AGAKNYA, profesi wartawan pada masa mendatang akan tergerus, makin hilang. Perkembangan teknologi luar biasa berpengaruh terhadap keberadaan para pekerja yang akan tergantikan oleh mesin dan robot, termasuk dalam jurnalisme.
Berita, kini mudah sekali diakses melalui akun-akun “berita” di media sosial, yang sejatinya bukan termasuk produk jurnalistik karena dibuat tanpa memenuhi kaidah-kaidah jurnalisme.
Meskipun, memang ada yang namanya “jurnalisme warga”, di mana warga masyarakat memproduksi tulisan atau menampilkan video tentang sebuah kejadian atau peristiwa—bak kerja seorang wartawan sesungguhnya. Berbeda halnya dengan “berita” dari media-media sosial.
Jika ingin membaca berita, kini orang cukup menengok akun-akun berita di media sosial. Walau dalam keterangannya, akun-akun tersebut menyebut diri sebagai “perusahaan media”, dengan pola kerja “repost” dan “rewrite”—mengutip 2-3 paragraf berita yang berasal dari akun resmi media online atau media sosial resmi perusahaan media.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan polemik, terutama tentang pendapataan antara akun “perusahaan media” dengan akun resmi media online atau cetak.Atau, akun perusahaan media dengan platform digital, semisal Facebook dan Instagram yang mendapat penghasilan dari iklan yang disematkan pada konten berita.
Wartawan atau Konten Kreator?
Digitalisasi membuat perubahan luar biasa pada banyak bidang, termasuk jurnalisme. Jika dulu kita hanya mengenal profesi wartawan/jurnalis, kini muncul konten kreator, diambil dari istilah dalam bahasa Inggris: content creator. Dahulu wartawan hanya menulis pada media cetak yakni koran, majalah, tabloid, atau buletin.
Sekarang profesi ini dituntut untuk memiliki keterampilan lain di samping kemampuan menulis yaitu membuat video termasuk di dalamnya keterampilan menyunting video serta menguasai teknik desain, untuk misalnya membuat infografis atau sekedar membuat foto untuk ditampailkan pada akun media sosial perusahaan media.
Menjadi kabur dan bahkan rancu, ketika masyarakat awam menganggap sama antara profesi wartawan dengan kreator konten. Padahal, keduanya berbeda. Wartawan biasanya memiliki kartu pers atau sertifikasi wartawan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.
Tugasnya dilindungi oleh undang-undang negara. Terlepas dari kemampuan sampingan seperti desain, videografi dan fotografi, yang kini lebih banyak dilakukan oleh kreator konten, wartawan tetaplah wartawan. Konten kreator tidak bisa disebut sebagai seorang wartawan karena bukanlah pekerja pada media cetak atau media online (daring). Meskipun memiliki skill sama seperti seorang wartawan.
Berbeda kemudian jika perusahaan media merekrut tenaga kreator konten yang rata-rata berusia muda untuk dipekerjakan sesuai bidangnya. Status mereka pada perusahaan media bukanlah karyawan, melainkan mitra. Biasanya, setelah lamaran diterima, anak-anak muda ini mengikuti pelatihan jurnalistik secara online.
Redaktur atau wartawan perusahaan media membagi ilmu mereka tentang bagaimana cara menulis artikel atau berita, sistem kerja kreator konten, dan ilmu serta keterampilan lain yang menjadi bekal saat kreator konten mulai bekerja pada perusahaan media tersebut. Dalam sehari, biasanya mereka diharuskan menulis sebanyak 5 hingga 8 artikel.
Pendapatan mereka berasal dari performa masing-masing. Upah dihitung dari jumlah views atau tayangan dari tulisan mereka yang dimuat di laman perusahaan media. Semakin banyak pembaca atau pemirsa yang membaca tulisan mereka, upah yang diterima kreator konten semakin banyak.
Bahkan, banyak dari mereka yang mengantongi pendapatan jauh di atas upah minimum bulanan sebagai karyawan biasa. Tergantung sejauh mana kualitas tulisan menarik minat pembaca untuk membaca tulisan mereka. Misalnya, pada bidang olahraga, otomotif, entertainment atau lainnya.
Dari sini, “ramalan” tentang profesi wartawan yang akan hilang bahkan punah menemui kebenarannya. Sistem atau mekanisme perekrutan karyawan perusahaan media justru yang sebenarnya menjadikan profesi wartawan lama-kelamaan hanya tinggal kenangan dan cerita.
Hadirnya media online atau daring juga melahirkan profesi baru selain wartawan, yakni kreator konten—yang mana generasi sekarang dan masyarakat awam belum mampu membedakannya. Perusahaan media sedikit banyak juga mempunyai andil munculnya dikotomi dua profesi ini.
Perpres Jurnalisme Berkualitas
Pada 20 Februari 2024, Presiden Indonesia terdahulu, Joko Widodo, mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Perpres ini sebuah langkah signifikan yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk melindungi dan menghargai karya jurnalistik di era digital.
Perpres ini secara garis besar bertujuan untuk mendorong perusahaan platform digital (seperti Google, Facebook, dan lainnya) untuk memberikan kompensasi yang adil kepada media atas penggunaan konten berita mereka. Juga, memastikan kualitas konten berita yang beredar di platform digital sesuai dengan kaidah jurnalistik yang baik. Selain itu, untuk menguatkan posisi media dalam ekosistem digital yang semakin kompleks.
Dengan adanya Perpres ini, platform digital wajib mendapatkan izin dari pemilik hak cipta sebelum menggunakan konten berita. Mekanisme negosiasi antara platform digital dan media untuk menentukan besaran kompensasi juga diatur dalam Perpres ini. Pemerintah membentuk komite mediasi untuk menyelesaikan sengketa terkait penggunaan konten berita. Apabila ada pelanggaran, terdapat sanksi bagi platform digital yang melanggar ketentuan dalam Perpres ini.
Perpres Jurnalisme Berkualitas diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi para jurnalis/wartawan. Dengan adanya kewajiban platform digital untuk membayar kompensasi, diharapkan pendapatan media dan para jurnalis dapat meningkat. Perpres ini juga memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap karya jurnalistik.
Adanya standar kualitas yang ditetapkan dalam Perpres ini diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas jurnalisme di Indonesia. Dengan adanya dukungan dari pemerintah dan platform digital, diharapkan industri media dapat lebih berkelanjutan. Harapannya, Perpres Jurnalisme Berkualitas dapat menjadi tonggak sejarah dalam upaya membangun ekosistem media yang sehat dan berkelanjutan di Indonesia. Dengan adanya dukungan dari pemerintah, industri media, dan masyarakat, diharapkan kualitas jurnalisme di Indonesia dapat terus meningkat dan memberikan informasi yang akurat dan terpercaya bagi masyarakat.
BACA artikel lain dari penulis ANGGA WIJAYA