9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Ketut Sweta Swatara, Menjaga Nyala Wayang Wong Tejakula

JaswantobyJaswanto
October 19, 2024
inPersona
Ketut Sweta Swatara, Menjaga Nyala Wayang Wong Tejakula

Ketut Sweta Swatara | Foto: tatkala.co/Jaswanto

ADA beberapa perempuan berkulit pucat duduk di kursi kayu panjang di sana. Dengan tatapan takjub, pandangan turis-turis itu selalu mengikuti ke mana pun anak-anak bergerak. Sedangkan anak-anak—yang semuanya laki-laki—yang lincah itu terus bergerak, berpindah, berlari, menari, seperti tak mau berhenti. Anak-anak itu sedang belajar menari Wayang Wong Tejakula.

Sementara anak-anak SD dan SMP itu belajar menari, sambil berdiri seorang pria dewasa, dengan serius, mengamati dan sesekali memberi instruksi, pula tak jarang mengoreksi gerakan yang salah dan menunjukkan gerak yang sebenarnya.

“Gelungan. Ngangsel!” seru pria tersebut saat memberi arahan anak didiknya yang sedang belajar menarikan karakter Kumbakarna. Bocah bertopeng raksasa adik Rahwana itu terus menari, berputar, menunjukkan kebolehannya di bawah arahan sang pelatih, Ketut Sweta Swatara, pria yang dimaksud.

Ketut Sweta Swatara, atau yang akrab dipanggil Eta, merupakan sosok di balik terbentuknya kelompok wayang wong anak-anak di Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali.

Sebagai seniman wayang wong, ia merasa perlu mengajarkan kesenian tua ini kepada anak-anak—untuk regenerasi, pula mendekatkan anak-anak dengan warisan leluhur, katanya.

Anak-anak sedang bersiap latihan Tari Wayang Wong Tejakula | Foto: tatkala.co/Jaswanto

Tapi menjadi pelatih wayang wong anak-anak jelas bukan rencana awalnya. Sebab pada awalnya ia hanya melatih dua anaknya sendiri dan keponakannya di rumah dan beberapa anak tetangga setelahnya.

Lalu, semua ini seperti terjadi begitu saja saat ia memosting kegiatan belajar-mengajar itu ke media sosial. “Jadilah banyak orang tua yang mau anak-anaknya diajari,” terang Eta sembari tertawa pada sore hari yang cerah, Kamis (17/10/2024).

Eta sempat bimbang. Ia mencoba menggali informasi siapa seniman Wayang Wong Tejakula yang lain yang sudah melakukan hal yang sama, yakni mengajarkan tarian wayang wong kepada anak-anak secara umum. Tapi ia tak mendapat jawaban.

Ternyata selama ini memang belum ada sekaa wayang wong anak-anak di Tejakula. Para seniman wayang wong biasanya hanya mengajarkan tarian ini kepada keluarganya sendiri—secara pribadi.

Dari sana tekad Eta semakin bulat. Jadilah ia, di sela-sela pekerjaannya sebagai front office di salah satu hotel di Tejakula, mengajar tarian wayang wong kepada banyak anak secara umum—dan terbentuklah kelompok Wayang Wong Anak-Anak Tejakula seperti sekarang ini.

“Saya mulai tahun 2020. Awalnya anak-anak dan keponakan saya sendiri. Lalu ketambahan enam anak tetangga,” Eta menerangkan perjalanan terbentuknya sekaa wayang wong anak-anak ini. Merasa apa yang dilakukannya tepat dan bermanfaat, pada tahun tersebut Eta melaporkan niat baiknya kepada Camat Tejakula yang baru.

Anak-anak sedang bersiap latihan Tari Wayang Wong Tejakula | Foto: tatkala.co/Jaswanto

Gayung bersambut, impian Eta tak bertepuk sebelah tangan. Dengan senang hati Pak Camat mendukung apa yang ia niatkan.  “Pak Camat sampai memfasilitasi tempat ini untuk latihan. Dan beliau mengundang lebih banyak anak-anak untuk ikut latihan,” sambung Eta.

Jadilah Eta melatih anak-anak Tari Wayang Wong Tejakula di tempatnya Pak Camat, di Sekretariat Komunitas Jejaring Pemerhati Lingkungan (Jepri-Link), Banjar Dinas Tegal Sumaga, Tejakula, sampai sekarang.

“Setelah saya posting di Facebook, makin banyak orang tua yang mendaftarkan anak-anaknya. Dan, awal 2021, baru latihan sekitar tiga atau empat bulan, sudah ada undangan pentas di Taman Bung Karno (TBK), Singaraja. Waktu itu kami masih gabung dengan Sanggar Seni Rare Mekar Tejakula—karena mereka juga memiliki gamelan,” kata Eta. Para seniman yang tergabung di Sanggar Rare Mekar ini kadang membantu Eta melatih anak-anak.

***

Eta sendiri belajar menari Wayang Wong Tejakula sejak duduk di bangku kelas satu SD, sekitar tahun 1991. Bersama kakaknya ia berguru kepada pamannya. Tak seperti sekarang, Eta bercerita, pamannya cukup keras saat melatih. Eta dan si kakak tak jarang harus ngos-ngosan sabab disuruh lari dan lompat berkali-kali. “Itu dasarnya,” ujar Eta menirukan perkataan pamannya dulu ketika ia dan sang kakak mengeluh.

Ia lahir dan besar di Tejakula. Lahir pada tanggal 26 Februari 1985. Ia sempat merantau ke Denpasar setelah lulus SMA, saat melanjutkan pendidikan di Diploma II Sekolah Tinggi Parawisata. “Dulu mau kerja di kapal,” katanya. Tapi karena sang ibu sendirian di rumah sejak ditinggal suaminya, Eta mengurungkan niatnya. Ia pulang ke Tejakula, dan mulai menari wayang wong sakral di pura pada tahun 2005-an.

(Sekadar informasi, Wayang Wong Tejaluka yang sakral—yang dipentaskan di pura dalam rangkaian ritual—hanya boleh ditarikan oleh orang-orang yang memiliki darah keturunan penari wayang wong sebelumnya—entah bapak atau kakeknya atau leluhurnya dulu—dan mereka yang memiliki kaul.)

“Saya menari wayang wong sakral sebelum nganten [menikah], makanya perlu lapor, matur piyuning, dulu ke ketua sekaa setiap kali mau menari. Dan saya harus bawa banten ke pura yang mementaskan wayang wong. Kalau sudah nikah nggak perlu begitu, seperti sekarang,” terang Eta. Ia menikah pada tahun 2015, sepuluh tahun setelah memutuskan untuk ngaturang ngayah kepada sekaa Wayang Wong Tejakula.

Ketut Sweta Swatara | Foto: tatkala.co/Jaswanto

Pertama kali ikut ngayah menarikan wayang wong di pura, Eta kebagian salah satu karakter pasukan Raja Wanara Sugriwa—walaupun sejak SMP ia sudah belajar menarikan sosok Wibisana dari pamannya. “Karena waktu itu yang jadi Wibisana sudah ada, lebih senior lah,” ujarnya.

Selama belajar Tari Wayang Wong, selain pamannya, sosok sang kakak juga sangat berpengaruh. Eta mengatakan kakaknya sangat tekun belajar tarian yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO ini. Dan ia sangat kagum saat melihat atau menonton kakaknya menarikan sosok Hanoman si kera putih itu.

Berkat arahan kakaknya pula ia mau menarikan tokoh-tokoh hewan mitologi macam Jatayu, Goaksa, atau Ganapati sebelum akhirnya percaya diri dan dipercaya sekaa menarikan tokoh prabu—seperti Laksamana dan Wibisana—sampai sekarang.

“Pertama kali menari di pura itu menarikan tokoh burung, Goaksa atau Jatayu, baru pindah ke tokoh Ganapati, seekor gajah. Paling lama saya ‘menjadi’ gajah. Setelah di gajah, saya sempat menarikan tokoh Sempati dan Druwenda, senopati di medan perang melawan pasukan Rahwana.

Ketut Sweta Swatara saat melatih Tari Wayang Wong | Foto: tatkala.co/Jaswanto

“Setelah itu baru menarikan tokoh prabu, jadi Laksamana dulu baru Wibisana. Sekarang rencananya mau menarikan tokoh Meganada, masih proses belajar,” jelas Eta sambil tersenyum.

Di Tejakula, Eta termasuk penari wayang wong yang, tak hanya cakap saat menari, tapi juga artikulatif saat menjelaskan terkait seputar pengetahuan Wayang Wong Tejakula. Apalagi, dengan keahliannya dalam berbahasa Inggris, banyak wisatawan asing yang mendapat penjelasan darinya. Itu nilai plus.

Berkat niat Eta yang tulus, Wayang Wong Tejakula sepertinya akan terus menyala; tak sekadar sebagai rangkaian upacara agama, pula sebagai hiburan adiluhung yang mewarnai panggung-panggung seni pertunjukan modern. Pengetahuan gerak, pakem, nilai-nilai, karakter, ia ajarkan dengan serius dan hati-hati kepada setiap anak didiknya.

Wayang Wong Tejakula tak khawatir soal regenerasi.

***

Selama ini, Eta tak memungut uang sepeser pun dari anak-anak yang ikut latihan Tari Wayang Wong. Tapi, dan ini yang membuat kagum orang-orang, berkat Camat Tejakula Gede Suyasa, setiap anak yang ikut latihan dianjurkan membawa sampah plastik setiap minggu sebagai, katakanlah, “bayaran”.

“Jadi ini ide Pak Camat,” ungkap Eta. Wajar, sebab sebelum menjabat sebagai camat, Suyasa memang seorang pemerhati lingkungan.

Itu menjadi sesuatu yang menarik perhatian—termasuk orang-orang manca. Jadi, seminggu sebelum latihan, anak-anak didik Eta akan berusaha mengumpulkan sampah plastik, sebanyak-banyaknya. Mengenai hal ini, tak jarang orang tua juga ikut turun tangan membantu mengumpulkan sampah plastik, supaya anaknya bisa ikut latihan.

“Saya percaya bahwa menjaga dan melestarikan lingkungan juga merupakan praktik kebudayaan. Dan kesenian tentu bisa kita jadikan sebagai wadah untuk anak-anak belajar mencintai lingkungan juga. Jadi disisipkan pengetahuannya, pelan-pelan,” kata Suyasa sembari tertawa.

Seorang anak sedang memakai topeng Kumbakarna | Foto: tatkala.co/Jaswanto

Sejak awal kelompok Wayang Wong Anak-Anak Tejakula ini memang tidak diniatkan untuk mencari pundi-pundi rupiah. Ini dibuat memang untuk keperluan pelestarian kesenian dan usaha, sedikit demi sedikit, mengurangi waktu anak-anak bermain smartphone, pula mengajak anak-anak untuk bergerak, berolahraga.

“Kami tidak pernah mematok harga saat anak-anak diminta tampil di suatu acara. Paling hanya cukup untuk transportasi atau konsumsi aja kami sudah bersyukur. Yang jelas, anak-anak di sini kami beri pemahaman bahwa menari itu orientasinya bukan upah,” kata Eta, tegas.

Untuk keperluan pakaian, tapel (topeng), dan sebagainya, menurut Suyasa—dan itu diamini oleh Eta—kelompok ini masih bergantung dari donasi yang diberikan oleh wisatawan yang berkunjung ke tempat latihan mereka dan hasil penjualan produk dari sampah plastik yang dikumpulkan anak-anak. Ya, di sela-sela mereka latihan menari, mereka juga diajari membuat sofa dari ecobrick—sofa dari sampah plastik.

Seorang anak sedang memakai topeng Hanoman | Foto: tatkala.co/Jaswanto

Eta dan Suyasa semakin bersemangat saat anak-anak ini mulai mendapat panggung di jagat kesenian Bali. Beberapa kali mereka sudah pentas di luar Tejakula. Dan tanggal 30 bulan ini, mereka akan pentas di lapangan Tejakula, di acara sosialisasi KPU.

Akhirnya, Pemerintah Buleleng harus segera memperhatikan orang-orang seperti Eta, yang dengan tulus, tanpa lelah, berusaha menjaga spirit dan pengetahuan Wayang Wong Tejakula tetap menyala.

“Sampai sekarang sudah ada 43 anak yang ikut berlatih. Ada yang sudah SMP, banyak juga yang masih SD,” Eta memberi keterangan. Sampai sekarang, anak-anak Tejakula berlatih Tari Wayang Wong setiap satu minggu sekali, pada hari Minggu, saat anak-anak libur sekolah.[T]

Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole

Catatan: Artikel ini ditulis dan disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian dan Statistik (Kominfosanti) Kabupaten Buleleng.

Pemuda-Pemuda Buleleng Ukir Prestasi di Beragam Bidang: Dari Seni, Olahraga Hingga Pertanian
Cak Kartolo, Legenda Hidup Ludruk Jawa Timur
Dua Jam Bersama Luh Menek
Nyoman Arya Suriawan, Generasi Penerus Gde Manik
Tags: Ketut Sweta Swatarawayang wongWayang Wong Anak-Anak TejakulaWayang Wong Tejakula
Previous Post

Dirah dan Pilkada dalam Mozaik Asik, Sebuah Pameran Kebebasan Seniman Muda Undiksha

Next Post

Sajak-Sajak Angga Wijaya | Meditasi Akhir Tahun

Jaswanto

Jaswanto

Editor/Wartawan tatkala.co

Next Post
Sajak-Sajak Angga Wijaya | Meditasi Akhir Tahun

Sajak-Sajak Angga Wijaya | Meditasi Akhir Tahun

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co