang harus diingat dan dirasakan.
Dalam ulekan mereka terbaring dan siap untuk dikoyak-koyak.
Ulekan melakukan tugasnya, mengoyak semua yang terbaring dalam kuasanya, mencampurnya, menghaluskannya.
Menjadikan hitungan amarah, asin pengalaman, pengingkaran pengorbanan dan perihnya luka menjadi sebuah kesatuan.
“Jadi apa yang kau masak hari ini?!” Pertanyaan itu masih bertanya.
Api telah aku nyalakan. Wajan dengan kerak di pantat yang tak bisa aku hapus telah aku letakkan di atas nyala api. Sedikit minyak aku tuang dalam wajan.
Pada tunggku satunya, aku coba menyalakan api yang lain. Kletek…mati, kletek…mati, kletek… mati…
Kletek, akhirnya menyala. Sebuah panci dengan air aku letakkan di sana.
Minyak telah mendidih. Potongan kenyataan harus aku iris dan aku lempar dalam wajan.
Potonngan kenyataan. Potongan penuh lemak dan daging tanpa tulang.
Aku mengirisnya, mengirisnya sendiri untuk aku lempar kedalam wajan dengan minyak yang memanas.
Aku memilih irisan kenyataanku, satu irisan aku pikir cukup untuk kebutuhanku hari ini.
Jadi aku lempar dalam wajan dengan minyak panas itu, membiarkan irisan daging kenyataanku mulai gemericik mengeluarkan minyak dan airnya.
Aku menunggu, sambil coba untuk mengumpulkan apa yang telah aku ulek.
Sial air dalam wajan di tungku sebelah telah mendidih, sementara irisan daging masih menunggu waktu.
Aku melempar harapan dalam air mendidih.
Melemparnya dalam air mendidih, sambil coba berusaha memastika harapan masih tetap segar.
Irisan kenyataan, yang terabaikan telah matang, airnya telah menguap. Sementara minyaknya keluar sedemikan rupa.
Itu adalah daging tubuhku.
Ketika aku tak bisa memasak keringatku, lalu apa yang bisa aku masak?
“Jadi sebenarnya, apa yang kau masak hari ini?” Pertanyaan itu muncul lagi.
Aku diam. “Aku sudah coba kembali masak, dan kau masih saja tetap bertanya,” pikirku dalam hati.
Memasak bukan urusan untuk menjawab pertanyaan, memasak soal keinginan untuk memasak, keinginan untuk melakukaknya.
“Jadi, apa yang kau masak hari ini?” Kembali pertanyaan itu muncul.
“Bangsat, aku memasak kesepianku!” kataku menjawab.
“Hari ini aku memasak kesepianku,” jawabku. “Memasak kesepianku!”
Dan, akhirnya aku menjelaskan.
“Kesepian yang seharusnya aku rasakan 7 tahun lalu, namun pada kenyataannya aku ingkari lewat serangkain pelarian penuh omong kosong. Dan dia kembali hari ini!
Serangkaian pengingkaran yang kemudian harus membuatku kembali ke titik nol. Kesepian dan kesendirian 7 tahun lalu yang harus aku maknai, namun aku berpaling dan memilih untuk berlari, enggan menghadapinya!” kataku.
Dan hari ini pada kenyatannya aku sedang memasaknya .
“Aku sedang masak kesepian dan seksendiarianku” jawabku. “Apa kau puas dengan jawabanku?”
Tak kudengar apa-apa.
“Apa kau puas dengan jawabanku?” Aku bertanya balik.
Tak ada jawaban.
“Apa kau puas dengan jawabanku?” teriakku, bertanya menghardik.
Hening, takda jawaban yang hadir.
Dari depan, teriakan perempuan kencang menghardik bocah, anaknya. Di belakang, perdebatan dengan nada tinggi, kian tinggi menggema.
Suara gerinda masih nyaring, menderit. Gonggongan anjing jika keras menyalak. Volume perlu music perlu ku naikkan, untuk menghadapi himpitan.
Dan menikmati masakan yang berhasil aku masak, masakan yang tak akan enak untukmu. Karena ini masakanku, yang akan ku santap, kunikmati untuk menghidupi dan menumbuhkanku.
Irisan luka, dalam bumbu duka, tersajikan dalam baluran saos sepi. Ada bercak hijau harapan, aksen tipis. Dan tentu saja bawang goreng omong kosong.
Itu yang berhasil aku masak, aku hadirkan.
Kenyataan berhasil hidup hadirkan untuk kusantap hari ini.
“Lihat, lihatlah masakanku. Kau mau mencicipinya?”
Tak ada suara yang muncul.
Penanya yang hadir dengan pertanyaan, “Masak apa hari ini?” hilang. Hilang ditelan riuh kenyataan. [T]
13.01.25
Penulis: Lanang Taji
Editor: Adnyana Ole