MENYOROTI persoalan di dunia pendidikan tidak akan pernah ada habisnya. Mungkin ini disebabkan karena adanya harapan yang besar dengan aksioma pendidikan adalah wahana pembentukan kualitas sumberdaya manusia, sehingga harapan tentangnya tidak pernah surut dari masa ke masa.
Demikian besarnya imajinasi tentang pendidikan, tidak mengherankan isu-isu di seputar pendidikan, baik yang bersinggungan dengan persoalan struktural maupun instrumental pendidikan akan mudah viral. Misalnya, adanya pergantian struktur di Kementerian, para pemburu berita akan mengorek keterangan tentang harapan para guru tentang sosok menterinya yang baru.
Guru pun seolah-olah merasa terwadahi aspirasinya tatkala didatangi para wartawan. Alhasil, segala uneg-uneg guru yang kebetulan didatangi keluar berupa keluhan beban adiministrasi, ketentuan tidak boleh tidak meluluskan murid, gap kesempatan pelatihan antar guru, gap kemampuan teknologi antara guru yang muda dengan seniornya.
Ujung-ujungnya mereka menilai proses dan hasil pembelajaran menjadi tidak maksimal. Dalam dinamika perubahan pro dan kontra atasnya senantiasa mengiringi suatu gagasan. Inilah yang umumnya dijadikan landasan untuk melakukan evaluasi atas gagasan yang lama menuju gagasan baru.
Demikian pula yang terjadi atas perubahan kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa babakan perubahan kurikulum. Sejarah mencatat perubahan kurikulum yang terjadi telah dimulai dari kurikulum 1947 sampai kurikulum 2022/2023 dan 2023/2024 yang dikenal dengan sebutan Kurikulum Merdeka.
Di saat Kurikulum Merdeka telah berjalan, terjadi pergantian menteri dan bergulir pula gagasan kurikulum baru. Kurikulum baru yang digagas yaitu kurikulum ful-ful yang mulai ramai dibicarakan. Sebenarnya konsep kurikulum ini berfokus pada tiga filar utama yakni, mindfull learning; meaningfull learning; dan joyfull learning.
Harapannya, rancangan ketiga pilar ini akan tercipta situasi belajar mengajar yang interaktif dan menyenangkan. Ini bukanlah gagasan baru, sebagai istilah bisa jadi ya, namun tidak demikian halnya jika dilihat dari ide dasarnya. Misalnya, dalam kultur budaya Bali tentang strategi pembelajaran secara tradisional dikenal strategi : “Melajah sambilang Megending; Melajah sambilang Megae; Melajah sambilang Mesatua; Melajah sambilang Melali”.
Dikenalnya model pendidikan pasraman melalui gagasan Mpu Kuturan yang tiba di pada tahun 1001 Masehi (Saka 923) sebenarnya dijiwai dengan ke empat strategi tersebut mengingat pendidikan model pasraman akan menyasar pada tujuan membekali para sisya bukan hanya kemampuan intelektual, namun pembentukan karakter dan keterampilan.
Hal ikhwal menyoal tentang gagasan filar utama pendidikan yang digulirkan melalui menteri Pendidikan Dasar dan Menengah – Prof. Abdul Mu’ti tidaklah jauh dari strategi pendidikan yang sama-sama berorientasi atas pentingnya memberikan pengalaman yang luas kepada para siswa.
Prinsip dasar keempat strategi tersebut adalah pembelajaran yang berorientasi pada siswa, sehingga pembelajaran aktif, kreatif dan produktif dengan sendirinya akan melekat dalam strategi tersebut. Tentunya juga strategi tersebut akan memberikan pengalaman yang padat kepada para siswa selama proses belajar berlangsung.
Experiential learning (Pembelajaran Berbasis Pengalaman) dalam implementasinya haruslah memperhitungkan beberapa aspek mendasar yakni memperhitungkan proses dalam belajar; berkelanjutan; adanya relasi siswa dengan lingkungan; adanya proses penciptaan pengetahuan sebagai hasil pengetahuan sosial dan pengatahuan pribadi.
Menurut Athurrohman (2015: 130) menyatakan “Experiental learning itu sendiri berisi tiga aspek, yaitu pengetahuan (konsep, fakta dan informasi), aktivitas (penerapan dalam kegiatan), dan refleksi (analisis dampak kegiatan terhadap perkembangan individu). Ketiganya merupakan kontribusi penting dalam tercapainya tujuan pembelajaran”
Wajah pendidikan Indonesia yang akan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa menimba pengetahuan dengan konsentrasi yang sungguh dan menemukan pembelajaran yang bermakna melalui situasi belajar menyenangkan salah satunya dapat dilakukan melalui ke empat strategi pembelajaran (belajar sembari bernyanyi, bercerita, bekerja dan piknik).
Ibarat paket lengkap, keempatnya akan memberikan pengalaman yang jauh lebih luas untuk sampai kepada tujuan pembelajaran bermakna. Menciptakan kondisi belajar bermakna memang pelibat harus mengalami secara langsung objek yang sedang dipelajari. Diawali dengan merumuskan tujuan pembelajaran terlebih dahulu untuk memastikan kompetensi apa yang akan dilatihkan kepada peserta didik/siswa, dilanjutkan dengan penyusunan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Tujuan pembelajaran menjadi point utama yang menjadi titik orientasi, karena semua orang pasti sangat paham bahwa kegiatan pembelajaran adalah kegiatan yang terencana. Dilanjutkan dengan langkah perencanaan yang harus betul-betul memperhitungkan dukungan regulasi sekolah, kemampuan peserta didik, keterjangkuan dan keamanan.
Pelaksanaan pun memerlukan komitmen dan kerjasama antara pihak sekolah dan orang tua. Pelibatan orang tua dalam pelaksanaan pembelajaran yang bermakna sangatlah penting, dalam artian orang tua tetap berposisi sebagai poros sentral secara psikososial atas keberadaan anak-anak mereka di dunia sekolah.
Demikian pula pada tahap evaluasi yang akan memastikan tingkat keberhasilan atas tujuan pembelajaran yang direncanakan. Hal penting yang harus diperhatikan dalam tahap evaluasi dalam konteks pembelajaran bermakna adalah aspek penilaian proses dari suatu aktivitas.
Cara klasik dalam evaluasi yang masih dilakukan sampai saat ini dalam pembelajaran lebih pada evaluasi hasil yang dilakukan dengan cara memberikan tes tulis maupun lisan, dilanjutkan dengan pemberian nilai – selesai sudah. Pembelajaran yang bermakna kiranya sangat jauh dari cara semacam ini. Untuk mendapatkan nilai yang objektif dalam penilaian terhadap peserta didik, penilaian proses menjadi komponen yang tidak bisa diabaikan karena yang terjaring bukan hanya sisi kognitif yang dimiliki peserta didik, namun sekaligus akan dapat menyentuh sisi afektif dan psikomotoriknya. Maka dari itu, seorang guru tatkala melakukan penilaian perlu juga dibekali kemampuan kualitatif.
Seiring bergulirnya gagasan kurikulum ful-ful yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan di negeri ini, tanpa sengaja penulis menyaksikan pemandangan metode belajar siswa Sekolah dasar di Kastil Osaka yang berjarak dua kilometer dari pusat kota Osaka. Menara Kastil yang berdiri megah menjadi benteng bersejarah masyarakat Jepang yang dibangun tahun 1583 oleh Toyotomi Hideyoshi, kini telah menjadi ikon kota Osaka.
Penataan lingkungan yang rapi, dibarengi dengan padatnya pepohonan di sana sininya, fasilitas transportasi yang nyaman dari parkiran ke pusat kastil menjadikannya sebagai pilihan wisata kota yang menarik. Keunggulan yang ditawarkan sebagai objek wisata kota adalah pengunjung dapat melihat pemandangan kota Osaka dari lantai 8.
Agar bisa mendapatkan kesempatan tersebut, pengunjung harus rela antre cukup lama untuk menunggu pengunjung yang turun dari lantai 8. Fasilitas rehat berupa cafe yang nyaman dan modern ada di dekat kastil pun menjadi pertanda bahwa tempat ini menawarkan gaya hidup high class bagi pengunjung.
Bukan hanya itu, keberadaan kastil yang dikelilingi parit ditawarkan untuk wisata mengililingi parit. Belum lagi di sekeliling kastil dipadati pohon sakura yang bermekaran pada saat bulan Maret hingga bula Mei bagi kebanyakan orang akan menambah eksotiknya Kastil Osaka.
Daya tarik di Kastil Osaka sebagai objek wisata kota dan dijadikan sport photo bisa jadi telah menghasilkan jutaan foto yang di simpan oleh wisatawan dari berbagai belahan dunia. Namun, tidak berhenti sampai di situ, wisata kota di Jepang masuk pula sebagai program pembelajaran sekolah formal. Pada hari aktif sekolah, tidak jarang akan dijumpai serombongan siswa beserta guru pendampingnya ikut serta memadati halaman kastil, sehingga menyisakan pemandangan unik lainnya.
Guru dan Murid datang ke Kastil Osaka untuk Belajar | Foto: Sendratari, Nopember 2024
Dalam konteks pembelajaran, pemandangan semacam ini bukanlah hal yang baru di negara kita – Indonesia. Hanya saja, pembelajaran di luar kelas yang memakai label karyawisata dengan beramai-ramai datang ke tempat wisata bahkan jauh sampai menyeberang pulau tampak lebih dominan wisatanya ketimbang karya yang dihasilkan dari suatu aktivitas berwisata. Pengutamaan wisata ketimbang menghasilkan karya sebenarnya sudah menyalahi hakekat karya wisata.
Belum lama ini, penulis berkunjung ke luar Bali dan bertemu dengan serombongan murid yang kebetulan kami menginap satu hotel. Pada saat tengah malam, beberapa kamar yang bersebelah dengan penulis terdengar gaduh. Rupanya, beberapa anak saling berkunjung ke beberapa kamar temannnya, saling bercanda dan ramai.
Pertanyaannya, mengapa karyawisata tampil dengan model semacam itu, ketidakjelasanan agenda kah atau eforia anak-anak saat kumpul dengan sesama temannya. Apa pun itu, dapat dikatakaan masih ada persoalan yang serius atas pilihan metoda belajar karyawisata.
Dalam kaitan ini, di tingkat perencanaan bukan hanya perlu kepastian tentang objek wisata namun tetap harus berorientasi dengan tujuan pembelajaran yang gayut dengan tuntutan kurikulum. Perencanaan yang kurang matang, tujuan yang tidak jelas, pengawasan yang kurang optimal akan membuka ruang atas penyimpangan atas pelaksanaan metode karyawisata.
Padahal Indonesia masih sangat banyak memiliki stok wisata perkotaan yang dapat dijadikan sumber belajar. Kelebihan wisata kota sebagai metode belajar di antaranya: 1) Dekat dengan keseharian siswa; dan 2) Terjangkau.
Umumnya, sumber belajar yang ada di sekitaran kota tergolong jarang dipilih untuk dijadikan media belajar. Faktor penyebabnya kemungkinan karena sering dilalui sehingga ada prakiraan sudah tidak ada lagi yang perlu dipelajari. Padahal, dalam konteks belajar, justru merawat kecurigaan terhadap hal yang terlihat biasa adalah pintu gerbang untuk mendalami pengetahuan.
Di samping itu, mendatangi objek belajar diseputaran kota akan mampu menciptakan sensasi lain dalam belajar, asalkan dilakukan dengan perencanaan matang oleh guru. Setidaknya, dalam perencanaan tersebut akan ada tujuan, prosedur pelaksanaan, jenis aktivitas, luaran dan evaluasi. Lokasi yang dipilih, tujuan belajar, dukungan regulasi pihak sekolah, pemilihan waktu, hasil yang akan dicapai merupakan aspek yang akan menentukan keberhasilan metode karya wisata.
Aktivitas yang dilakukan oleh para siswa di Kastil Osaka menunjukkan adanya persiapan yang matang, karena ditunjukkan dari aktivitas secara berkelompok yang dilakukan oleh siswa. Kehadiran kakak kelasnya menjadi pemandu. Dengan bekal peta dan suruhan yang harus dikerjakan, sang pemandu menjadi pengarah untuk para seniornya menyelesaikan tugas terdapat dari pedoman yang diberikan.
Pemandu mendampingi Adik Kelas dalam Menuntaskan Suruhan | Foto : Sendratari, Nopember 2024
Pola belajar kolaboratif antara senior – yunior diharapkan akan berujung pada penanaman makna tentang apa artinya belajar bersama-sama, saling menghargai satu sama lain. Dalam kaitan ini, masing-masing kelompok akan tumbuh jiwa kompetitif satu sama lainnya agar dapat menyelesaikan tugas yang diberikan dengan sebaik-baiknya. Selain itu, dalam kerja kelompok diharpak tumbuh sikap pengendalian diri atau sikap saling mengendalikan ego.masing-masing.
Tentunya ini memerlukan daya juang dari masing-masing siswa untuk tetap ada di real panduang kegiatan. Ini bisa tercipta manakala ada kepercayaan guru-murid dan murid-murid satu sama lainnya. Setiap siswa akan dihadapkan pada tuntutan daya juang untuk memerangi kebosanan, kecurigaan sehingga setiap kelompok bisa solid dalam mencapai tujuan. Dari pihak guru pun punya kewajiban untuk dapat memberikan kepastian kepada siswa bahwa mengajak belajar keluar kelas akan memberikan “sesuatu” yang membuat mereka terdorong senang belajar.
Dalam kaitan ini seorang guru harus punya kesanggupan untuk mengakomodasi berbagai gaya belajar yang dimiliki para siswa. Gaya belajar visual, auditori dan gaya belajar kinestetik harus bisa diramu untuk dapat mencapai tujuan pembejalaran di luar kelas secara maksimal.
Potret menarik lainnya saat siswa diajak belajar di Kastil Osaka adalah para siswa secara bergiliran diminta untuk menirukan gerakan yang tampak pada gambar yang ditunjukkan oleh guru dengan disaksikan oleh teman-temannya yang lain. Hal ini pun bisa dikatagorikan sebagai cara penanaman kognitif, afektif dan sekaligus psikomotorik siswa melalui cara menirukan/memperagakan sesuatu yang menjadi bagian dari tujuan pembelajaran.
Melajah Sambilang Megae ala Jepang Tampak di Kastil Osaka | Foto: Sendratari, Nopember 2024
Filosofis melajah sambilang megae (belajar sembari bekerja) merupakan filosofis belajar yang bisa di lakukan lintas negara, karena dimanapun aktivitas belajar itu dipraktikkan memang seharusnya memperhitungkan aspek motorik, kinestetik, maupun aktivitas otak.
Meniru sesuatu di depan orang banyak untuk tujuan pembelajaran perlu daya juang karena secara personal siswa dituntut (1) menunjukkan kemampuannya agar sanggup meniru suruhan gurunya; (2) memiliki mental yang bagus, karena disaat memperagakan suruhan dilihat langsung oleh teman-temannya; (3) memiliki pengetahuan awal tentang materi yang sedang dipelajari agar mendapatkan nilai maksimal. Ketiadaan atas ketiganya tersebut dapat saja menimbulkan kecemasan, sehingga perlu daya juang.
Hasil pengamatan di Kastil Osaka diperoleh adanya situasi pembelajaran bermakna yang memberikan pengalaman kepada siswa atas beberapa aspek, yakni : 1) Aspek pengetahuan, yang berkaitan dengan topik yang sedang dipelajari; 2) Aspek Sikap berupa toleransi antar anggota kelompok, kedisiplinan kelompok, ketekunan mengikuti suruhan dan petunjuk selama kegiatan pembelajaran; 3) Aspek keterampilan berkaitan dengan terampil mengerjakan tugas sesuai TOR yang ada di tangan masing-masing kelompok, terampil melaporkan secara lisan maupun terampil membaca peta yang dilengkapi gambar/simbol yang ada di tangan masing-masing kelompok.
Penggunaan media gambar bergerak maupun gambar diam dalam aktivitas belajar bukanlah hal yang baru. Misalnya riset yang dilakukan Indriani dan Trika (2024) tentang Pengembangan Cerita Anak dalam Bentuk Flipbook Interaktif untuk Penguatan Kemampuan Literasi Siswa Kls V SDN Les. Flipbook merupakan buku digital tiga dimensi yang bisa memuat teks, gambar, video, musik atau lagu dan animasi bergerak. Dilihat dari komponen dari buku digital dapat dijadikan media untuk meningkatkan literasi siswa.
Sesuai kebutuhan siswa cerita yang diperlukan adalah cerita berwarna, lucu, ending yang bahagia yang dibuat dengan cerita bergambar yang menarik. Dinamika belajar dalam penggunaan flipbook tampak pada kuis yang harus dikerjakan oleh siswa. Berbeda halnya dengan penggunaan gambar yang difungsikan bukan hanya untuk meningkatkan budaya baca, namun dijadikan medium untuk meningkatkan keterampilan kinestetik siswa, sehingga ada proses peniruan dari pesan yang ada dalam gambar melalui arahan dan pendampingan guru. Namun apapun media yang digunakan guru, sangatlah tergantung dari tujuan pembelajaran.
Pengamatan atas kegiatan belajar siswa di Kastil Osaka memiliki daya tarik tersendiri dalam konteks pembelajaran bermakna. Harus diakui, Indonesia pun tidak sulit menggiatkan model belajar di luar kelas untuk sebuah pembelajaran bernakna.
Setiap kota, desa memiliki potensi keunikan masing-masing yang mudah dijangkau untuk berlatih membangun kecerdasan siswa. Tinggal menjaga komitmen dan regulasi pihak sekolah. Jika ingin mewujudkan motto My Country is The Best masih banyak hal yang harus dilakukan oleh insan pendidikan, sehingga tidak hanya terus menerus dibayangi kekhawatiran pandangan ganti menteri, ganti kurikulum. [T]
BACA artikel lain dari penulis LUH PUTU SENDRATARI