Identitas Buku
- Judul Buku “Representasi Ideologi dalam Sastra Lekra”, adalah sebuah karya akademik dikerjakan untuk meraih gelar Doktor di Sastra Universitas Udayana, tahun 2014.
- Diterbitkan oleh Penerbit Larasan, Denpasar, 2024, 210 halaman sampai biodata penulis. dengan ISBN 978-602-1586-40-2. Terbagi menjadi 6 bab dari pendahuluan sampai penutup.
- Pengantar diberikan oleh Putu Oka Sukanta (Sastrawan) (Jakarta, 9 September 2023)
- Ditulis oleh I Waan Artika. Biodata: Pengarang lahir di Desa Batungsel, Pupuan Tabanan sebuah desa Bali Aga yang sangat kental dengan tradisi Bali Kuno. Perhatiannya terhadap tradisi dan budaya desanya sangat baik, walau saat menulis Cerpen INCEST pernah mengantarkannya kesepekan selama lima tahun, membuktikan kegigihannya membela rakyat terdominasi dan terpinggirkan. Bukan hanya bentuk tulisan tetapi juga aksi nyata dengan mendirikan Komunitas Desa Belajar Bali, dengan Fokus Gerakan Literasi Akar Rumput (di Desa Batungsel, desa kelahirannya). Ia sangat kreatif, dan berpihak pada rakyat terpinggirkan, apakah ada pengaruh Sastra Lekra yang dikaji di S-3, atau ada pengaruh daerah kelahirannya. Upaya mengerakkan desanya dilakukan dengan gerakan literasi akar rumput, mendapat apresiasi luar biasa baik dari pemerintah maupun masyarakat desanya.
Konsep yang Digunakan
Karya ini menggunakan pendekatan sastra disebut new historiscism yaitu kajian sejarah sastra pembacaannya diparalelkan dengan karya sejarah (karya politik) pada zamannya. Karena mengkaji ideologi representasi ideologi dalam sastra Lekra, tentu juga menggunakan konsep kajian sastra lainnya, seperti konsep ideologi, teori struktural, konsep representasi dan sebagainya. Dikalsifikasikan menggunakan konsep filsafat diuraikan oleh Wayan Artika, dapat dianalisis:
- Aspek Ontologi, (1) menggunakan new historiscism theory dalam sastra yaitu pembentukan manka menggunakan karya sejarah dan teks dan interteks sejarah di dalamnya; (2) Sosiologi Sastra Marxis; (3) interteks (sejarah vs sastra).
- Efistimologinya: (1) kajian paralel berdampingan, (2) interpretasi, reflektif, dan fungsional; (3) relasi karya dan mengkaji fungsi karya bagi ideologional.
- Aksiologi: (1) memahami karya sastra dalam kerangka sejarah melalui teks sejaman. (2) memahami karya sastra dengan mempertimbangkan kekuatan sosial, politik, ideologi dan fungsinya bagi ideologi dan politik. (3) memahami teks berhubungan dengan teks lainnya.
Hasil Pembahasan
Karya I Wayan Artika ini dapat dikatakan dapat menjadi pelita dalam kegelapan dalam memahami sastra dan sejarah sastra dalam kurun 1950-1965, dengan kuatnya dominasi ideologi Orde Baru yang mengatasnamakan Pancasila dan Undang-Undang 1945, dengan memanfaatkan jargon developmentalism. Orde Baru menjadikan PKI dan ideologi Marxisme sebagai hantu di masyarakat. Tujuannya untuk menjaga rust and order rezimnya, sehingga dapat berkuasa selama 32 tahun.
Setelah mengemban SP 11 Maret, Letjen Soeharto membubarkan PKI, dan ormas-ormasnya, termasuk sastra Lekra. Hari-hari selanjutnya pemerintah selalu mengontrol dan mendeskreditkan lawannya dengan memberikan cap PKI, atau antek-antek komunis.
Lekra adalah Front Kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950 di Jakarta. Partai Komunis menjadikan Lekra ini dijadikan alat pengideologian dan propaganda agar masyarakat menjadi sosialis seperti Uni Soviet. Hal ini masih ada pro-kontra. Tetapi menyimak 7 konsepsi Lekra yang didirikan oleh DN. Aidit, MS. Ashar, AS. Dharta, dan Njoto dapat dipahami bahwa Lekra adalah sastra yang menjadi agen komunis atau sosialis yang berorientasi ke komintern Moskow Rusia. Tujuan kerjanya mendirikan Republik Demokrasi Rakyat (komintern, masyarakat tanpa kelas), dengan cara revolusi sosial, menyebut dirinya golongan progresif. Dengan demikian rakyat dikonstruksi menjadi Marxisme menuju sosialisme tanpa kelas. Menuduh saingannya memelihara setan desa atau setan kota, yang menjadi penghalang demokrasi rakyat, sehingga menjadi musuh masyarakat sosialis, sehingga harus diganyang. Media Massa Harian Rakyat yang memberikan peluang Sastra Lekra untuk bertumbuh dan berpengaruh pada zamannya (cf. HB. Jassin).
Setelah Orde Baru runtuh, sastra Lekra hidup kembali dalam kajian ilmiah, Lekra hidup antara tahun 1950-1965 (15 tahun). Muncul karya antologi sastra, karya Yuliantri dan Dahlan (eds.) berjudul “Gugur Merah, Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakyat, 1950-1965”. Selanjutnya disebut “Gugur Merah dan Laporan Dari Bawah, Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakyat, 1950-1965 (Yuliantri dan Dahlan (eds.: 2008c). Ini yang menjadi bahan kajian Disertasi Wayan Artika (2024) di dalam Studi di Sastra Udayana.
Representasi Marxisme dalam Lekra
Kajian ini menyimpulkan bahwa representasi Marxisme dalam Sastra “Gugur Merah dan Laporan dari Bawah”, mengambarkan secara gamblang hubungan sastra dan ideologi di dalam puisi dan cerpen sangat kental, sehingga saya katakan sastra sebagai alat pengideologian pada masyarakat luas.
“Gugur Merah dan Laporan dari Bawah” pada sastra Lekra (Puisi dan Cerpennya) mengusung tema utama:
- Penderitaan massa rakyat pekerja buruh dan buruh tani.
- Kesadaran kolektif dan perjuangan kelas sebagai struktur dasar pada masyarakat
- Sosialisme, masyarakat tanpa kelas.
Pusi-puisi sastra Lekra Marxisme diwujudkan melalui diksi-diksi populer, seperti ideologis, politis, revolusioner. Di luar diksi tersebut mengusung tema penindasan, penderitaan, kemiskinan, ketimpangan sosial, setan desa, tuan tanah rakyat yang terisap sedang berjuang menuju masyarakat sosialis. Kata-kata yang dipilih untuk perlawanan rakyat terhisap adalah kata ganyang, habisi setan desa, dan kota, hancurkan ijon, tengkulak, tuan tanah, revolusi belum selesai dan sebagainya. Kontruksi puisi didasari oleh ideologi Marxsisme dengan dialektika-materialistis, dialetika historis, dengan ontologi sosialis realis (kenyataan patologi sosial di masyarakat) direduksi untuk mengembangkan struktur masyarakat di luar struktur dasar masyarakat yang dikonstruksinya.
Representasi Marxis dalam cerpen dikonstrksi melalui tokoh cerpen rakyat pekerja (buruh, buruh tani, nelayan, rakyat mikin dan sebagainya). Dengan ideologi marxisme dan komunis masyarakat dicuci otknya agar sadar akan kelasnya, lawnnya, dan cara melawannya yaitu dengan gerakan revolusioner. Tujuan revolusi untuk menguasai fakrot produksi, kemudian digunakan untuk mengembangkan masyarakat sosialis.
Antara Sastra Lekra dengan Soekarno ada kesejalanan dalam perjuangan mengisi kemerdekaan, yaitu berjuang melawan imprilaisme, kolonialisme, feodalisme, dalam menuju masyarakat adil dan makmur. DN. Aidit dengan Lekra berjuang melalui santra seperti: puisi, cerpen, nyanyian rakyat, dan membuat simbol-simbol struktural. Sedangkan Soekarno melalui dengan pidato dan tulisannya berjuang untuk mewujudkan cita-cita revolusi Indonesia. Wayan Artika menyebutkan ada hubungan timbal balik antara pidato Soekarno dengan tulisan D.N. Aidit (kajian antarteks), dalam hal spirit, amanat, pesan, dan ideologi.
Dalam kontek ini saya tidak melihat apa yang disampaikan Wayan Artika benar adanya, secara kritis “kekuasaan sebagai dasar berpikir”, Soekarno selalu berusaha merangkul semua komponen (persatuan Indonesia), demi mewujudkan nasionalisme Indonesia, terutama komponen kekuatan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan, ketika itu (Ideologi Pancasila yang digagas); di sisi lain, D.N Aidit, dkk., memanfaatkan pidato-pidato Soekarno yang sesungguhnya berorientasi pada Front Marhaenis, Pancasilais, dan mencari hybridasi dari pertentangan yang ada di masyarakat; tetapi di sisi lain PKI (D.N.Aidit) pandangan Soekarno itu dijadikan terminar untuk menuju sosialisme, dan pidato Soekarno dijadikan alat legitimasi konsep-konsep dan diksinya, dalam mengkonstruk ideologi perjuangan rakyat bawah yang diisi ideologi komunisme, sosialisme, dengan oriantasi Komintern (Komunis Internasional) Uni Soviet. Jadi spiritnya berbeda, ideologinya berbeda, amanat, dan pesannyapun berbeda. Secara tektual, sepertinya sastra menyamakannya, tetapi sejarah intelektual (kajian mental dan ideologi), sangat berbeda maknanya (verstehen).
Tujuan dan cita-citanya berbeda, sehingga aksi dan reaksinya pun berbeda, leh karena itu, karena tujuannya Komintern, sangat berbeda dengan tujuan nasionalisme yang realitas sosialnya sangat berbhinekha (Bhineka Tunggal Ikha), dalam konsisi rial bangsa Indonesia, agama bervariasi, pulau, ekonomi, politik, sosial, budaya sangat beragam. Menjadikan masyarakat sosialis, kecuali dengan revolusi berdarah, bahkan ada pemusnahan etnik tidak mungkin bagi bangsa Indonesia. Karena bukan hanya melihat indikator kemerataan ekonomi (menguasai faktor produksi) dapat disebut masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sastra berupa puisi, cerpen, nyanyian rakyat, dan bentuk sastra lainnya seperti Derama, Nyanyian, karya ilmiah, dan produk budaya lainnya sangat berguna untuk memahami (verstehen) dalam penulisan sejarah. Namun sejarah bukanlah sastra, sejarah bukan teori, sejarah bukan filsafat, dan sejarah bukan hanya juga ideologi dengan demikian produk sastra seperti sastra Lekra (Puisi atau Cerpen) sangat berguna untuk menuliskan sejarah budaya, karena untuk memahami hakikat manusia berbudaya dapat dikaji melalui karya sastranya.
Representasi Marxisme dalam Sastra Lekra, sesunguhnya dapat digunakan untuk memberikan pemahaman sangat baik, karena banyak berupa karya sosialis realis (ada adanya di masyarakat), terutama dalam memahami struktur dasar masyarakatnya. Kaitkan dengan Komintern, sosialisme, dan dialektik materialnya. Sedangkan dialektik materailis historis, berbentuk filsafat dialektika, tidak semuanya dapat dijadikan pemahaman masyarakat seutuhnya. Karena sujatinya pilihan diksi dan patologi sosial di masyarakat, dengan tujuan perjuangan menuju masyarakat sosialis, menjadi bagian dari Komintern.
Sebagai seorang pengemban pengembangan nasionalisme di Indonesia, sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945, Pasal-pasal dan Penjelasannya, maka Ideologi Komunis, termasuk sastra Lekra, sebaiknya dijadikan bagian dari pemahaman sejarah sastra yang anti nasionalisme. Dan menjadi dialektika Nasionalisme vs Internasionalisme. Dan jika komintern diberikan berkembang dan cita-citanya terwujud, maka NKRI, Nasionalisme, dan sejarah perjuagan bangsa Indonesia untuk mewujudkan apa yang terkandung dalam pembukaan menjadi “mati secara teori”. Sebuah ideologi karena berupa a set of velue mengatur seluruh tindakan manusia untuk mewujudkannya secara bersama-sama maka Ideologi Komunis, termasuk lembaga/ Lekra yang mengideologikan Marxisme menjadi lawan nasionalisme.
Dalam sebuah ideologi karena mengatur seluruh aspek kehidupan, sosial, ekonomi, politik, moral dan ketatnegaraan, maka jika ada ideologi yang walalupun memiliki beberapa aspek kesamaan dalam fakta sosialnya, tetapi tujuan akhirnya berbeda, sehingga selalu akan menjadi rival saling mematikan, dengan demikian sangat merugikan bagi ideologi nasionalisme berdasarkan Pancasila yang menjadi dasar pengembangan karakter dan kepribadian warga negaranya. Kita harus dapat membedakan ideologi marxisme dengan cara berpikir dealekti (tesa-antitesa-sintesa) memang sangat dibutuhkan dalam mengembangkan masyarakat berkesadaran kritis, terkasuk cara berpkir dealitika ini digunakan dalam kegiatan ilmiah.
Epilog : Komentar
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu sampai saat ini masih menyisakan berbagai perbedaan tapsir, dengan adanya berbagai bukti dan rekayasa yang dapat mengaburkan peristiwa sejarah, sehingga tkasirnya menjadi beragam. Wacana sejarah memang sebuah konstruksi dengan menggunakan fakta yang dibangun menggunakan bukti yang ada. Tetapi penulisan sejarah perjuangan bangsa Indonesia adalah memiliki subjektivitas dengan tujuan untuk menguatkan nasionalisme Indonesia. Jika sebuah cerita melunturkan nasionalisme, walau dapat dibuktikan dengan sumber setara, kalau hal itu idak fungsional untuk menguatkan rasa nasionalisme Indonesia, sekarang maupun di masa depan, tidak dijadikan alternatif utama dalam arus cerita sejarah itu. Oleh karena subjektivitas tidak dapat dihindari dalam penulisan sejarah, subjektivitas demi kepentingan nasional sudah disadari oleh masyarakat sejarawan akademik dunia. Dalam konteks sejarah G30S 1965, dihilangkan PKI-nya dengan memandang peristiwa itu adalah peristiwa “persaingan di Angkatan Darat sendiri”, atau keterlibatan CIA dan Inggris, dan sebagainya.
Secara kritis dapat dipahami bahwa intrik di tubuh AD terjadi diakibatkan oleh adanya persaingan personal AD yang berideologi komunis dengan yang nasionalis, dan agamais (Nasakom) yang dilegitimasi oleh Presiden Soekarno yang mengakibatkan munculnya intrik di Angkatan Darat itu. PKI sebagai partai berideologi komunis, ikut menjadi dalang, pendukung, dan bermain dalam silang ideologi itu, terutama antara AD yang berideologi nasionalis (A. Yani, dkk), dengan ideologi komunis (Untung, Dkk.).
Jadi keterlibatan secara masif komunis dalam mengideologikan masyarakat, dapat dipahami dari pendirian Lekra 17 Agustus 1950, yang kemudian menjadi sarana efektif untuk memecah kesatuan masyarakat dengan ideologi dialektikanya, membuat masyarakat terpecah secara struktural, menjadi (1) struktur dasar revolusioner, yaitu buruh, buruh tani, nelayan dan kelompok rentan (miskin), (2) dipertentangkan dengan golongan feodal, tuang tanah, rentenir dan sebagainya. Untuk itu pilihan melalui budaya dipandang sangat efektif sehingga muncul karya sastra Lekra yang sarat dengan perpecahan struktural masyarakat, dimuat dalam bentuk puisi, cerpen, drama, nyanyian, dan karya ilmiah (D.N. Aidit, dkk.) yang diendors oleh Koran Harian Rakyat hasil-hasil karya sastra yang berideologi komunis (Marxisme).
Karya sastra Lekra ini kemudian dibuatkan Antologi sastra Lekra, disebut Gerakan Merah dan Laporan dari Bawah yang kemudian dijadikan kajian akademis untuk menempuh S-3 di Sastra Unud oleh Dr. I Wayan Artika. Menjadi buku sangat menarik setelah 32 tahun selama pemerintahan Orde Baru Lekra dibungkam, baik karya sastra maupun sastrawannya.
Saya sendiri memilih penulisan sejarah yang dapat menguatkan nasionalisme, dan justru secara filosopis memang harus melawan ideologi komunis/marxisme yang berusaha mengembangkan ideologi internasionalisme (Komintern) di Indonesia yang secara historis itu adalah rongrongan ideologi nasionalis (yang berkeribadian Pancasilais) dengan penerjemahan pokok-pokoknya ada dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai kaidah fundamental bangsa Indonesia, negara proklamasi 17 Agustus 1945. UUD 1945 setelah diamandeman ada beberapa segmen diubah untuk disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, dalam beberapa bagiannya dibuat mengikuti perkebangan jaman, asal sejarahnya dapat dijelaskan itu adalah sebuah perubahan dialami, karena perubahan yang kekal di masyarakat.
Demikian maka ada usaha untuk menghidupkan kembali sastra Lekra secara ideologis, perlu diwaspadai agar harmoni sosial tidak terganggu, atau justru akan mengakibatkan munculnya “luka baru di atas luka lama”, dan akan berakibat dalam jangka panjang bagi pertumbuhan ideologi nasionalisme, mengingat perjuangan ideologis tidak pernah berakhir, baik di negara komunis, libralis, pancasilais, islamis, dan ideologi apapun dianut oleh sebuah komunitas di muka bumi ini.
Jika terus masyarakat dipertontonkan dengan perbedaan tajam diakibatkan karena unsur politis (strukturalis), maka akan muncul golongan meilitansi buta, menganggap semua “penyakit masyarakat/patologi sosial itu, diakibatkan oleh ideologi non sosialis”, jika demikian bagaimana halnya pada negara sosialis sampai saat ini, mengapa kemiskinan, kelaparan, kebodohan, dan homeless masih ada, dan masih terjadi. Jika benar ideologi sosialis itu dapat mengentaskan patologi sosial, seharusnya kondisi di negara sosialis menunjukkan diri lebih baik dari negara libralis. Nyatanya banyak negara komonis menjadi “seolah-olah komunis, tetapi prilakunya libralis, atau newlib (libralisme gaya baru, seperti RRC hari ini, dan sebaliknya apa yang terjadi di Coombia muncul diktator partai komunis.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perlu pembuktian dan penjelasan rinci mengenai sosialisme sebagai ideologi:
Pertama, bagaimana tahapan proses yang dilakukan oleh pemerintah yang mengalihkan ideologi dari ideologi pancasila, libalis, agamais ke ideologi sosialis atau marxis. Sehingga ideologi komunis dapat dipandang sebuah otopis, bukan realis menjadi realitas sosial mengantar masyarakat menjadi lebih cepat maju dan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Kedua bagaimana posisi pemimpin partai (Politbiro) awal revolusi, dalam revolusi, dan akhir revolusi yang dilakukan oleh gerakan revolusioner.
Ketiga, bagaimana ketua Partai Komunis menerjemahkan demokrasi rakyat, agar golongan patologi sosial itu memiliki ruang suara, eksistensi, dan ases keadilan lainnya di masyarakat.
Keempat, bagaimana bentuk kemungkinan bentuk sastra Lekra dapat hidup, seperti zaman Orde Lama di bawah naungan NASAKOM? Sehingga kita paham terhadap perubahan masyarakat dari demokrasi Pancasila yang mengikuti sikontol (Desa-Kala-Patra /Genah,masa, kewentenan), seperti yang berlaku di Indonesia sejak Orla-Orba-sampai era orde Jokowi dan Probowo ini? Menjadi tugas bersama untuk memikirkannya secara akademik.
Politbiro Komunis secara teori hegemoni kelompok ketua partai yang mengatasnamakan rakyat sosialis (demokrasi rakyat), masyarakat tanpa kelas biasanya lebih kejam dari individu (presiden) yang mengatasnamakan rakyatnya. Karena masih ada personal yang bertanggung jawab, berbeda dengan kelompok pimpinan partai yang melemparkan tanggungjawab pada melembaga partai dan negara sosialis.
Jadi saya simpulkan di negara nasionalis seperti Indonesia, revolusioner mengatasnamakan struktur dasar (buruh, buruh tani, nelayan, miskin, bodoh, dll) sebagai dasar bergerak dalam revolusi sangat rentan dengan kekerasan berdarah. Apapu alasannya jika permasalahan harus diselesaikan dengan memaksa kelompok lain, itu adalah ademokratis, anasionalis, ahumanitis, dan dapat disebut sangat biadab kalau dilihat dari nilai-nilai Pancasila. Bahkan Pancasila merupakan jalan tengah terbaik dalam mengatasi konflik yang ada pada masyarakat sejak ditetapkan hingga waktu yang akan datang.
Masalah Partai Komunis Indonesia mereduksi patologi sosial dalam perjuangannya secara kritis itu sangat mulia, karena belum pernah berkuasa dapat dikatakan tidak memiliki nilai sejarah untuk membuktikan ideologi komunis itu berlaku di Indonesia. Perjuangan untuk membela dan empati dan empowering terhadap kelompok terpinggirkan mutlak harus dilakukan, tetapi bukan hanya dan harus dengan jalan revolusioner , karena itu tidak demokratis dan tidak beradab. Butuh penjelasan dan uraian panjang untuk menjelaskan proses dan tahapan setelah komonis berkuasa dalam menuju masyarakat sosialis atau menuju masyarakat tanpa kelas sebagaimana yang dipropagandakan. [T]
Penulis: Prof. Dr. I Made Pageh
Editor: Adnyana Ole