PULUHAN anak-anak tampak sangat serius, berdiri, dengan tubuh yang sengaja direndahkan. Mereka belajar agem, tandang, tangkep, juga belajar nyeledet (memainkan mata). Ya, anak-anak itu sedang belajar menari Bali.
Mereka begitu fokus mendengarkan pelatih mereka—seorang remaja putri, masih sekolah, dan masuk dalam katagori Gen Z. Pelatih itu adalah Ayu Restia Putri, masih sweet seventeen, masih tercatat sebagai pelajar SMK.
Sesekali Ayu memberi contoh kepada anak-anak yang dididiknya, misalnya bagaimana posisi kaki, tangan dan arah mata, ketika sedang menari. Tampaknya, anak-anak itu sedang belajar dasar-dasar tarian, sebelum mempelajari tari-tarian dengan gerak yang lebih rumit.
Peristiwa belajar-mengajar tari itu bukan terjadi di sebuah sanggar yang megah dengan fasilitas lengkap. Peristiwa sederhana itu terjadi di sebuah balai banjar, atau balai dusun, yang sederhana di sebuah dusun di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali. Tepatnya, di Balai Dusun Kanginan.
Anak-anak dari Desa Les, Tejakula, Buleleng, bergembira latihan tari di Balai Dusun Kanginan | Foto: Don
Ayu Restia Putri bisa dikata sebagai aset penting Desa Les, ketika desa itu sedang memetakan potensi muda-mudi dan warga masyarakat Desa Les yang mempunyai produk dan kreatifitas, terutama di kalangan remaja putri dan perempuan. Kegiatan di balai dusun itu adalah potensi besar sebagai daya tarik wisata berkelanjutan di Desa Les. Apalagi, Desa Les baru saja mendapat anugerah sebagai desa wisata terbaik dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) yang diadakan Kementerian Pariwisata RI.
Ayu Restia Putri, remaja putri Desa Les yang masih menempuh pendidikan di SMKN 1 Tejakula, itu barangkali tak begitu hirau dengan dunia pariwisata. Tapi ia hirau pada hidupnya. Ia berjuang untuk hidup sebagai Gen Z yang tumbuh di desa, di tengah gempuran modernitas dan kapitalisme.
Apalagi, untuk urusan ekonomi ia bukanlah remaja dari keluarga berada. Ayahnya meninggal, dan ibunya menikah lagi. Ia kini tinggal bersama neneknya. Untuk itulah, ia merasa tak bisa hidup leha-leha. Ia tak boleh manja, ia harus mengerjakan sesuatu, demi mendapatkan bekal, untuk bisa meneruskan pendidikannya.
“Sudah dua tahun saya menekuni dunia tarian,” kata Ayu di sela-sela mengajar di Balai Dusun Kanginan, Senin, 2 Desember 2024.
Ayu Restia Putri sedang melatih anak-anak menari, dari tingkat dasar hingga mahir | Foto: Don
Ayu Restia telah menjadi seorang pelatih tari muda semenjak tahun 2022. Awalnya ia belajar sendiri di sebuah sanggar tari dan berhasil menguasai sejumlah tarian Bali. Setelah diketahui bisa menari, Ayu kemudian diminta oleh banyak warga untuk melatih anak-anak mereka, terutama untuk pementasan ngayah di pura.
Itulah awal mula cerita bagaimana Ayu sampai menjadi seorang pelatih tari di balai dusun. Hampir setiap hari Ayu melatih anak-anak yang notabena masih duduk di kelas sekolah dasar ini. Secara organik, makin hari, makin banyak yang ikut latihan.
“Saya membuat grup Whatsapp bersama ibu dari anak-anak itu untuk menginformasikan jadwal-jadwal latihan,” ujar Ayu.
Untuk sekali pertemuan Ayu akan menerima Rp. 5.000 dari setiap anak yang dilatihnya. Dana yang dikumpulkan itulah yang ia gunakan untuk bekal sekolah dan hidup sehari-hari.
Hingga kini, ratusan anak sudah dilatihnya. “Latihan dasar dulu, baru lanjut ke latihan tarian yang lebih sulit,” kata Ayu.
Ayu Restia Putri adalah pejuang. Pejuang seni khususnya pelestarian seni tari untuk tetap lestari. Di tengah kehidupan Ayu yang sangat keras, anak muda ini mempunyai cita-cita yang sangat mulia. Yakni, Ajeg Bali lewat pelestarian tari Bali.
Meski bapaknya sudah meninggal dan ibunya sudah menikah lagi, tidak membuat anak mudi ini hilang harapan. Justru sebaliknya ia menata asa dan cita-cita yang sangat mulia.
Ayu berharap semoga suatu saat nanti mempunyai tempat latihan sendiri dan dapat membuat sanggar tari Bali dengan fasilitas yang lebih lengkap. [T]
Reporter/Penulis: Nyoman Nadiana
Editor: Adnyana Ole