SEDARI pagi, Balai Banjar Geriya di Desa Kawan, Bangli, sudah dipadati oleh para warga dan pemuda-pemudi. Sejak pukul 08.00 Wita, mereka sudah mengantre untuk registrasi keikutsertaan. Seusai mencatatkan namanya di buku registrasi, mereka pun duduk lesehan di karpet yang telah digelar, mereka saling bencengkerama satu sama lain sembari menanti acara dimulai.
Kala itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerja sama dengan Forum Koordinasi Pencegahan Paham Radikal Terorisme (FKPT) Provinsi Bali, menyelenggarakan kegiatan Kenali dan Peduli Lingkungan Sendiri (Kenduri) pada 15 Oktober 2024, di Banjar Geriya, Desa Kawan, Bangli. Pelaksanaan kali ini mengambil tajuk “Kenduri untuk Wujudkan Desa Siaga dengan Resiliensi”.
Tepat pukul 09.00 Wita, acara pun dimulai dengan pembukaan secara formal, seperti acara-acara sosialisasi pada umumnya. Kegiatan Kenduri juga turut dihadiri oleh Kaban Kesbangpol Provinsi Bali, Kaban Kesbangpol Kabupaten Bangli, Kakan Kemenag Kabupaten Bangli, Camat Bangli, Kapolsek Bangli, Danramil 1626-01 Kecamatan Bangli, Lurah Kawan, Bendesa Adat Kawan, Kelian Banjar Adat Geriya, dan Kelian Dinas Banjar Adat Geriya.
Setelah melewati acara pembukaan yang begitu singkat, acara beralih dengan sesi penyampaian materi yang diisi oleh beberapa narasumber, mulai dari Ir. I Made Kirmanjaya (Kepala Badan Kesbangpol Bangli), Maira Himadhani, S.T., M.Sc. (Sub. Koordinator Partisipasi Masyarakat, BNPT), dan Dyah Kusumawati (Akademisi, penggiat media). Penyampaian materi pada sesi pertama oleh Ir. I Made Kirmanjaya dan Maira Himadhani, dipandu dengan hangat oleh I Made Adnyana, S.H., M.H.
Terlihat dari raut wajah para peserta, banyak di antara mereka yang masih terbawa suasana tegang akibat acara pembukaan yang begitu formal. Adnyana pun membuka sesi penyampaian materi dengan lebih santai. Ia melontarkan beberapa pantun, sesekali juga diisi sedikit celetukan bercanda untuk mencairkan suasana.
Drs. I Nyoman Suarsa, M.Pd. (salah satu warga) bertanya kepada narasumber | Foto: Dede
Sehabis penyampaian materi yang lumayan berat nan padat, Made Adnyana kemudian mempersilakan Dyah Kusumawati untuk mengisi sekaligus memandu acara berikutnya. Berbeda dari dua narasumber sebelumnya, Dyah Kusumawati melanjutkan kegiatan dengan mengajak seluruh peserta dan tamu undangan untuk berdiskusi bersama dengan cara yang mengasyikan.
Sebelum memulai diskusi, ia mengajak seluruh peserta melakukan ice breaking, selain untuk mencairkan suasana, juga untuk meregangkan badan yang terlampau lama duduk. Semua peserta diarahkan berdiri kemudian membentuk lingkaran besar.
Mereka diajak bermain games perkenalan, yaitu berkenalan dengan cara menyenangkan lewat permainan. Dyah Kusumawati berada di tengah-tengah mereka untuk memberikan instruksi seraya menunjuk beberapa orang untuk mulai memperkenalkan diri.
Dyah Kusumawati saat memandu Ice Breaking | Foto: Dede
Seusai melakukan ice breaking, Dyah membagi seluruh peserta menjadi lima kelompok untuk mendiskusikan berbagai ancaman yang bisa menyebabkan radikalisme tumbuh subur. Semua peserta tampak begitu antusias mengikuti arahannya. Berbagai kalangan membaur menjadi satu, mulai dari anak muda, dewasa, hingga para tamu undangan juga ikut bermain dan berdiskusi bersama. Mereka terlihat seperti murid sekolah dasar yang tengah diajarkan oleh gurunya.
Mereka kemudian melangsungkan diskusi dengan duduk melingkar bersama kelompok masing-masing. Sebelum berdiskusi, mereka diberikan waktu makan bersama untuk memupuk rasa keakraban serta membangun chemistry antar anggota kelompok.
Seusai makan bersama, Masing-masing kelompok diberikan secarik kertas manila dan sebuah spidol untuk menggambar pohon yang menggambarkan pemetaan masalah. Pohon yang digambar wajib berisi akar, batang, ranting, hingga daun. Kemudian, bagian-bagian pohon tersebut dianalogikan dengan berbagai ancaman dan resiko yang bisa memunculkan sikap radikal. Selain itu, mereka juga diminta untuk memberikan solusi atau langkah pencegahan yang dapat dilakukan.
Setiap kelompok juga diminta menampilkan yel-yel kreatif nan aktraktif saat membuka dan menutup presentasi. Seluruh peserta nampak sangat bersemangat, khususnya bapak-bapak warga banjar Geriya. Yel-yel dan presentasi tidak hanya sekadar tampil, tetapi juga dipilih tiga kelompok terbaik untuk menerima hadiah.
Suasana ketika setiap kelompok berdiskusi dan menyiapkan peranti presentasi | Foto: Dede
Keseruan Kenduri tak hanya sampai di situ, setelah selesai menyajikan presentasi dan menampilkan yel-yel, seluruh peserta diajak untuk melakukan cerdas cermat atau disebut juga dengan kuis ala tiktokers. Seluruh peserta berbaris memanjang ke belakang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar Indonesia secara bergantian. Dalam waktu yang singkat, tampak banyak peserta yang gugur karena tidak bisa menjawab. Hingga pada akhirnya, hanya menyisakan tiga orang untuk berebut juara 1, 2, dan 3.
Suasana saat seluruh peserta mengikuti cerdas cermat atau kuis ala tiktokers | Foto: Dede
Foto bersama pemenang yel-yel, presentasi, dan cerdas cermat | Foto: Dede
Kegiatan Kenali dan Peduli Lingkungan Sendiri alias Kenduri ini dilaksanakan sebagai upaya penyadartahuan kepada masyarakat, khususnya warga banjar Geriya dan sekitarnya. Agar senantiasa waspada, serta meningkatkan daya tangkal terhadap pengaruh radikalisme dan terorisme yang tak dapat terdeteksi benih-benihnya.
“Radikalisme dan Terorisme bisa muncul dari kelengahan, jadi kita harus selalu waspada!” ucap Drs. I Gusti Ngurah Wiryanata, M.Si. selaku Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Bali sekaligus Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Bali saat memberikan sambutan sebelum membuka acara secara resmi.
Wiryanata juga mengatakan, Bangli merupakan daerah dengan indeks potensi terorisme dan radikalisme yang rendah. Akan tetapi, justru daerah-daerah seperti inilah yang menjadi sasaran empuk. Menurutnya, di tempat-tempat setenang inilah mereka bisa menyemaikan benih-benih radikalisme.
“Meski tidak ada kegiatan terror sepanjang tahun 2023, kita tidak boleh lalai. Dari segi kuantitas mungkin tidak ada, tetapi dari segi kualitas ia begitu meningkat. Kini pelaku bom tidak hanya laki-laki, tetapi sudah melibatkan kaum perempuan, dalam hal ini yang dimaksud adalah istri maupun satu keluarga,” sambungnya.
Wiryanata juga menyampaikan bagaimana memilukannya tragedi yang pernah terjadi di tanah pulau dewata pada 22 tahun silam. “Kemarin dalam sebuah kesempatan, ketika para penyintas menyampaikan testimoni masing-masing, rasa traumatis mereka tidak bisa hilang. Mereka mendengar ban meledak saja di pinggir jalan takutnya luar biasa. Itu sudah 22 tahun traumanya tidak bisa hilang, ketika itu mereka menjadi saksi hidup karena kebetulan berdekatan dengan tempat kejadian. Mereka menyaksikan bagaimana kacaunya situasi pada saat itu, bergelimpangan mayat dan lain sebagainya,” tuturnya.
“Jadi jangan sampai terjadi lagi, cukup bom Bali 2002 dan bom Bali 2005. Kita berharap itu yang terakhir,” tandas Wiryanata sebelum mengakhiri sambutannya.[T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole