ADA beberapa perempuan berkulit pucat duduk di kursi kayu panjang di sana. Dengan tatapan takjub, pandangan turis-turis itu selalu mengikuti ke mana pun anak-anak bergerak. Sedangkan anak-anak—yang semuanya laki-laki—yang lincah itu terus bergerak, berpindah, berlari, menari, seperti tak mau berhenti. Anak-anak itu sedang belajar menari Wayang Wong Tejakula.
Sementara anak-anak SD dan SMP itu belajar menari, sambil berdiri seorang pria dewasa, dengan serius, mengamati dan sesekali memberi instruksi, pula tak jarang mengoreksi gerakan yang salah dan menunjukkan gerak yang sebenarnya.
“Gelungan. Ngangsel!” seru pria tersebut saat memberi arahan anak didiknya yang sedang belajar menarikan karakter Kumbakarna. Bocah bertopeng raksasa adik Rahwana itu terus menari, berputar, menunjukkan kebolehannya di bawah arahan sang pelatih, Ketut Sweta Swatara, pria yang dimaksud.
Ketut Sweta Swatara, atau yang akrab dipanggil Eta, merupakan sosok di balik terbentuknya kelompok wayang wong anak-anak di Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali.
Sebagai seniman wayang wong, ia merasa perlu mengajarkan kesenian tua ini kepada anak-anak—untuk regenerasi, pula mendekatkan anak-anak dengan warisan leluhur, katanya.
Anak-anak sedang bersiap latihan Tari Wayang Wong Tejakula | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Tapi menjadi pelatih wayang wong anak-anak jelas bukan rencana awalnya. Sebab pada awalnya ia hanya melatih dua anaknya sendiri dan keponakannya di rumah dan beberapa anak tetangga setelahnya.
Lalu, semua ini seperti terjadi begitu saja saat ia memosting kegiatan belajar-mengajar itu ke media sosial. “Jadilah banyak orang tua yang mau anak-anaknya diajari,” terang Eta sembari tertawa pada sore hari yang cerah, Kamis (17/10/2024).
Eta sempat bimbang. Ia mencoba menggali informasi siapa seniman Wayang Wong Tejakula yang lain yang sudah melakukan hal yang sama, yakni mengajarkan tarian wayang wong kepada anak-anak secara umum. Tapi ia tak mendapat jawaban.
Ternyata selama ini memang belum ada sekaa wayang wong anak-anak di Tejakula. Para seniman wayang wong biasanya hanya mengajarkan tarian ini kepada keluarganya sendiri—secara pribadi.
Dari sana tekad Eta semakin bulat. Jadilah ia, di sela-sela pekerjaannya sebagai front office di salah satu hotel di Tejakula, mengajar tarian wayang wong kepada banyak anak secara umum—dan terbentuklah kelompok Wayang Wong Anak-Anak Tejakula seperti sekarang ini.
“Saya mulai tahun 2020. Awalnya anak-anak dan keponakan saya sendiri. Lalu ketambahan enam anak tetangga,” Eta menerangkan perjalanan terbentuknya sekaa wayang wong anak-anak ini. Merasa apa yang dilakukannya tepat dan bermanfaat, pada tahun tersebut Eta melaporkan niat baiknya kepada Camat Tejakula yang baru.
Anak-anak sedang bersiap latihan Tari Wayang Wong Tejakula | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Gayung bersambut, impian Eta tak bertepuk sebelah tangan. Dengan senang hati Pak Camat mendukung apa yang ia niatkan. “Pak Camat sampai memfasilitasi tempat ini untuk latihan. Dan beliau mengundang lebih banyak anak-anak untuk ikut latihan,” sambung Eta.
Jadilah Eta melatih anak-anak Tari Wayang Wong Tejakula di tempatnya Pak Camat, di Sekretariat Komunitas Jejaring Pemerhati Lingkungan (Jepri-Link), Banjar Dinas Tegal Sumaga, Tejakula, sampai sekarang.
“Setelah saya posting di Facebook, makin banyak orang tua yang mendaftarkan anak-anaknya. Dan, awal 2021, baru latihan sekitar tiga atau empat bulan, sudah ada undangan pentas di Taman Bung Karno (TBK), Singaraja. Waktu itu kami masih gabung dengan Sanggar Seni Rare Mekar Tejakula—karena mereka juga memiliki gamelan,” kata Eta. Para seniman yang tergabung di Sanggar Rare Mekar ini kadang membantu Eta melatih anak-anak.
***
Eta sendiri belajar menari Wayang Wong Tejakula sejak duduk di bangku kelas satu SD, sekitar tahun 1991. Bersama kakaknya ia berguru kepada pamannya. Tak seperti sekarang, Eta bercerita, pamannya cukup keras saat melatih. Eta dan si kakak tak jarang harus ngos-ngosan sabab disuruh lari dan lompat berkali-kali. “Itu dasarnya,” ujar Eta menirukan perkataan pamannya dulu ketika ia dan sang kakak mengeluh.
Ia lahir dan besar di Tejakula. Lahir pada tanggal 26 Februari 1985. Ia sempat merantau ke Denpasar setelah lulus SMA, saat melanjutkan pendidikan di Diploma II Sekolah Tinggi Parawisata. “Dulu mau kerja di kapal,” katanya. Tapi karena sang ibu sendirian di rumah sejak ditinggal suaminya, Eta mengurungkan niatnya. Ia pulang ke Tejakula, dan mulai menari wayang wong sakral di pura pada tahun 2005-an.
(Sekadar informasi, Wayang Wong Tejaluka yang sakral—yang dipentaskan di pura dalam rangkaian ritual—hanya boleh ditarikan oleh orang-orang yang memiliki darah keturunan penari wayang wong sebelumnya—entah bapak atau kakeknya atau leluhurnya dulu—dan mereka yang memiliki kaul.)
“Saya menari wayang wong sakral sebelum nganten [menikah], makanya perlu lapor, matur piyuning, dulu ke ketua sekaa setiap kali mau menari. Dan saya harus bawa banten ke pura yang mementaskan wayang wong. Kalau sudah nikah nggak perlu begitu, seperti sekarang,” terang Eta. Ia menikah pada tahun 2015, sepuluh tahun setelah memutuskan untuk ngaturang ngayah kepada sekaa Wayang Wong Tejakula.
Ketut Sweta Swatara | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Pertama kali ikut ngayah menarikan wayang wong di pura, Eta kebagian salah satu karakter pasukan Raja Wanara Sugriwa—walaupun sejak SMP ia sudah belajar menarikan sosok Wibisana dari pamannya. “Karena waktu itu yang jadi Wibisana sudah ada, lebih senior lah,” ujarnya.
Selama belajar Tari Wayang Wong, selain pamannya, sosok sang kakak juga sangat berpengaruh. Eta mengatakan kakaknya sangat tekun belajar tarian yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO ini. Dan ia sangat kagum saat melihat atau menonton kakaknya menarikan sosok Hanoman si kera putih itu.
Berkat arahan kakaknya pula ia mau menarikan tokoh-tokoh hewan mitologi macam Jatayu, Goaksa, atau Ganapati sebelum akhirnya percaya diri dan dipercaya sekaa menarikan tokoh prabu—seperti Laksamana dan Wibisana—sampai sekarang.
“Pertama kali menari di pura itu menarikan tokoh burung, Goaksa atau Jatayu, baru pindah ke tokoh Ganapati, seekor gajah. Paling lama saya ‘menjadi’ gajah. Setelah di gajah, saya sempat menarikan tokoh Sempati dan Druwenda, senopati di medan perang melawan pasukan Rahwana.
Ketut Sweta Swatara saat melatih Tari Wayang Wong | Foto: tatkala.co/Jaswanto
“Setelah itu baru menarikan tokoh prabu, jadi Laksamana dulu baru Wibisana. Sekarang rencananya mau menarikan tokoh Meganada, masih proses belajar,” jelas Eta sambil tersenyum.
Di Tejakula, Eta termasuk penari wayang wong yang, tak hanya cakap saat menari, tapi juga artikulatif saat menjelaskan terkait seputar pengetahuan Wayang Wong Tejakula. Apalagi, dengan keahliannya dalam berbahasa Inggris, banyak wisatawan asing yang mendapat penjelasan darinya. Itu nilai plus.
Berkat niat Eta yang tulus, Wayang Wong Tejakula sepertinya akan terus menyala; tak sekadar sebagai rangkaian upacara agama, pula sebagai hiburan adiluhung yang mewarnai panggung-panggung seni pertunjukan modern. Pengetahuan gerak, pakem, nilai-nilai, karakter, ia ajarkan dengan serius dan hati-hati kepada setiap anak didiknya.
Wayang Wong Tejakula tak khawatir soal regenerasi.
***
Selama ini, Eta tak memungut uang sepeser pun dari anak-anak yang ikut latihan Tari Wayang Wong. Tapi, dan ini yang membuat kagum orang-orang, berkat Camat Tejakula Gede Suyasa, setiap anak yang ikut latihan dianjurkan membawa sampah plastik setiap minggu sebagai, katakanlah, “bayaran”.
“Jadi ini ide Pak Camat,” ungkap Eta. Wajar, sebab sebelum menjabat sebagai camat, Suyasa memang seorang pemerhati lingkungan.
Itu menjadi sesuatu yang menarik perhatian—termasuk orang-orang manca. Jadi, seminggu sebelum latihan, anak-anak didik Eta akan berusaha mengumpulkan sampah plastik, sebanyak-banyaknya. Mengenai hal ini, tak jarang orang tua juga ikut turun tangan membantu mengumpulkan sampah plastik, supaya anaknya bisa ikut latihan.
“Saya percaya bahwa menjaga dan melestarikan lingkungan juga merupakan praktik kebudayaan. Dan kesenian tentu bisa kita jadikan sebagai wadah untuk anak-anak belajar mencintai lingkungan juga. Jadi disisipkan pengetahuannya, pelan-pelan,” kata Suyasa sembari tertawa.
Seorang anak sedang memakai topeng Kumbakarna | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Sejak awal kelompok Wayang Wong Anak-Anak Tejakula ini memang tidak diniatkan untuk mencari pundi-pundi rupiah. Ini dibuat memang untuk keperluan pelestarian kesenian dan usaha, sedikit demi sedikit, mengurangi waktu anak-anak bermain smartphone, pula mengajak anak-anak untuk bergerak, berolahraga.
“Kami tidak pernah mematok harga saat anak-anak diminta tampil di suatu acara. Paling hanya cukup untuk transportasi atau konsumsi aja kami sudah bersyukur. Yang jelas, anak-anak di sini kami beri pemahaman bahwa menari itu orientasinya bukan upah,” kata Eta, tegas.
Untuk keperluan pakaian, tapel (topeng), dan sebagainya, menurut Suyasa—dan itu diamini oleh Eta—kelompok ini masih bergantung dari donasi yang diberikan oleh wisatawan yang berkunjung ke tempat latihan mereka dan hasil penjualan produk dari sampah plastik yang dikumpulkan anak-anak. Ya, di sela-sela mereka latihan menari, mereka juga diajari membuat sofa dari ecobrick—sofa dari sampah plastik.
Seorang anak sedang memakai topeng Hanoman | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Eta dan Suyasa semakin bersemangat saat anak-anak ini mulai mendapat panggung di jagat kesenian Bali. Beberapa kali mereka sudah pentas di luar Tejakula. Dan tanggal 30 bulan ini, mereka akan pentas di lapangan Tejakula, di acara sosialisasi KPU.
Akhirnya, Pemerintah Buleleng harus segera memperhatikan orang-orang seperti Eta, yang dengan tulus, tanpa lelah, berusaha menjaga spirit dan pengetahuan Wayang Wong Tejakula tetap menyala.
“Sampai sekarang sudah ada 43 anak yang ikut berlatih. Ada yang sudah SMP, banyak juga yang masih SD,” Eta memberi keterangan. Sampai sekarang, anak-anak Tejakula berlatih Tari Wayang Wong setiap satu minggu sekali, pada hari Minggu, saat anak-anak libur sekolah.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole
Catatan: Artikel ini ditulis dan disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian dan Statistik (Kominfosanti) Kabupaten Buleleng.