DENGAN motor Supra, Wayan Pasek Soar Adnyana jajakan 70 botol tuak manis dingin setiap hari. Tuak itu diambil dari pohon aren. Di dalam box kecil di belakang motornya, selain tuak manis, pula ia menjajakan rujak timun dingin dengan jumlah 50 porsi.
Lelaki itu berasal dari Desa Silangjana, Kecamatan Sukasada, Buleleng-Bali. Dengan jalanan cukup berkelok, ia mengendarai motornya ke Desa Sudaji, Kecamatan Sawan, dan mangkal di sana dengan menjerit “Tuak Manis. Tuak Maniiis…”
Sudah lima tahunan ia mangkal di sana, dan terkadang keliling di sekitar Desa Suwug, masih dekat Sudaji. Karena sudah banyak langganan, seringkali ia hanya cukup mangkal di depan Kantor Desa Sudaji setiap pagi menjelang siang, sampai sore. Orang-orang bisa datang bergiliran membeli.
Ada pengalaman yang menarik di tahun 2021, katanya. Tahun itu adalah hari ia ketiban rezeki nomplok walaupun sedang paceklik-pacekliknya Covid-19. Sekitar 400 botol tuak manis dipesan oleh Bupati Buleleng saat itu, untuk tamu dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan, tentu, beserta jajarannya. Kehadiran mereka—dari Jakarta dalam rangka meninjau Isolasi Terpusat (Isoter) di Asrama Undiksha di Jinengdalem.
“Saya kan dapat pesanan tuak dari Pak Agus Suradnyana (bupati saat itu), ada tamu dari Jakarta, katanya. Terus dia pengin tuak manis sebagai jamuannya. Dan ketika itu, Pak Agus mesen tuak manis sekitar 400 botolan,” kata Pasek Soar.
Tuak manis yang dijajakan Soar Adnyana | Foto: tatkala.co/Son
Perbotol, Pak Soar memberi harga 5 ribu, dan jika dikalikan 400, sekitar 2 jutaan lelaki itu mengantongi uang saat itu. Menjual tuak manis, katanya, karena banting setir dari tukang pahat di Gianyar. Karena sejak Covid-19 melanda sebagai virus ngeselin, orang-orang tak lagi memesan jasanya sebagai tukang pahat, dan profesi apapun terganggu memang di masa itu, termasuk pada semua seniman tukang pahat.
“Satpol PP dan Pak Polisi bilang, saat itu, kalau Pak Luhut juga minum tuak manis,” lanjut lelaki itu.
Setelah mendengar tuak manisnya diminum oleh Menteri Marves Luhut Binsar Pandjaitan, walau tidak tahu siapa gerangan Pak Luhut itu, rasa gembira menjangkiti tubuhnya. Bayangkan, tuak manis diminum oleh seorang menteri, siapa tidak kejang-kejang?
“Haha… rezeki saya,” kata Pak Soar.
Lelaki itu memutuskan berhenti memahat meski virus corona telah selesai, dan lebih nyaman jualan tuak setelah kusut ekonominya di masa pandemi itu. Tapi setidaknya, kata dia, dengan jualan tuak sekarang bisa keliling dan bertemu banyak orang. Di situ seninya barangkali. Ya, bisa saja begitu.
Tetapi ketika hujan, kata lelaki itu, ia tak bisa lagi mangkal atau keliling dan ketemu banyak orang. Lebih-lebih tuaknya tak banyak yang membeli. Tidak untung. Tapi ketika tuaknya tak banyak yang membeli, ia olah tuak itu menjadi cuka untuk rujak, salah satunya pada rujak timun yang ia jajakan seperti biasa.
Ketika mengobrol, ia tak bercerita bagaimana caranya membuat cuka dari tuak manis untuk rujak. Saya sih membayangkan, pasti enak. Yang tuak gak manis aja enak. Mabok. Pokoknya, Tuak Not Death!
Tuak manis yang ia jual berasal dari bapaknya. Bapaknya adalah petani tuak aren, dan terkadang juga mengolah gula aren. Di desanya, tak hanya terkenal dengan tuak manis atau tuak untuk chill, tetapi juga gula aren. Pokoknya mantap.
Oke, mari kita hitung-hitungan. Jika Pak Soar, sudah lima tahun jualan tuak manis dan perhari ia menjual sekitar 70 botol, dan selama 30 hari atau sebulan sekitar 2.100 botol. Nah itu kalau satu bulan, kalau dikalikan lima tahun dengan jumlah satu bulan itu berapa? Selamat menghitung….dan jangan lupa minum tuak. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole