BERJALAN santai menyusuri Pantai Losari di bawah cahaya matahari pagi, sayup-sayup lagu dangdut lama terngiang di telingaku. Lagu dangdut yang berkisah tentang seorang janda yang resah. Liriknya seakan terhampar di depan mata untuk meminta perhatian sejenak pada perasaan.
“Sumpah Benang Emas.” Lagu ini mengisahkan seorang perempuan yang merasakan perihnya perceraian, bukan dari sidang pengadilan dengan segala formalitasnya, melainkan di depan penghulu — sebuah perpisahan yang terasa sangat manusiawi, dekat dengan akar budaya lokal yang kental. Ada semacam kesakralan dalam perpisahan yang tidak perlu menjadi tontonan atau drama yang memerlukan dokumentasi formal. Hanya mereka, janji-janji yang dulunya mengikat, perlahan berlepasan dalam kesepakatan untuk pergi berpisah.
Aku-lagu masih mengingat janji bersama sang mantan suami di losari, yang diucapkan dengan perumpamaan sangat dalam dan puitik — “kusulang bannang bulaeng.” Janji emas itu begitu indah: janji untuk tetap setia walau sudah tidak bersama, kecuali kalau gunung Bawakaraeng bisa dipindah ke Pulau Jawa. Janji ini tidak akan berlaku jika sesuatu yang mustahil terjadi. Gunung tidak mungkin dipindah, tapi hati manusia? Lagu ini seolah menyadari sifat dasar manusia, yang hatinya sering berbolak-balik dan dipermainkan angin perasaan. Hati yang disangka bisa sekeras batu dan seteguh gunung, ternyata begitu rapuh dan begitu luluh.
Kita bisa saja tertawa mengejek saat mendengar kisah (yang mungkin) picisan dari si aku-lagu tersebut, tapi bukankah lagu ini menyentuh rasa kemanusiaan kita yang paling dalam, tentang perasaan, tentang asmara, yang bisa terjadi pada siapa saja? Mungkin juga, saat aku menyusuri Pantai ini, ada janda-janda di tempat lain, di pojok-pojok kota ini, di rumah-rumah, di hotel-hotel, atau di mana saja yang sedang merenungkan janji lama yang tak mungkin ditepati.
Cinta selalu diiringi janji sehingga tampak begitu murni. Tapi hidup melatih kita untuk menghadapinya dalam kenyataan yang kadang jauh dari kata indah. Ketika perasaan sudah terombang-ambing, hati bimbang, angin yang berhembus tak hanya sekadar memainkan rambut, tapi juga membawa kembali kenangan-kenangan lama yang sudah sekuat pikiran diusahakan untuk dilupakan. Hemmm…. Membuat hati ngelangut.
Hal ini menunjukkan sisi manusiawi dari si aku-lagu. Ia seorang janda, mungkin awalnya berharap setia dengan sumpah yang sudah terucap. Namun, perasaan rindu, kesepian, dan mungkin tekanan sosial untuk “cari pengganti” membuatnya goyah. Bukankah ini gambaran manusia yang selalu ada di persimpangan? Tak peduli sekuat apa janji diucapkan, selalu ada keraguan yang menunggu untuk menghantam.
Dalam kultur dangdut, kita sering menemukan karakter seperti ini: janda atau duda, orang yang dikhianati atau yang mengkhianati, manusia yang bergulat dengan perasaan dan janji. Mereka bukan tokoh heroik seperti dalam roman klasik atau drama tragis yang epik; mereka adalah karakter yang ada di sekitar kita, orang-orang biasa yang jatuh, bangkit, dan berusaha mengatasi luka batin mereka dengan cara yang sederhana. Lirik-lirik dangdut yang mungkin tampak sederhana sering kali menyimpan kompleksitas emosi yang mencerminkan kehidupan nyata, sesuatu yang dekat dan terasa.
Ironi dari lagu ini mungkin terletak pada harapan yang terpendam dalam hati sang janda: meski telah berpisah, ada keinginan untuk tetap memiliki jejak kehadiran mantan suami di kehidupannya, dengan ingatan yang dipantik oleh Losari, seakan-akan perpisahan itu sendiri belum cukup menjadi penutup cerita. Bukankah banyak dari kita yang menyimpan kenangan dengan cara demikian? Menggenggam sesuatu yang sebenarnya sudah harus dilepas, sekadar karena tak rela atau tak siap menghadapi kosongnya perasaan.
Di sinilah dangdut “Kusulam Benang Emas” berbicara, dalam kesederhanaannya, bahwa manusia memang selalu terjebak antara kenangan dan kenyataan, antara janji lama dan kehidupan baru.
Pantai Losari, laut yang tenang, wisatawan yang lalu lalang, seolah menjadi saksi untuk setia atau memilih pengganti bagi orang-orang seperti dalam aku-lagu ini. Matahari yang terus meninggi mengingatkan waktu terus berjalan, meskipun kenangan kadang tertahan. Dan di tempat ini, aku seakan mendengar suara-suara sumpah mereka, suara-suara yang mungkin telah berbaur dengan angin. Janji, perasaan, dan kenangan yang pada akhirnya menjadi sekadar cerita yang terbang melayang, lepas bersama hembusan angin laut Makassar. [T]
- BACA ARTIKEL LAIN DARI KIM AL GHOZALI