SEJAK dulu, film memang menjadi tontonan menarik bagi masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat pariwisata di Bali. Film yang terus berkembang dari segi karya budaya, selalu memikat para penggemarnya. Karena itu film tak hanya menjadi tontonan, tetapi juga sebagai tuntunan hidup.
Hanya saja, di jaman serba canggih ini serta di tengah pesatnya perkembangan produksi film perlu memilah dan memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia yang telah ditentukan. Sebab, saat ini orang sangat mudah mengakses tontonan film. Mereka, tak perlu lagi pergi ke bioskop, cukup tinggal di kamar sudah dapat menyaksikan tontonan film sesuai keinginan.
Karena itulah menjadi alasan Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia melaksanakan Program Desa Sensor Mandiri “Training Of Trainer Sahabat Sensor Mandiri” ke desa-desa. Termasuk di Desa Pupuan, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Bali, yang berlangsung Rabu 9 Oktober 2024.
“Program Desa Sensor Mandiri merupakan turunan dari Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri. Program ini penting, karena sebuah desa merupakan struktur pemerintahan terkecil yang bisa menjadi contoh penerapan prinsip Budaya Sensor Mandiri (BSM),” kata Ketua Komisi III Desa Sensor Mandiri, Kuat Prihatin.
Kegiatan Program Desa Sensor Mandiri itu diiluti oleh masyarakat Desa Pupuan, Kecamatan Tegallalang terdiri dari pemuda dan pemudi, ibu-ibu, pendidik, tokoh agama, organisasi keperempuanan Pemberdayaan PKK dan pegawai di pemerintahan di desa itu.
Dalam program ini, menghadrikan narasumber Ketua Subkomisi Dialog, Widayat dan Dosen FTV Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, I Made Denni Chrisna serta dimoderatori oleh perwakilan dari LSF, Zaqia Ramallah, Ketua Subkomisi Penelitian dan Pengembangan.
Kuat Prihatin mengatakan, selain sebagai tujuan untuk hiburan, film juga berfungsi sebagai sarana pendidikan serta sarana pencerdasan kehidupan. “Masyarakat mesti pintar-pintarlan memilah dan memilih satu jenis tontonan film, sehingga terhindar dari dampak negatip,” ucap Kuat Prihatin.
Sekarang ini, perkembangan zaman semakin canggih. Anak-anak begitu mudahnya mendapatkan hiburan. Sebut saja, untuk menyaksikan film tak mesti harus pergi ke bioskup, tetapi semua itu bisa dilakukan di dalam kamar saja, melalui smartphone ataupun tablet dan memiliki layanan internet.
Masyarakat penting memiliki pengetahauan untuk memilah tontonan di tengah keberagaman tayangan itu. Maka sangat penting adanya Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri. “Gerakan ini untuk melindungi warga dan menggiatkan sensor mandiri agar bisa menghadirkan nilai-nilai positif untuk edukasi generasi muda,” paparnya.
Kuat Prihatin mengatakan, film sebagai karya budaya hasil dari kreatifitas dan ekspresi seni tentu tidak boleh dibatasi, kebebasan berekspresi dan berkreativitas dijamin oleh undang-undang. “Tetapi, ketika sebuah film akan ditayangkan kepada masyarakat tentu tidak bisa bebas begitu saja, ada norma dan etika yang perlu diperhatikan,” tegasnya.
Ketua Subkomisi Dialog, Widayat mengatakan, film yang juga merupakan media digunakan untuk menyampaikan berbagai macam pesan. Sementara kemampuan tiap orang untuk mencerna dan memahami isi sebuah film berbeda-beda, tingkatan usia menjadi salah satu faktornya. “Inilah mengapa film perlu dinilai, diteliti dan diberikan penggolongan usia,” paparnya.
Berdasarkan undang-undang No. 33 Tahun 2009, lanjut Kuat Prihatin, ditetapkan 4 golongan usia film, SU, 13+, 17+, dan 21+. Oleh karena itu LSF mendorong terbangunnya budaya sensor mandiri di masyarakat dengan melakukan berbagai macam kegiatan. Kegiatan itu, antara lain sosialisasi budaya sensor mandiri yang dilakukan secara luar jaringan (luring) dan dalam jaringan (daring).
Termasuk membentuk desa sensor mandiri, seperti saat ini yang dilakukan di Desa Pupuan ini. Desa Pupuan kebetulan merupakan binaan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali, yang juga sudah melakukan kerjasama dengan LSF. “Tantangan kita saat ini, mengkomonikasikan kepada anak-anak. Kalau dilarang mereka semakin penasaran,” ujarnya.
Karena itu, Program Desa Sensor Mandiri dalam kegiatanya memberikan literasi kepada Masyarakat agar dapat memilah dan memilih tontonan sesuai dengan usia. Kegiatan ini dalam rangka memberikan pembekalan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Desa Pupuan. “Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri merupakan salah satu langkah nyata yang secara konsisten dilakukan oleh Lembaga Sensor Film untuk menguatkan fungsi literasi bagi masyarakat,” papar Widayat.
Hal ini tentu sangat dibutuhkan, mengingat perkembangan teknologi dan arus digitalisasi semakin merata, sehingga dampaknya dapat dirasakan langsung oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk masyarakat yang di desa. “Lembaga Sensor Film tak hanya menggaungkan slogan “Memilah dan Memilih Tontonan”, tetapi juga mengarahkan masyarakat untuk bisa cerdas dan bijak dalam menentukan konten yang akan dikonsumsi,” tegas Widayat.
Salah satu subjek penting dalam membangun Desa Sensor Mandiri, jelas Widayat, adalah aparatur desa dan para kepala dusun. Mereka memiliki peran sekaligus tanggungjawab strategis dalam mengajarkan pentingnya BSM kepada warga masyarakat. Agenda program lanjutan kali ini, yaitu Training of Trainers Sahabat Sensor Mandiri dengan tema “Budayakan Sensor Mandiri untuk Literasi Tontonan yang Lebih Baik”,” paparnya.
Selain itu, masyarakat dapat memperdalam pengetahuan penggunaan teknologi digital untuk literasi konten yang edukatif dan sesuai dengan usia penonton. “Kami harap, kegiatan ini dapat memperdalam pengetahuan masyarakat Desa Pupuan supaya sadar akan pentingnya budaya sensor mandiri,” harapnya.
Sedangkan narasumber Denni Chrisna mengingatkan, Budaya Sensor Mandiri itu mulai dari lingkungan para orang tua yang kemudian mengedukasi anak-anaknya. Memang itu agak sulit direalisasikan di Bali. Sebab, kebanyakan orang tua yang belum siap menjadi orang. “Makanya, mereka sering memberikan anak-anaknya hand pone, sehingga solusi kasi hand pone menjadi liar,” paparnya.
Disamping sibuk kerja untuk kehidupan, ibu-ibu di Bali juga untuk melakukan budaya. Lembaga Sensor Film ini menarik yang tak hanya memberikan aturan, tetapi juga edukasi yang terpenting. “Kita harus bisa memenuhi rasa ingin tahu anak-anak, sehingga menjadi positif. Tantangannya sekarang, bagaimana mengedukasi orang tuanya untuk bisa mengedukasi anak-anaknya,” ucapnya.
Cara ini bukan hanya sekali langsung jadi, tetapi dibutuhkan upaya yang berkali-kali. Utamanya mencari rasa penasaran anak-anak saat ini. Kalau menakut-nakuti, anak-anak akan semakin menggali dan penasaran. Maka, itu penting memberikan contoh. Orang tua yang semestinya memiliki waktu untuk mengedukasi. “Kalau kita bertanggung jawab tehadap anak-anak kita, maka kita yang menggadaikan masa depan kita,” pungkasnya.
Kepala Desa (Kades) Pupuan, I Wayan Sumatra dalam sambutannya mengatakan, kegiatan desa sensor mandiri dilakukan karena pentingnya sosialisasi terkait Budaya Mandiri yang dilaksanakan oleh Lembaga Sensor Film Republik Indonesia. “Kami harap, kegiatan ini dapat memperdalam pengetahuan masyarakat Desa Pupuan supaya sadar akan pentingnya budaya sensor mandiri,” harapnya. Sosialisasi ini diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran didalam keluarga agar mengedukasi keluarga dan anak-anak dalam memilah dan memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia yang telah ditentukan. “Kegiatan ini bertujuan untuk menjadikan Desa Pupuan sebagai Desa Percontohan untuk Desa Sensor Mandiri, disamping kedepannya program ini berkelanjutan,” papar Kades Sumatra senang. [T]