BANYAK alasan orang melakukan perjalanan wisata. Fenomena FOMO ( Fear of Missing Out) atau takut kehilangan momen tertentu acapkali menjadi motivasi wisatawan. Oleh karena itu, objek wisata yang viral ramai dikunjungi wisatawan.
Akan tetapi ada fenomena lain dalam dunia kepariwisataan. Orang justru menghindari objek wisata yang ramai dikunjungi banyak wisatawan. Orang memilih berkunjung ke tempat yang sepi, sunyi, dan senyap. Fenomena itu dikenal dengan silent tourism atau silent travel.
Kecenderungan baru dalam berwisata kini juga muncul. Orang tidak tergiur dengan objek wisata yang viral. Wisatawan justru mencari tempat yang membuatnya nyaman, tanpa takut kehilangan momen. Kecenderungan itu disebut JOMO ( Joy of Missing Out). Wisatawan justru mengabaikan hal-hal yang viral di media sosial serta tak mau dipengaruhi oleh FYP (for your page) dan algoritma media.
Berwisata dalam kesenyapan terinspirasi oleh silent walking, yaitu aktivitas fisik berjalan kaki yang dilakukan di tempat yang sepi dan jauh dari kebisingan. Orang benar-benar fokus pada kegiatan berjalan seorang diri, meninggalkan segala sumber kebisingan seperti telepon genggam.
Silent tourism telah berkembang di beberapa negara, termasuk Indonesia. Kawasan Lapland di Finlandia dikenal dengan keindahan alamnya yang menenangkan. Wisatawan datang ke kawasan itu untuk meditasi dan retreat atau menyepi.
Jepang memiliki destinasi wisata senyap di Pulau Naoshima yang memiliki kedamaian alam dan budaya. Islandia juga merupakan negara yang memiliki pemandangan alam indah. Populasi penduduk yang rendah, Islandia menawarkan tempat-tempat yang tenang untuk relaksasi.
Indonesia juga memiliki daerah yang cocok untuk melakukan perjalanan wisata sepi. Pulau Komodo, Sumba, dan Belitung memiliki pantai yang belum begitu ramai dikunjungi. Ubud di Bali sampai saat ini masih diminati untuk wisata senyap, meski belakangan mulai banyak dikunjungi wisatawan.
Aspek Penting
Berwisata dalam kesenyapan menuntut banyak aspek yang penting untuk diperhatikan. Mengingat jenis wisata ini seringkali melibatkan kunjungan ke alam, meditasi, atau pengalaman spiritual yang memungkinkan individu untuk terhubung dengan diri mereka sendiri dan lingkungan sekitar.
Pengembangan silent tourism perlu memperhatikan aspek alam. Wisatawan yang akan melakukan perjalanan dalam kesunyian akan mencari lokasi alami, seperti pegunungan, hutan, atau pantai, di mana pengunjung dapat menikmati keindahan alam tanpa gangguan.
Mengurangi keriuhan di suatu destinasi merupakan aspek yang perlu dilakukan agar destinasi tersebut dapat menjadi tujuan wisata kesenyapan. Suasana santai dan tenang adalah impian para wisatawan senyap, karena mereka biasanya akan melakukan aktivitas reflektif, yoga, maupun meditasi.
Kesadaran terhadap konservasi lingkungan merupakan hal paling penting dalam pengembangan wisata sunyi. Konsep silent tourism seringkali sejalan dengan upaya untuk melestarikan lingkungan, karena lebih fokus pada keberlanjutan dan perlindungan tempat-tempat alami. Wisatawan tak akan lagi berkunjung ketika mulai terjadi kerusakan lingkungan di objek wisata sunyi.
Karakteristik Wisatawan dan Kegiatan
Secara demografis, karakteristik wisatawan yang menyukai kesenyapan terdiri dari berbagai kelompok usia. Generasi Z dan milenial yang selama ini dikenal berburu destinasi wisata populer, ternyata juga tertarik pada wisata sunyi. Hal ini terutama pada orang-orang yang lebih mengutamakan pengalaman berwisata yang berkualitas ketimbang hura-hura di objek wisata.
Orang tua, keluarga, dan anak-anak juga tertarik dengan silent tourism. Ada keluarga yang ingin menghindari keramaian dan mencari lingkungan yang lebih aman dan tenang untuk anak-anak mereka. Objek wisata yang padat pengunjung membuat waktu keluarga mereka menjadi terganggu.
Karakteristik sosial psikologis wisatawan ikut pula mendukung pengembangan wisata sunyi. Karakteristik ini terdapat pada para pencari ketenangan, yaitu wisatawan yang mencari pelarian dari kesibukan dan stres kehidupan sehari-hari, sehingga menginginkan pengalaman yang menenangkan dan reflektif.
Bagi para pecinta alam, wisata kesenyapan ini dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pengamatan terhadap flora dan fauna. Sedangkan wisatawan spiritual akan melakukan praktik meditasi, yoga, dan wellness, mencari pengalaman yang mendukung kesehatan mental dan spiritual.
Silent tourism juga dilakukan oleh wisatawan yang memiliki karakteristik pencari pengalaman budaya. Mereka ingin terlibat dalam budaya lokal, mencari interaksi yang lebih dalam dengan komunitas setempat tanpa keramaian.
Berwisata dalam kesunyian bukan berarti tidak melakukan apa pun di objek wisata. Orang dapat melakukan berbagai kegiatan. Meditasi dan yogya memang sering dianggap identik dengan silent tourism. Namun banyak pula wisatawan yang memanfaatkannya dengan kegiatan lain, seperti membaca, menulis, maupun bird watching (mengamati burung dan hewan lain di alam lepas).
Kunci keberhasilan silent tourism adalah pada keberlanjutan. Oleh sebab itu, para pengelola wisata sunyi ini mesti menahan diri untuk tidak memasarkan secara berlebihan. Padatnya wisatawan justru akan melunturkan makna berwisata dalam kesenyapan. [T]
BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU