18 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Demokrasi dan Tantularisme

I Wayan WestabyI Wayan Westa
January 29, 2025
inEsai
“Tajen”: Dari I Pudak, Marakata, hingga Geertz

I Wayan Westa

// Tantular, dialah sesungguhnya Bapak Pluralisme dari zaman Majapahit yang melahirkan kata tua Nusantara, menggoreskan sesanti perajut keragaman: bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa//

SUATU hari, di sebuah jejaring sosial saya menemukan sebuah pamflet “nirmaya”, ajakan untuk satu “perjuangan” yang monolitik, yang amat keras untuk menyatakan perang pada pluralisme. Seakan-akan pluralisme itu barang haram. Saya tidak terkejut di sebuah negara yang menganut paham demokrasi, ini pastilah suara yang sah-sah saja.

Namun bukankah senyatanya asas dasar persatuan  Nusantara itu dibangun  dalam  semangat pluralisme. Dan peradaban kita juga dirajut   dari  geo-kultur   begitu  beragam. Mosaik dengan warna-warni memesona. Nusantara dibangun dari  ratusan suku, ratusan bahasa daerah, puluhan keyakinan “animisme Nusantara’, yang sampai kini tetap hidup, dengan kekhasan adat yang unik. Satu indigenous yang kelak kemudian  menjadi gen  peradaban Nusantara.

Masih terang kita ingat, kejadian  di Balinuraga, Lampung , perusakan rumah ibadah di Jogjakarta, perusakan Pura di kaki Gunung Rinjani, hingga rasisme yang membuat darah mendidih. Korban pun berjatuhan, dan negara kerap terlambat hadir. Rasa takut  entah dilindungi  oleh siapa?   Rasa aman entah didapat dari mana?

Ini pertanyaan besar yang mesti segera dicarikan solusi.  Karena di situ,  rasa “kekitaan”  telah apus, tanpa sadar  kita menyandarkan  diri pada doktrin-doktrin kaku,  tidak lentur menghadapi perubahan zaman, menjadi pengalang bagi nyala jiwa. Kita tidak sadar bahwa akar dari peradaban yang  terus betumbuh adalah pluralisme yang hidup. Di situ, dalam keanekaragaman kultur  lahir semangat untuk merawat, merangkul semua, sebagai bagian hidup bersama. Semangat untuk menegakkan, memuliakan ayat-ayat kemanusian. Dan jadilah Nusantara sebagai langit bersama di mana semua keyakinan, seluruh identitas kultural  dan agama  menjadi anyaman mosaik daya budi kebangsaan nan megah.

Apa yang kita perlu pelajari kemudian  dari Bali? Bali adalah persemaian pluralisme yang mesti kita rawat terus-menerus, karena  denyut sejati Nusantara kecil itu cuma bisa dirasakan di pulau mungil ini. Di sini segala ras, suku, agama bisa hidup berdampingan. Kelenturan serta sifat adaptif kebudayaannya memungkinkan Bali melakukan semua itu. Kendati setelah dua kali dentuman bom, orang Bali terpaksa “diajari” curiga pada pendatang.  Slogan perlawanan  dengan motto “ajeg Bali” pun muncul, bak lagu “hit”  melambung popular, di mana akhirnya redup dalam hiruk-pikuk pesta, upacara, lingkungan yang rusak,  deraan korban HIV AIDS, korupsi, kemiskinan, serta kian langkanya lapangan kerja di Bali.

Tentang toleransi, kerukunan, penghormatan pada mereka yang berbeda  bukanlah sesuatu yang dilakoni setengah hati orang Bali. Ungkapan “manusa pada”, yang dimaknai sebagai manusia sebumi memberi rujukan penting tentang arus utama cita-cita orang Bali. Cakrawala ini melampaui pandangan sempit tentang “penjara-penjara” ras, agama, dan suku dan ego kultural lainnya. Simak jua madah-madah pujian yang dilantunkan para pendeta saat memuja surya saban pagi, bukankah mereka mendoa untuk kerahayuan tiga dunia; bumi-langit-akasa.

Melihat Bali  lebih intim, segara tergambar di benak,  bahwa dalam spirit itu orang Bali memandang yang  berbeda itu sebagai “nyama” bertemali doa-doa yang dilantunkan saban hari itu. Kata “nyama” bukanlah ungkapan bersayap,  sekadar tata krama, alih-alih  basa-basi semata. Kendati belakangan diakui, kosa kata ini dinodai pikiran teramat  kumal, anti kerukunan, anti kebhinekaan. Dan jujur Bali juga tak kurang gelap dirajam tragedi kemanusian yang  kerap amat akut  ̶  mulai dari konflik raja-raja setelah  monarki Gelgel melemah hingga tragedi tahun 1965.

Namun ada yang tak pernah  padam di Bali,  ia tak membiarkan dirinya menjadi paria dengan cara menolak perbedaan, tentu. Pulau ini sudah sejak zaman silam menjadi rumah para penjunjung nilai kemanusiaan. Di sebuah dusun kecil, Budakeling, desa yang terletak di ujung timur Kabupaten Karangasem, orang bisa mencatat banyak hal tentang semangat ke-Nusantara-an.

Di situ terperlihara semangat yang tidak dibalut  kepentingan  suku, ras, dan agama. Bahkan ada cerita paska Gunung Agung meletus, para brahmin di Budakeling ikut menyokong pembangunan rumah ibadah saudara Muslim yang rusak.

Namun dalam perjalanan sejarah, monoteisme bolehlah dituduh  sebagai pandangan yang  merengut banyak korban. Bagaimana tidak, agama formal misalnya;  turut menscrening agama-agama asli Nusantara untuk “dimodernkan”  dengan agama yang lebih realistik, monoteistik,  di mana negara berperan besar meregulasi jadi serba seragam.

Meski diingat bahwa spirit Nusantara yang dibangun raja-raja Majapahit, yang menghasilkan sinkritisme Siwa-Buddha, begitu juga Nusantara yang dibangun raja-raja Islam Mataram tidaklah atas dasar agama. Sebagaimana Nusantara kecil yang masih hidup kini di Bali, ia tidak dibangun atas landasan agama. Nusantara itu sebagaimana disaksikan kini di Bali dibangun dari spirit geo-historis, geo-kultural dengan pengutamaan menghormati manusia sebumi, “manusa pada.” Ini adalah ajaran yang dialirkan para leluhur.

Inilah demokrasi ala Bali, demokrasi yang tak cuma menuntut hak, demokrasi di mana semua orang merasa dihargai sekaligus  didudukan setara. Demokrasi di mana setiap person dihargai sama rata. Praktik real ini bisa kita simak dalam paruman  atau rapat-rapat desa, di mana keputusan ditentukan dari yang terbaik, bukan karena kepentingan penguasa, atau perorangan. Demokrasi ala Bali sesungguhnya demokrasi yang bertujuan menemukan kebenaran tertinggi, kebenaran yang bisa memayungi kepentingan sumua orang, karena di situ tidak ada kepentingan pribadi yang dipolitisi, lalu memaksakan  kebenaran pribadi untuk orang banyak. Lalu muncul demokrasi kepentingan, yang pada akhirnya melahirkan dehumanisasi, penghilangan harkat manusia.

Betapa inti dari demokrasi, bila meminjam kata-kata Nehru, mantan Perdana Mentri India, dalam buku bertajuk, The Legacy Of Nehru (1984); “Demokrasi menyangkut kesamaan kesempatan bagi semua orang, seluas-luasnya, dalam hal penguasaan politik dan ekonomi. Ini juga menyangkut kebebasan perorangan untuk tumbuh dan menjadi yang terbaik menurut kecakapan dan kemampuannya.

Demokrasi melibatkan suatu toleransi terhadap orang lain, dan bahkan terhadap pendapat orang lain apabila mereka berbeda dengan Anda. Demokrasi mencakup suatu pencarian intensif untuk kebenaran tertinggi serta harkat menghargai, memuliakan insan hidup semesta.

Kembali pada pluralisme Nusantara yang sudah dijarit sedemikan indah menjadi mosaik dan pandangan hidup bangsa, kita kemudian teringat Mpu Tantular, dialah sesungguhnya Bapak Pluralisme dari jaman lampau, dari zaman Majapahit yang melahirkan kata tua Nusantara.

Tantularisme menjadi penting kita gemakan kini. Darinyalah pendiri republik ini menggali ungkapan  untuk keragaman bangsa:  bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Tapi perlu dicatat, lebih dari sepuluh tahun Mpu Tantular memikirkan ramuan kalimat ajaib ini. Dari karya pertamanya yang sempat kita baca, Kakawin Arjuna Wijaya, ia baru menemukan formulasi; kalih sameka [ dua itu sama]. Kutipan lengkapnya  tertulis begini:

Ndan kantênanya haji tan hana bheda sang hyang/ hyang Buddha rakwa kalawan Śiwarājadewa/ kālih samêka sira sang pinakeșți dharma/ ring dharma sīma tuwi yan lêpas adwitiya/ [27.2]

Intinya tidak ada perbedaan di antara beliau/ Sang Hyang Buddha dengan Sang Hyang Siwarajadewa/ keduanya sama, itu yang menjadi tujuan dharma/ baik dalam dharma sima maupun dharma lepas, tidak ada bedanya.//

Tapi sepuluh tahun kemudian, saat  pujangga ini menulis Kakawin Sutasoma, Mpu Tantular menyempurnakan kembali hakikat yang berbeda itu, karena pada intinya yang tunggal itu berasal dari yang banyak, dan yang banyak berasal dari yang tunggal, maka tunggallah itu semua.

Begini Mpu Tantular menuliskan:

hyang  Buddha tan pahi lawan Śiwarājadewa// rwâneka dhatu winuwus wara Buddhawiśwa/ bhinêka rakwa ring apan kêna parwanôsen/ mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal/ bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa//

Hyang Buddha itu tak berbeda dengan Śiwarājadewa// Sejatinya dua perwujudan beliau  Buddha dan Siwa/ berbeda konon, tapi kapan dapat dibagi dua/ demikianlah hakikat Buddha dan Siwa, tunggal adanya/ berbeda itu tunggal, tidak ada kebenaran mendua//

Demokrasi Pancasila, demokrasi yang berdasarkan sila-sila Pancasila yang dilihat sebagai suatu keseluruhan yang utuh, boleh jadi diinspirasi oleh semangat egaliterisme dan humanisme modern, namun semangat pluralisme itu sendiri telahir dari  semangat sinkritisme Mpu Tantular, dari satu zaman gemilang bernama : Majapahit, hingga di satu titik  sang pujangga mengingatkan dengan amat sangat; panca sila ya gégén den teki hawya lupa. Pancasila itu patut dipegang teguh, jangan sampai dilupakan.

Tantularisme adalah gen kecerdasan kognisi bangsa ini, cahaya ilmu pemersatu bangsa. Ia tidak mengikat, tapi memayungi seluruh entitas bangsa dalam keragaman yang hidup, dalam jaritan nilai, semangat saling memuliakan, di jalan tunggal zat maha agung, Ketuhanan Yang Maha Esa. [T]

Penulis: I Wayan Westa
Editor: Adnyana Ole

Sastra Bali dan Kebangkitan Daya Budi
“Tajen”: Dari I Pudak, Marakata, hingga Geertz
Kumbhakarņa Tattwa
Tags: demokrasiMpu Tantularsastra
Previous Post

Seni Menjawab Pertanyaan Kapan Nikah Ala Imlek

Next Post

Tirtayatra Toska Se-Delod Ceking : Pura Taman Mumbul dan Pura Ratu Ayu Dalem Mumbul

I Wayan Westa

I Wayan Westa

Penulis dan pekerja kebudayaan

Next Post
Tirtayatra Toska Se-Delod Ceking : Pura Taman Mumbul dan Pura Ratu Ayu Dalem Mumbul

Tirtayatra Toska Se-Delod Ceking : Pura Taman Mumbul dan Pura Ratu Ayu Dalem Mumbul

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tali Pusat, Gudangnya Misteri Sekala dan Niskala — Mulai dari Penangkal Ilmu Gaib dan Sumber Sel Punca Secara Medis

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 18, 2025
0
Tali Pusat, Gudangnya Misteri Sekala dan Niskala — Mulai dari Penangkal Ilmu Gaib dan Sumber Sel Punca Secara Medis

Oleh: dr. Putu Sukedana, S.Ked., AIFO-K., FISQua; Dr. I Putu Mardika, S.Pd., M.Si WAJAH saya serius saat saya mendengarkan materi...

Read more

Diet, Hal Sederhana yang Dibuat Ribet

by Gede Eka Subiarta
June 18, 2025
0
Selamat Galungan, Selamat Makan Lawar! — Ingat Atur Gaya Makan Agar Tetap Sehat

HIDUP sehat itu bisa dijalankan dengan pola makan yang bagus dan teratur, baik itu porsi makan, jam makan, dan jenis...

Read more

Yang Kecil, Yang Tak Selesai Dirasakan

by Emi Suy
June 18, 2025
0
Yang Kecil, Yang Tak Selesai Dirasakan

Di dunia yang riuh oleh teriakan, ambisi besar, dan citra-citra agung, kita sering kali lupa bahwa sesuatu yang kecil bisa...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Piagam Gumi Delod Ceking untuk Pariwisata Berkelanjutan 

Piagam Gumi Delod Ceking untuk Pariwisata Berkelanjutan

June 16, 2025
Pesta Perilisan Buku “(Se-)Putar Musik” dari Beatriff: Ruang Produksi Pengetahuan yang Lebih Inklusif

Pesta Perilisan Buku “(Se-)Putar Musik” dari Beatriff: Ruang Produksi Pengetahuan yang Lebih Inklusif

June 15, 2025
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Jika Desa Tak Ditulis, Siapa yang Akan Mengingat? — Catatan Workshop Menulis Cerita Desa di Tejakula Community Center
Khas

Jika Desa Tak Ditulis, Siapa yang Akan Mengingat? — Catatan Workshop Menulis Cerita Desa di Tejakula Community Center

DI ruang kelas LPK Hishou Tejakula, seorang remaja berdiri dengan seulas senyum, Gede Bayu Pratama, siswa kelas 7 dari SMPN...

by Komang Puja Savitri
June 18, 2025
Bicara-bicara Atas Nama Air di Desa Panji Buleleng
Khas

Bicara-bicara Atas Nama Air di Desa Panji Buleleng

MENJAGA hutan desa, tidak cukup dengan hanya berkoar—atau mengajak sesama mari menjaga hutan dan air; untuk hidup yang sedang berlangsung,...

by Sonhaji Abdullah
June 17, 2025
Tidak Ada Petruk dalam Drama Gong Lawas Banyuning Singaraja di Pesta Kesenian Bali 2025
Khas

Tidak Ada Petruk dalam Drama Gong Lawas Banyuning Singaraja di Pesta Kesenian Bali 2025

TIDAK ada Petruk dalam Drama Gong Banyuning, Singaraja, yang bakal pentas di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025. Tentu saja. Yang...

by Komang Puja Savitri
June 16, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Teman Sepanjang Perjalanan | Cerpen Putu Gede Pradipta

Teman Sepanjang Perjalanan | Cerpen Putu Gede Pradipta

June 15, 2025
Sajak-Sajak Angga Wijaya | Radio Tidak Kumatikan

Sajak-Sajak Angga Wijaya | Radio Tidak Kumatikan

June 15, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [19]: Mandi Kembang Malam Selasa Kliwon

June 12, 2025
Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

June 7, 2025
Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

June 7, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co