PEMANDANGAN ini adanya di areal Gedung Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II Singaraja di Jalan Veteran, Kamis, 17 Oktober 2024.
Suara mesin mendesing dan semprotan air menyala deras terdengar dari sebuah tempat untuk mencuci motor. Di tempat yang sama juga, sekitar lima langkah saja ke arah barat, gelas berdencing. Semua terdengar gembira dari dapur kedai kopi.
Ada juga seseorang sedang sibuk melukis di pohon, di beranda barbershop. Itu adalah barbershop binaan Lapas pada
Semua aktivitas itu dilakukan oleh narapidana (napi). Tentu, tidak mudah pihak Lapas Kelas II Singaraja dalam membina narapidana sampai di titik dimana mereka diberikan kepercayaan lebih untuk bisa keluar, dan melakukan aktivitas normal dan menyenangkan, bahkan hingga sore.
Di kedai kopi misalnya, orang-orang mengobrol biasa, dan normal memesan kopi. Es kopi yang segar, pelayanan yang ramah dari napi. Atau motor yang bersih dan juga pelayanannya yang tak kalah ramah sebelum di cuci. Adalah suasana yang menyenangkan di sekitar Lapas itu.
Tempat nongkrong yang asik. Tempat cuci motor yang asik. Juga tempat potong rambut yang bermodel. Ahoy. Apalagi dengan beberapa pohon sedang dilukis, dinantikan keindahannya dari tangan napi yang terampil dan manis.
Kepala lapas Singaraja I Gusti Lanang Agus Cahyana Putra (pakai udeng) saat melihat napi sedang melukis pohon | Foto: tatkala.co/Son
Dari situ, kita membayangkan, wajah Lapas benar-benar tak mengerikan amat untuk didekati, bahkan sangat rekomen untuk ditongkrongi hingga malam jam 19.00 WITA. Tapi jangan masuk ke dalam Lapas ya. Itu sangat tidak direkomendasikan. Hehe..
“Memang ada beberapa kreatifitas yang disiapkan oleh kami. Mulai dari cucian motor, coffe shop, barbershop, kemudian kegiatan di dalam (Lapas) itu ada juga kerajinan (handmade) dari warga binaan yang berbahan baku dari koran, dibuat kerajinan-kerajinan untuk bikin bokor dan lain-lain. kemudian ada juga tataboga, penglasan, bengkel, jadi macam-macamlah kegiatan warga binaan.”
Itu kata Kepala Lapas Singaraja I Gusti Lanang Agus Cahyana Putra yang saat itu sedang berada di kedai kopi binaannya.
“Termasuk juga ini melukis, jadi warga binaan kita ada yang pandai melukis—selain melukis di media kertas, kita arahkan melukis pohon sekarang,” lanjut Lanang Agus.
Ia juga menjelaskan, warga binaan (narapidana) yang bisa keluar untuk melakukan usaha terikat aturan yang sangat ketat. “Kalau tidak ada aturan kita tak berani. Jadi ada aturan syarat-syarat minimal yang harus mereka (para napi) penuhi,” katanya.
Dalam proses napi bisa melakukan usahanya di luar, juga melalui penilaian dari Tim Pengamatan Pemasyarakatan (TPP). Dari pengamatan itu memang warga binaan yang bisa keluar harus memiliki kategori khusus, yaitu minimum security. Jadi setelah melalui tahapan-tahapan tersebut, barulah bisa keluar dan berusaha.
“Jadi tidak sembarang mengeluarkan orang (warga binaan), minimal dipertimbangkan ang hukumannya berapa, kemudian kasusnya apa, kemudian dia sudah menjalani berapa lama, jadi memang harus seperti itu.” ucapnya lugas.
Lapas dan Humanisme pada Tahanan
Ada tiga orang narapidana yang masing-masing menjalankan usaha kedai kopi, steam motor, dan potong rambut. “Mereka (warga binaan yang sedang menjalankan usaha) itu sudah menjalani setengah, bahkan kadang sudah dua pertiga—tinggal menunggu bebas aja,” katanya.
Pertanggal 17 Oktober 2024, di Lapas Singaraja terdapat tahanan berjumlah 84, dengan jumlah laki-laki 77 dan perempuan 7 orang. Sementara narapidana terdapat 236, terdiri dari 223 laki-laki dan 13 perempuan.
Menurut Agus Cahyana Putra, warga Lapas diperlakukannya sangat baik. Tersedianya makanan hingga kesehatan. Tapi ia menyayangkan, jika perihal kebutuhan biologis, pihaknya tidak bisa membantu sampai ke ranah itu karena memang, ada aturan untuk itu.
“Terkait kebutuhan biologis. Secara aturan, memang tidak ada yang memperbolehkan pembinaan untuk kebutuhan biologis. Jadi, selama berada di dalam lapas, tidak ada tempat, di dalam ini untuk menyalurkan biologisnya (seksual). Jadi, narapidana di dalam ini, kalau nonton tivi bisa, kalo bertemu anak istri bisa, makan disiapkan, (petugas) kesehatan disiapkan, dan mereka memang pusingnya itu, tidak bisa ketemu istri (untuk melakukan hubungan badan),” jelas Kepala Lapas Singaraja saat sesi acara silaturahmi dengan pelaku media di Aula Nusantara Lapas Singaraja tadi pagi.
“Jadi itulah beratnya, narapidana di dalam ini terkait dengan kebutuhan biologisnya, dan kami tidak bisa memberikan apa yang tidak diatur dalam aturan, pastinya di semua lapas di Indonesia juga demikian,” lanjutnya.
Seorang napi menjalankan usaha pencucian motor | Foto: tatkala.co/Son
Ia menjelaskan secara keseluruhan orang-orang yang bertugas di lapas terdiri dari 75 orang, “Nah, tapi dalam satu regu pengamanan itu 7 orang. Jadi, 7 orang itulah yang kalau hari minggu atau hari libur, itu jaga, tiga ratusan orang di dalam. Kalau untuk yang di luar ini ada tiga orang (warga binaan) dan di backup (dijaga)oleh staf-staf yang hadir,” jelasnya.
Dalam pengamanan tersebut, ia berharap kondisi aman menyertai warga Lapas, dan untuk menghindari hal-hal di luar dari dugaannya, secara berkala, pihaknya terus melakukan evaluasi. “Melakukan brifing kepada mereka, mengingatkan apa yang boleh, apa yang tidak. Sehingga tidak sampai muncul (timbul) keinginan-keinginan yang tidak baik dari mereka,” lanjutnya.
Sementara, untuk mengenalkan kepada masyarakat narapidana yang jika suatu saat keluar dan bebas, aktivitas-aktivitas yang disediakan oleh pihak Lapas melalui woirausaha dan pelatihan-pelatihan soft skill adalah upaya untuk mengembalikan stereotip negatif masyarakat kepada mantan napi. Bahwa, mantan napi dapat diandalkan.
“Jadi, upaya ini adalah cara kami untuk memperkenalkan ke masyarakat. bahwa (konotasi) Lapas itu tidak hanya seram dari luar aja, tetapi juga, bagaimana, masyarakat juga mesti tahu bahwa mereka (warga binaan) ada yang juga bisa cukur, membuat kopi, bisa ini, bisa itu (positif). Di sini kita tidak memikirkan keuntungan, tetapi memikirkan tapi bagaimana mereka bisa dikenal masyarakat. Kalau bisa dibandingkan cucian motor kita dengan tempat lain, jauh bisa lebih murah, karena kita tidak memikirkan keuntungan, tapi kita memikirkan mereka itu bisa dikenal oleh masyarakat, mereka bisa dilihat bahwa warga binaan ini, bisa bermanfaat, bisa bekerja,” kata I Gusti Lanang Agus Cahyana Putra dengan penuh keyakinan. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto