SEBELUM melanjutkan tulisan Ngeceng, Tradisi Lisan Humor Betawi pada bagian kedua ini, saya ingin mencoba memaparkan sekilas bahasa sebagai salah satu identitas setiap kelompok, termasuk kebudayaan atau bahasa yang berkembang di Betawi. Seperti halnya dengan suku bangsa lain di Indonesia, suku bangsa Betawi dengan segala bentuk kebudayaannya juga memiliki bahasa daerah, pola pergaulan dan tingkah laku, tata perkawinan serta kesenian sendiri.
Eksistensi suku bangsa Betawi ditandai dengan segala kekayaan budayanya. Namun untuk mengetahui asal usul penduduk asli tidaklah begitu mudah. Sejak dahulu kala, di zaman VOC sekitar awal abad XVII, penduduk Betawi sudah beraneka ragam. Pada waktu itu terdiri dari beberapa suku bangsa, baik yang berasal Indonesia maupun dari luar. Suku bangsa yang berasal dari Indonesia misalnya suku-suku yang berasal dari Bali, Jawa, Bugis, Makasar, Sumbawa dan Maluku.
Sedangkan yang berasal dari luar Indonesia terdapat bangsa-bangsa keturunan Eropa, Cina, Arab dan Moor. Pada umumnya setiap suku bangsa yang datang ke Batavia tinggal mengelompok di dalam suatu wilayah. Kampung-kampung yang mereka tinggali tersebut penyebutannya biasa menggunakan nama suku tempat asal mereka, seperti Kampung Bali, Kampung Melayu, Kampung Bugis, Kampung Jawa, Kampung Ambon dan lain sebagainya. Darmani (1990).
Setiap pendatang membawa adat istiadat dan kebudayaannya, membentuk kebudayaan baru karena ada yang mengalami proses akulturasi, sehingga biasanya muncul kebudayaan di tempat yang baru.
Orang Bali Dominan
Sebanyak suku bangsa yang berdatangan ke Batavia yang agak spesifik adalah yang berasal dari Bali. Terutama perkembangan pada kurun waktu lebih kurang lima belas dasawarsa 1673-1815. Walaupun perhitungan dalam angka tidak begitu cermat, tetapi dari perbandingan jumlah penduduk Batavia 1673-1815 menunjukkan, bahwa pertumbuhan jumlah penduduk yang berasal dari Bali paling menonjol dibandingkan penduduk dari Cina yang merupakan jumlah penduduk terbesar kedua setelah Bali.
Penduduk Cina pada tahun 1673 berjumlah 2.700 jiwa kemudian pada tahun 1815 berkembang menjadi 11.249 jiwa yang berarti mengalami penambahan sebanyak 450 persen. Penduduk yang berasal dari Bali pada tahun 1815 berkembang menjadi 7.700 jiwa. Dengan demikian dalam kurun waktu yang sama penduduk Betawi yang berasal dari Bali bertambah lebih kurang 800 persen.
Kedudukan suku Bali yang paling dominan dalam komposisi penduduk Batavia pada waktu itu turut membentuk kebudayaan Betawi, paling tidak dalam bidang perkembangan bahasa. C. Lekker dalam De Baliers van Batavia (Pemerintah DKI, 1979:35), memberikan contoh hubungan tersebut antara lain dalam beberapa kata, misalnya: kata jidat untuk dahi, kata bianglala untuk pelangi, kata iseng untuk tidak bersungguh-sungguh, kata ngeubeut untuk sudah ingin sekali kawin.
Bahkan imbauan ‘’in’’ pada kata tolongin untuk tolonglah, kata ngapain untuk mengapa, kata pulangin untuk pulangkanlah, juga merupakan bentuk pengaruh kuat berasal dari bahasa daerah aslinya. Kecuali itu bidang kesenian juga turut mempengaruhi, misalnya corak irama gamelan yang ditabuh untuk mengiringi ‘’topeng’’, sejenis kesenian yang merupakan perpaduan antara ngibing (nandak, menari) dengan dialog lucu. Di Kemayoran tempo dulu ada jenis kesenian itu yang terkenal dengan nama ‘’Topeng Mak Jantuk’’. Pengaruh itu terutama pada kedinamisan irama gamelan yang ditabuh.
Sifat Humoris orang Betawi
Sikap yang kuat terhadap keyakinan beragama boleh jadi membuat mayarakat Betawi teguh dalam prinsip hidup. Bahkan seringkali untuk berbagai permasalahan dihadapinya dengan humoristik, sifat yang cukup menonjol bagi kebanyakan orang Betawi. Sifat kocak, humor mempunyai hubungan erat dengan ceng-cengan yang merupakan topik pembahasan pada bagian ini. Ceng-cengan yang merupakan kegiatan komunikasi bernada senda gurau itu dalam dialog memang penuh dengan humor. Sehingga tidak mengherankan kalau kegiatan itu berlangsung banyak disertai dengan gelak tawa.
Ditinjau dari sudut teori, ceng-cengan merupakan kegiatan komunikasi antarpribadi yang sering disebut dyadic communications. Kegiatannya berlangsung antara dua orang atau lebih secara berhadapan muka. Ciri khas dari komunikasi antarapribadi ini ialah sifatnya yang dua arah (two way traffic communication).
Komunikasi antarpribadi yang didukung oleh pengalaman yang sama, berlangsung amat efektif, dikarenakan tanggapan komunikasi dapat dengan segera, baik secara verbal dalam bentuk jawaban kata-kata maupun nonverbal dalam bentuk gerakan anggota badan. Ceng-cengan sebagai bentuk kegiatan komunikasi juga demikan, karena apabila melihat prosesnya antara pesan dan arus balik begitu cepat. Seolah-olah tidak terdapat hambatan sedikit pun di dalamnya antara komunikator dan komunikan berkomunikasi demikian lancar, itu dikarenakan adanya kesamaan pengalaman.
Hubungan Kocak Dengan Ceng–cengan
Kocak tidaknya kata-kata yang diucapkan seseorang sifatnya relatif, frekuensi mendengar situasi pada saat mendengar serta kondisi tubuh. Pendengar turut mempengaruhi perasaan lucu. Di dalam hal frekuensi misalnya, seseorang yang pernah menyaksikan sebuah tema lawak dan tertawa geli, mungkin mau menyaksikan lagi pada kesempatan lain dalam tema yang sama. Begitu pula dengan ceng- cengan, manakala tema dan ragam kata yang digunakan itu saja, sudah dapat diterka tingkat kelucuannya berkurang.
Jadi apabila menyaksikan suasana meriah dan penuh gelak tawa dalam ceng-cengan menandakan banyaknya variasi ragam kata yang digunakan. Itu memang merupakan ciri khas ceng-cengan yang kaya dengan kedinamisan variasi kata yang dipengaruhi faktor waktu dan lingkungan.
Suatu contoh, beberapa waktu lalu bentuk ngeceng cukup menggelitik, yang membuat anak muda dapat tertawa lebar yang berbunyi “Muke ape dompet tukang minyak?”.
Dompet milik tukang minyak menjadi objek dan mengunggah tawa, karena faktor aktual dalam lingkungan. Sesuai dengan pengamatan benda itu berjasa terhadap pemiliknya untuk melindungi uang hasil menjajakan minyak tanah yang setiap hari dibawa keliling kampung. Ukurannya agak besar dan keadaannya sudah sedemikian lusuh mungkin karena termakan usia. Kulit imitasi yang mungkin tadinya berwarna hitam sudah condong kelabu, dekil dan ruslitingnya tidak berfungsi lagi.
Ada pula ” Muke kancut Superman”. Maksud ”Muke kancut Superman” adalah wajah yang dekil seperti celana dalam Superman, berwarna merah terus, tak pernah berganti. Sehingga asumsinya dekil dan bau tak sedap. Ceng-cengan ini akan memancing tawa orang lain.
Jika menyaksikan anak muda ceng-cengan memang mengasyikan. Kita sering ikut tersenyum daripada tidaknya. Bahkan terkadang lebih tertawa geli dibandingkan mereka yang terlibat langsung. Ceng–cengan yang akrab dengan gelak tawa itu seperti telah disinggung pada uraian terdahulu adalah disebabkan faktor lucu yang terkandungnya.
Seberapa jauh unsur lucu yang ada dapat terlihat pada pernyataan anak muda selaku responden dalam penelitian Darmani (1990). Sebagian besar menyatakan ceng-cengan kocak.
Ini menunjukkan tidak seorang pun dari informan yang menyatakan ceng-cengan tidak kocak.
Di balik pernyataan anak muda tentang tingkat kelucuan ceng-cengan dapat pula diketahui sejauh mana ceng-cengan digemari. Dari empat tingkatan perasaan yang meliputi : senang sekali, senang, kurang senang, dan tidak senang, menunjukkan sebagian besar menyatakan senang sekali. Jawaban yang menyatakan kurang senang dan tidak senang tidak terdapat sama sekali.
Kemudian apabila dikaitkan dengan berbagai jenis pekerjaan responden terlihat pula bahwa yang dominan menyatakan senang sekali dengan ceng-cengan ialah dari kalangan pelajardanmahasiswa, karena mereka belum begitu banyak memikirkan masalah kehidupan secara serius. Tingkat sensitifitas terhadap sesuatu yang lucu masih besar. Adalah wajar dalam kehidupan manusia, yang pikirannya longgar lebih mudah terangsang untuk tertawa di bandingkan yang memiliki beban. Tambahan lagi lebih banyak waktu untuk kesempatan bergaul secara masksimal.
Kekuatan Dialog
Ditinjau dari sudut pelakunya memperlihatkan, bahwa ceng- cengan dikatagorikan lucu banyak ditentukan oleh bobot dialog. Gerak gerik para pelaku hanya sedikit memberi dukungan. Barangkali faktor ini bisa diangkat untuk membedakan ceng-cengan dengan lawak yang dalam segala hal harus memperhitungkan kostum guna mendukung materi lawaknya.
Kekuatan dialog memang dapat dibuktikan, misalnya dalam bentuk berikut: ”Jerawat jagung urap ?” Dalam bentuk ini sekaligus terdapat dua macam benda yang menjadi objek, yaitu “jerawat” dan “jagung urap”. Jerawat menurut pengertian yang lazim adalah sejenis penyakit dan biasanya tumbuh dipermukaan kulit sekitar wajah, terutama pada usia remaja. Sedangkan jagung urap adalah nama sejenis makanan kecil yang bahannya terbuat dari jagung pipilan yang direbus. Cara menghidangkannya ditaburi kelapa parut, diberi garam secukupnya. Bagi yang menggemari rasa manis tentunya akan menjadi lebih sedap apabila ditaburi gula pasir.
Terhadap bentuk ngeceng dengan kata-kata “jerawat jagung urap” barangkali sepintas lalu tidak terasa unsur lucunya, bahkan bagi yang belum begitu paham dengan gaya dialek Betawi tidak mengerti sama sekali maksudnya. Karena kalau dilihat hubungannya antara satu kata dengan kata yang lain tidak ada kejelasannya. Apa kaitannya jerawat sebagai penyakit dan jagung urap sebagai makanan. Buat mereka yang getol dengan ceng-cengan begitu mendengarnya dengan kelengkapan aksen yang khas nyaris akan tertawa.
Bentuk itu ditelusuri lebih jauh, diantara kata “jerawat” dan “jagung urap” seyogyanya terdapat sebuah kata yang tidak tersurat tapi dapat dirasakan kehadirannya, yaitu kata “seperti”. Maka ketika diucapkan “jerawat jagung urap” sama dengan artinya “ jerawat (seperti) jagung urap”.
Baru setelah diselipkan kata seperti terasa maknanya lebih jelas. Tapi sayangnya bentuk demikian justru akan memberi kesan kurang wajar digunakan dalam ceng-cengan. Jarang sekali digunakan bentuk ngeceng dengan kata-kata; “Idung megar nih ye seperti kue moho”. Untuk arti yang sama lebih umum digunakan kata “kaya”, itupun tidak begitu saja dapat diterapkan dalam setiap penggunaan. Berbeda situasi akan memberi arti yang lain pula.
Penggunaan kata “kaya” yang artinya sama dengan “seperti” menjadikan kalimat lebih tajam, apalagi jika diberi penekanan dengan kata “lu”. Bentuk itu misalnya; Pipi lu kempot kaya layangan patah arku (arti bebasnya; Pipimu kempot kaya layang-layang patah arkunya).
Boleh dikatakan bentuk ini sudah agak menggeser dari prinsip ceng-cengan karena lebih menjurus bentuk ngatain (memperolok) yang telah dipengaruhi faktor konfrontatif. Segi konsistensinya hanya terletak pada faktor kelucuan ragam kata yang digunakan, terutama pada pihak ketiga yang mendengarnya.
Suatu hal yang juga tidak kalah menariknya untuk disimak bahwa “adu mulut” dengan kata-kata biasanya hanya terjadi pada kalangan wanita. Mereka yang terlibat adu mulut, makin tinggi kadar emosi makin lucu gerakannya.
Pada klimaksnya tidak jarang masing-masing pihak melontarkan kata-kata disertai dengan mempragakan bagian tubuh. Gerak reflek yang sepertinya tidak terkontrol itu nyaris seperti pelawak sedang manggung. Betapa tidak, ketiga perkataan ”muka lu kaya pantat gue” dilontarkan disertai mimik yang khas, diperagakan pula dengan mengangkat rok memperlihatkan bagian pantat. Adegan itu tentu saja membuat yang melihat jadi malu-malu kucing terutama kalangan laki-laki.
Kelucuan Kata-Kata
Meriah tidaknya ceng-cengan banyak ditentukan oleh tingkat kelucuan kata-kata yang digunakan. Pendapat tentang tingkat kelucuan kata-kata yang digunakan dikaitkan dengan kelompok usia, keadaannya hampir merata antara kelompok remaja dengan yang lebih tua. Tetapi kalau ditinjau dari suasana berlangsungnya, acapkali pada kalangan remaja lebih meriah dibandingkan kelompok anak muda yang lebih tua usianya. Anak muda yang tergolong remaja agaknya dapat melakukan ceng-cengan sampai “habis-habisan”.
Volume suara lantang terlepas bebas dan seenaknya. Begitu pula dalam penggunaan ragam kata lebih berani dalam arti tidak tedeng aling-aling, seperti tercermin dalam contoh berikut: Gigi anti odol nih yeh ?, Pale dempak kaya pantat monyet (arti bebasnya: Gigi gak pernah disikat pakai pasta gigi, kepalamu rata seperti pantat monyet).
Kelompok anak muda yang lebih tua, terlebih lagi kelompok antara 27-30 tahun, dalam ceng-cengan biasanya menggunakan ragam kata yang tidak terlalu blak-blakan. Mereka tidak drastis menyebut apa adanya dan situasi pun menjadi pertimbangannya. Versi ceng-cengan yang biasanya dilakukan kelompok usia ini bisa dilihat dalam bentuk berikut; Beli rokok sih die udah berenti, kalo ditawarin kagak nolak, Temen yang laen ude pade bergaye, lu kok dari dulu masing nyemplakin motor bengek aje (arti bebasnya: Sudah berhenti beli rokok, tapi kalau ditawari tidak nolak. Kawan-kawan yang lain sudah pada mapan, kamu sejak dulu masih mengendarai motor yang sudah rusak).
Percakapan semacam ini di kalangan orang Betawi merupakan humor yang seolah sudah menjadi tradisi lisan dalam berkomunikasi. [T]
- Bersambung pada bagian 3 ”Tanggapan pada Kawan yang Kocak dalam Ngeceng”
BACA artikel sebelumnya: