MASIH dalam suasana Aktivasi Subak di Desa oleh Kementerian Kebduayaan (Kemenkebud) RI. Hujan turun di sebuah merajan keluarga, tempat berstana-nya Sanghayang Dedari di Desa Rejasa, Penebel, Tabanan, Bali. Di sana sudah ada para sesepuh yang akan melakukan upacara Mapiuning. Mereka mengenakan baju putih suci, lengkap dengan udeng di kepalanya.
Upacara itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan atau meminta izin sebelum syair dari gending-gending Sangyang ditembangkan dan sebelum dokumenter tentang ritual nanjang Ida Sanghyang Dedari akan digelar di sebuah layar. Ditonton bersama.
Dupa telah dinyalakan. Penghormatan menguar keluar wangi di sana. Dari seorang mangku, Made Subawa, genta atau kleneng berbunyi dengan mantra dalam hati. Bunga dilempar kemudian dan jatuh ke tanah. Air tirta menyusul jatuh ke tanah.
Made Subawa memimpin upacara sebelum kegiatan dimulai | Foto: tatkala.co/Rusdy
Begitulah upacara itu digelar sebelum Aktivasi Program Penguatan Ekosistem Kebudayaan di Desa-Desa Warisan Dunia Subak Tari Sanghyang Dedari di Desa Rejasa akan dimulai pada Minggu, 8 Desember 2024 di Balai Serba Guna Desa Rejasa. Sakral.
Di sana, terdapat beberapa kegiatan sebagai potensi pertunjukan atau sesuatu yang penting sebagai kebudayaan leluhur, antara lain nonton bersama video dokumenter tentang ritual Nanjang Ida Sanghyang Dedari, menembangkan syair gending-gending Sangyang, serta megibung Tum dan Timbangan, kuliner khas Desa Rejasa.
“Sudah kita ketahui bersama, di dalam pengelolaan subak, tidak dapat terlepas dari unsur sekala dan ritual niskala,” jelas I Gede Wayan Wihastra, Perbekel Desa Rejasa.
Kegiatan Aktivasi Program Penguatan Ekosistem Kebudayaan di Desa-Desa Warisan Dunia-Subak di Desa Rejasa | Foto: tatkala.co/Rusdy
Kemudian ia melanjutkan, bagaimana pemutara dokumenter itu memiliki tujuan untuk mempertahankan kawasan pertanian mereka. Karena hasil pertanian merupakan kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup. Pun memiliki fungsi lain, yaitu untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya melestarikan alam dan ekosistemnya demi kelangsungan hidup di masa yang akan datang.
“Mengenal lebih jauh dan mencintai budaya yang ada kaitannya dengan tradisi pertanian serta dapat menjaga kelestariannya,” lanjut Wihastra.
Tak kalah pentingnya, pula untuk menambah pengetahuan generasi muda Desa Rejasa tentang pentingnya kegiatan ini dilakukan tanpa melanggar norma-norma yang telah ada. Sebab ritual penghormatan sudah digelar.
Ibu-ibu sedang melantunkan gending Sanghyang Dedari Desa Rejasa dalam kegiatan Aktivasi Program Penguatan Ekosistem Kebudayaan | Foto: tatkala.co/Rusdy
Dalam sebuah dokumentar, terlihat bagaimana ritual Nanjang Ida Sanghyang Dedari di Desa Rejasa itu dilakukan oleh beberapa orang, pergi memberi banten di subak, mengelilingi setiap rumah warga di banjar itu, tentu dalam rangka meminta rahmat, tolak bala, dan menghormati Sang Hyang Dedari di sana.
Kemudian, bagaimana gending-gending Sanghyang ditembangkan oleh enam ibu dan delapan bapak di atas panggung setelah menonton bersama itu. Syair berbunyi indah dilantunkan mereka serempak dengan tangga nada mereka yang khas.
Audiens tenggelam pada bunyi. Menyimak. Biasanya, Tari Sanghyang Dedari dilakukan mereka dengan cara berjalan kaki. Para warga mengitari subak atau tempat tinggal mereka dengan melantunkan gending-gending Sanghyang ketika ritual Nanjang Ida Sanghyang Dedari, barangkali itulah yang membedakan ritual adat Sangyang Dedari di Rejasa dengan daerah lain di Bali.[T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto