BERFOTO, difoto, dan memfoto kini merupakan pemandangan yang lumrah dan jamak di sekitar kita. Ada berita orang terjungkal sampai celaka di tempat wisata karena melakukan selfie tapi kurang hati-hati, anak hilang di tempat umum karena orang tuanya sibuk selfie, di rumah makan mewah sampai warung tenda, orang bukannya berdoa sebelum makan, malah justru sibuk memfoto makanannya.
Biasanya semua itu buat diunggah ke medsos atau status. Apapun itu momennya semua buru-buru difoto.Memang dewasa ini foto bukan lagi sekadar seni atau alat dokumentasi, ia kini telah menjadi bahasa global. Dengan foto, kita bisa menyampaikan pesan tanpa perlu berbicara, berbagi emosi tanpa perlu tunjuk muka langsung untuk berekspresi, dan menyebarkan informasi secepat kilat tanpa perlu menulis panjang lebar.
Media sosial telah menjadikan foto sebagai bentuk komunikasi utama, dari unggahan Instagram hingga status WhatsApp yang penuh dengan visual instan. Foto telah menjadi “bahasa” sehari-hari bagi masyarakat lintas generasi dan kalangan. Di era kini, ketika kamera ponsel dan aplikasi pengolah gambar menjadi aksesori wajib, bertukar pesan lewat foto kini menjadi budaya.
Foto, di satu sisi, kita sadari merupakan cermin dari kehidupan kita. Namun, di sisi lain, ia juga bisa menjadi jendela yang menunjukkan bagaimana kita sedang dikendalikan oleh narasi besar budaya digital. Ludwig Wittgenstein, seorang filsuf yang menyoroti soal bahasa dan logika, pernah mengatakan bahwa bahasa membentuk cara berpikir manusia. Dalam konteks ini, penulis melihat foto adalah “bahasa” yang membentuk cara kita melihat dunia.
Saat kita memproduksi foto dan mengkonsumsi foto, seringkali hal itu kita lakukan sebagai suatu sarana hiburan. Tapi, apakah foto memang hanya sebatas sarana hiburan ataukah ada narasi yang lebih dalam yang terbentuk di balik jutaan jepretan itu?
Ketika kita mengunggah gambar secangkir kopi pagi, perjalanan liburan, atau bahkan suatu momen ibadah, apakah itu murni ekspresi diri atau justru hasil dari struktur sosial yang membentuk cara kita berpikir dan berperilaku? Pierre Bourdieu, seorang filsuf dan sosiolog ternama, mengingatkan kita bahwa apa yang sudah kita anggap sebagai “selera pribadi” seringkali merupakan hasil dari struktur sosial dan budaya yang kita internalisasi tanpa sadar. Jika kita refleksikan ke diri kita dalam era digital ini, bolehlah kita curiga, jangan-jangan habitus ini kini diatur oleh algoritma dan tren media sosial?
Seberapa Jujur Foto sebagai Representasi Realitas?
Foto sering dianggap sebagai representasi realitas yang murni dan obyektif. Sebagai medium visual, foto dianggap memiliki kredibilitas tinggi dalam merepresentasikan realitas. Memang secara logika tidak ada yang lebih meyakinkan daripada gambar nyata. Namun, di era digital, kenyataannya lebih kompleks dan tidaklah sesederhana itu, karena realitas itu sendiri sering kali direkayasa.
Saat kita mengambil gambar, kita memilih sudut pandang, pencahayaan, dan objek tertentu. Lalu, aplikasi pengeditan mengambil alih dengan ganas, memoles warna dan menambah filter, menjadikan realitas lebih “indah” atau “berarti” daripada aslinya. Efek filter, sudut pengambilan gambar, hingga pencahayaan yang dramatis membuat foto lebih mirip narasi yang disengaja daripada suatu representasi yang jujur.
Di media sosial, foto-foto ini diunggah dengan mengandalkan kredibilitasnya sebagai suatu realita karena sifat visualnya. Tetapi saat ini konstruksi realitas di media sosial seakan-akan menuntut suatu standar yang telah disepakati bersama. Ada semacam keseragaman atau homogenitas dalam konstruksi makna dalam produksi foto-foto yang diunggah.
Selera visual seperti tren warna pastel, gaya minimalis, atau framing tertentu telah menjadi norma dan mendominasi platform seperti Instagram. Hal ini menciptakan homogenitas yang mengkhawatirkan. Dalam istilah Lyotard, kita sedang terjebak dalam “narasi besar” yang menghapus keragaman lokal atau petit récits yang lebih autentik.
Akibatnya, foto-foto kita mulai kehilangan otentisitas dan menjadi bagian dari siklus reproduksi tanpa akhir. Apa yang kita anggap bagus bukan lagi soal selera pribadi, tetapi hasil dari struktur sosial yang mengarahkan produksi dan konsumsi visual kita.
Stuart Hall, melalui teori representasinya, menyoroti bahwa makna sebuah pesan tidak pernah bersifat mutlak. Makna itu dibentuk oleh interaksi antara pembuat foto, visual yang dihasilkan, dan interpretasi penontonnya. Maka, apa yang kita lihat di media sosial tidak sekadar estetika, melainkan simbol budaya yang terus berubah.
Kita kemudian mulai memotret makanan yang sebenarnya tidak kita nikmati, latar belakang yang hanya ingin kita pamerkan, atau bahkan momen kebersamaan yang sebenarnya kosong dari makna. Apakah ini cerminan realitas, atau kita sedang membiarkan diri direduksi menjadi sekadar aktor dalam panggung budaya digital?
Foto sebagai Narasi Sosial: Antara Identitas dan Manipulasi
Foto di media sosial tidak hanya menceritakan kisah individu, tetapi juga menjadi narasi kolektif masyarakat. Identitas budaya dan sosial kita, kini semakin dipengaruhi oleh bagaimana kita mempresentasikan diri di dunia digital.
Foto-foto di Instagram atau status WhatsApp bukan hanya dokumentasi, tetapi juga ruang bagi perubahan identitas, dialog antarbudaya, dan bahkan ketegangan dalam masyarakat multikultural. Tetapi apakah narasi ini benar-benar “otentik kita,” atau sekadar hasil manipulasi teknologi dan tekanan sosial?
Homi K. Bhabha mengingatkan bahwa setiap narasi budaya mengandung proses identifikasi dan negosiasi. Dalam konteks ini, foto tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga arena di mana identitas sosial, budaya, dan bahkan personal terus dipertarungkan. Ketika seseorang memposting foto di Instagram, apakah mereka benar-benar menunjukkan diri mereka, atau justru sedang membangun identitas yang diinginkan oleh masyarakat digital?
Kembali pada Jean-François Lyotard memberikan kritik tajam terhadap narasi besar yang mencoba menyeragamkan cara kita melihat dunia. Ia menganjurkan agar kita lebih fokus pada narasi lokal yang beragam dan kaya. Di dunia fotografi, ini berarti memberi ruang bagi keunikan cerita-cerita personal, bukan hanya mengikuti tren visual yang sedang viral.
Renungan: Foto dan Makna dalam Budaya Modern
Makna dalam sebuah foto muncul dari hubungan antara visual itu sendiri, konteks pembuatannya, dan cara orang menafsirkannya. Sebenarnya ada keunikan dalam sebuah foto. Tetapi di tengah derasnya arus foto-foto digital, apakah kita masih bisa melihat keunikan itu?
Ketika kita mengambil foto dan membagikannya di media sosial, ada pertanyaan penting yang perlu direnungkan: Apakah ini ekspresi diri, atau hanya respon otomatis terhadap budaya digital? Bisa jadi kita seolah merasa sedang menciptakan dan membagikan suatu narasi baru yang segar, namun sebenarnya malah meneguhkan narasi lama, yang membatasi cara kita memaknai dunia sekitar kita.
Sebagai penutup, mari kita kembali pada Albert Camus, yang menyebut hidup sebagai absurditas di mana manusia sesungguhnya membutuhkan makna. Dalam dunia yang dibanjiri gambar, mungkin tugas kita bukan hanya untuk memotret, tetapi juga untuk bertanya: makna apa yang sebenarnya kita telah, sedang dan hendak kita ciptakan?
Apakah kita hanya terjebak dalam ilusi visual, ataukah kita mampu menjadikan foto untuk menciptakan narasi baru yang lebih inklusif, jujur, dan bermakna? Jadi, selamat berfoto dan berselfie ria. Semoga hari Anda menyenangkan. [T]
BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI