KETIKA alam diposisikan sebagai wilayah taklukan, maka saat itu hubungan manusia dengan alam menjadi canggung, berjarak. Sebaliknya, manusia yang hidup dalam suasana agraris selalu dekat dengan alam, hidup dan menghidupi. Dalam istilah Jawa Kuno disebutkan, “Aku (alam) ada sebelum engkau dan aku ada sampai engkau tiada.
Dibanding dengan negara-negara Eropa dan Amerika, penduduk Asia memiliki kedekatan, pengetahuan alam dan kesadaran mitologis. Hal ini dimungkinkan karena kondisi alam dan musim yang berbeda. Manusia Asia (agraris) dengan keberlimpahannya membentuk budaya dan perjuangan bersekutu dengan alam. Manusia mendekat dengan alam, karena adanya rasa saling ketergantungan dan terpenting untuk mewariskan ke anak-cucu.
Dalam antropologi disebutkan, manusia adalah makhluk sosial yang tumbuh subur dalam komunitas bersama alam. Namun dalam perjalanannya, atas keserakahan manusia dipenuhi dengan kesombongan dan kebodohan. Kesombongan ini membuatnya melakukan hal-hal tercela dan bodoh yang merugikan dirinya sendiri. Manusia kini terus menerus mewariskan kerusakan pada alam yang nyata. Pada awalnya, manusia dengan cita-cita konservatif yang sesungguhnya kapitalistik berwacana mewujudkan martabat, kerendahan hati dan kebijaksanaan terhadap alam. Faktanya kita bisa lihat sendiri. Justru yang terjadi, penghinaan dan pengkhianatan terhadap kodrati alam. Contoh nyata tentang hal ini adalah gagasan dibuatnya Kawasan Pusat Kebudayaan Bali (PKB).
Jauh sebelumnya, pasca meletus Gunung Agung Tahun 1963, jutaan meter kubik pasir terhampar di DAS Sungai Unda. Mulai tahun 1969 (pembangunan Bandara dan kawasan BTDC) lahan ini diekploitasi habis-habisan. Tidak kurang 6 juta meter kubik pasir kerikil batu diangkut ke kota-kota yang terbangun. Sampai pada Tahun 2010-an kondisi ini masih terjadi dan akhirnya Pemerintah menghentikan paksa segala bentuk penambangan Galian C. Dimana kondisi hamparan sudah berada di bawah permukaan laut. Secara ekonomis memberikan dampak yang luar biasa, namun dampak yang ditinggalkan juga luar biasa. Kini, atas dasar pembangunan kebudayaan, lahan tersebut kembali diurug. Persoalannya, bukit-bukit di sekitar kawasan Galian C menjadi korban dan compang-camping.
Cerita lainnya lagi pada Kawasan Canggu – Tanah Lot. Lalu lalang manusia semakin tinggi. Faktanya, secara nyata kemacetan lalulintas terjadi atas keterdesakan rasa ruang. Ruang-ruang yang sebelumnya jinak, ideal bagi masyarakat yang bermukim di sana, kini mulai terdesak habis-habisan. Yang bahkan untuk melaksanakan kegiatan ritual, upacara keagamaan, kini harus berhadapan dengan keterdesakan rasa ruang itu. Ketersesakan rasa ruang ini di awali oleh kapitalistik (gelimang dollar) yang terus digaungkan atas nama PAD. Tak dinyana, gelimang dolar itu juga menyiksa dan menyakitkan.
Rasa ruang yang dulunya sejuk, indah dan bersahabat dengan penduduk wilayah sepanjang Canggu – Tanah Lot kini mulai terpinggirkan. Ekploitasi terhadap alam yang tidak terkendali ini, kini mewariskan keterdesakan atas ruang hunian yang tidak mampu dibeli dengan gelimang dolar. Kalimat yang sering terdengar adalah, “Jangan lewat sana, macet.” Yang kini, seorang Direktur Utama yang tinggal di kawasan sepanjang jalan tersebut harus menurunkan egonya dari naik mobil mewah ke sepeda motor, demi waktu yang terbuang. Rasa ruang ini hilang, karena daya tampung antara manusia dengan alam sudah tidak memadai. Yang kemudian dari hunian (hotel-villa) membuat rasa ruang mini, seolah-olah bersahabat dengan alam. Namun begitu ke luar dari huniannya, mereka kembali tersiksa. Bahwa rasa ruang dalam hunian sesungguhnya palsu, sesaat.
Kembali ke akar komunalisasi manusia, kini seakan di asingkan dengan alam. Akar krisis ekologi (pemahaman) kita keliru; terutama karena berkaitan dengan penafsirannya dalam bencana ekologi kita. Manusia, dalam kesombongannya yang telanjang-angkuh, dan nafsu untuk mengendalikan segalanya, berpaling kepada ciptaan dan merusak kuasa alam yang diamanatkan.
Tendensiusnya, lalu dibuat seolah-olah dekat dengan alam dengan mencuri istilah lama, berhubungan dengan alam dengan upakara-ritual. Hubungan dengan alam diganti menjadi paduan suara pujian, seremonial di laut, gunung dan danau. Namun alam tidak segera pulih. Gandhi pernah berkata, “Memperbaiki kerusakan bukan dengan duduk di depan altar suci, namun mengambil cangkul, melubangi, menanam dan merawat.”
Tanpa disadari, secara sengaja tindakan telah merendahkan hati kita di hadapan kosmos. Keindahan diciptakan dengan mengorbankan keindahan lain adalah kesia-siaan. Alam sendiri sesungguhnya manusia untuk menjalin hubungan dengannya, bukan untuk terpisah. Bersama alam kita diajak mendengarkan dan mengamati keajaiban sehingga kerumitan terpecahkan bersama alam. Pun, satwa liar karena penuh tarian dan nyanyiannya sangat menyenangkan.
Sederhananya, hidup di alam membutuhkan keterikatan, akar budaya dan ketertiban, hanya saja semua dihancurkan oleh dunia konsumsi dan pergerakan modern kita. Berhadapan (menyatu) dengan alam Itu membutuhkan disiplin, etos kerja, dan kerja sama dengan tanah yang menyediakan kehidupan. Alam bukan saja menyediakan sumber pangan, namun yang terpenting adalah nafas yang sehat. Kini kita merampas kuasa alam, sehingga nafas kita ikut tersesak. Alam membantu menumbuhkan semangat kekeluargaan dan komunitas, karena tidak ada seorang pun yang dapat bertahan hidup sendiri tanpa keluarga atau tetangganya tanpa menghadirkan alam. Pendiri Amerika, Thomas Jefferson mewacanakan manusia dengan , melatih manusia kemandirian, kebajikan, dan prestasi komunal.
Gerakan-gerakan pemuliaan lingkungan mengklaim dirinya sebagai pembela kekayaan alam, nampaknya belum berhasil (gagal) meyakinkan penguasa. Manusia (kekuasaan) sendiri selalu hadir mendominasi dan berusaha memuaskan ego manusia yang sombong dan akhirnya terpuruk. Sekali pun, jawabannya adalah mendekatkan diri dengan Kuasa Alam dengan berbagai ritualnya, namun tanpa didahului dengan kesadaran dan pengekangan libido dominandi sesuatu yang agung, indah yang kita wariskan menjadi benda yang rapuh. Tentu anak cucu kita hanya akan mewarisi ceritanya saja, tanpa bisa kembali ke awal di masa-masa keindahan itu. Pada akhirnya, kenikmatan atas karunia Tuhan pada Bumi menjadi kering, hanya ada rasa sesal tidak berkesudahan. [T]