LAKON “Wiratha Parwa” jelas bukan lakon yang ringan dalam pertunjukan wayang kulit, semua pecinta wayang purwa tahu itu. Lakon ini bercerita tentang persoalan Negara Wiratha dan seputar agenda (licik) Kurawa dalam mengalahkan kedigdayaan kerabat mereka sendiri, Pandawa—yang seumur hidup mereka anggap sebagai musuh itu. Muatan politik dan perebutan kekuasaan, pengaruh, sangat kental dalam cerita ini.
Tetapi, dengan mengejutkan, anak kecil yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar itu, meski belum bisa dikatakan sempurna, berani membawakannya di depan umum dalam sebuah pertunjukan wayang ana-anak. Anak kecil itu bahkan suluk sebelum cerita dimulai. Dan betapa ia juga berusaha, dengan lugu, untuk bersuara berat dan besar saat memainkan Werkudara (Bima versi Jawa)—walaupun suaranya terdengar sangat menggemaskan.
Sebagai penikmat pertunjukan wayang, menurut saya, penampilan Daneswara Satya Swandaru di Festival Dalang Cilik ke-10 di Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2021 itu jelas tidak bisa dianggap remeh. Dalang cilik dari Gunungkidul, Yogyakarta, itu sangat baik—meski bukan yang terbaik—dalam memainkan cerita Wiratha Parwa. Bahkan, dalam festival tersebut, ia meraih juara ketiga.
Daneswara Satya Swandaru saat menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 2024 | Foto: Dok. Pribadi
Pada September kemarin, di Jakarta, remaja yang akrab dipanggil Daneswara itu duduk diam bersama Zakia Minang Ayu (pegiat seni dan sastra cilik dari Bangka) dan Nurul Khaerul Nisa (penyanyi dan penari cilik dari Cianjur). Ia dan kedua seniman cilik itu sama-sama mendapat Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2024 kategori anak.
Sebagaimana telah disinggung di atas, Daneswara merupakan seorang dalang cilik yang lahir dan besar di Dusun Nogosari, Kalurahan Bandung Kapanewon, Gunungkidul, DIY. Menurut Yoseph Harjanto, ayah Daneswara, anak sematawayangnya ini memang memiliki komitmen dan semangat yang kuat dalam menjaga dan melestarikan seni budaya Jawa, khususnya pedalangan wayang kulit.
“Daneswara sudah menggeluti seni pedalangan sejak berusia 5 tahun. Kegemarannya bermain wayang sebenarnya sudah tampak sejak balita,” kata Yoseph, Jumat (20/09/2024) bulan lalu. Lebih lanjut, Yoseph juga mengungkapkan, selain pandai mendalang wayang kulit dan golek Menak, Daneswara juga pintar soal karawitan.
Di tangan bocah yang saat ini duduk di bangku kelas I SMPN 2 Wonosari itu, wayang bisa tampak hidup. Gerakannya luwes, lentur, dan artikulasinya jelas. Bahasa Jawanya ngelothok. Dan penguasaan ceritanya tak perlu diragukan lagi. Walaupun saat melakukan adegan peperangan ia masih tampak ragu-ragu. Ia belum begitu tegen saat melakukan sabetan yang satu ini. Dan dalam seni olah suara, tampaknya ia harus belajar lebih giat lagi.
Teknik sabetan dalam pertunjukan wayang bukan hanya sekadar perkara teknis. Ia, sabetan, merupakan seni gerak yang harus dilatih terus menerus hingga dalang seolah menyatu dengan wayang yang dimainkan—hingga wayang seperti bergerak sendiri, berbicara, hidup, sampai penonton seperti tak melihat sosok dalang di baliknya.
Daneswara Satya Swandaru saat tampil di Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2023 | Foto: Dok. Pribadi
Sabetan wayang seperti cepengan (teknik memegang wayang), tancepan (teknik menancapkan wayang pada batang pisang), solah ( teknis menggerakkan wayang), dedholan (teknik dalam sabetan wayang), entas-entasan (teknik mencabut dan gerak wayang keluar dari layar), dan seterusnya, adalah proses belajar terus-menerus selama dalang masih memantaskan wayang.
Tapi umurnya baru 13 tahun. Mana adil membandingkannya dengan sosok Ki Seno Nugroho atau Ki Enthus Susmono, misalnya. Apalagi dengan dalang kondang Ki Anom Suroto atau Ki Nartosabdo. Jelas, itu hanya akan sia-sia. Sebab, dalam khazanah pewayangan Jawa, nama Daneswara adalah masa depan. Perjalanannya masih panjang. Kesempatan belajarnya masih banyak. Pengalamannya, tentu saja, akan terus bertambah.
“Dia [Daneswara] berlatih seni pedalangan dan karawitan di Sanggar Pengalasan di Wiladeg Kapanewon, Karangmojo, pimpinan Pak Slamet Haryadi,” terang Yoseph.
Kepiawaiannya dalam seni pedalangan mampu menorehkan prestasi dalam berbagai ajang festival dalang cilik, baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Daneswara tercatat dua kali menyabet juara di festival dalang cilik tingkat nasional yang diselenggarakan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada tahun 2021 dan 2023 yang diikuti peserta dari berbagai daerah di Indonesia.
Dia juga meraih Apresiasi Prestasi Seni dan Budaya Anak dari Gubernur DIY (2023) dan Anugerah Bupati Gunungkidul kategori anak berprestasi bidang kebudayaan pada 2022—dan tentu saja masih banyak prestasi lomba yang tak dapat disebutkan satu per satu. Dan lihatlah, akhir Juli 2024 kemarin, dengan percaya diri, Daneswara mementaskan wayang golek dengan lakon “Iman Suwangsa Ngawu Sudarma” di Bangsal Srimanganti Keraton Yogyakarta. Ini sebuah pencapaian yang tak semua orang bisa meraihnya.
Kekonsistenan dan semangatnya ini telah menjadikannya sosok yang menginspirasi anak-anak lain untuk mencintai seni dan budaya, khususnya wayang. Kegemarannya sebagai dalang mencerminkan upaya generasi muda dalam melestarikan dan menjaga keberlangsungan budaya wayang di tengah masyarakat modern yang lebih banyak menganggap wayang hanya sekadar kelangenan masa lalu.
Daneswara Satya Swandaru saat menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 2024 | Foto: Dok. Pribadi
Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, anak dari pasangan Yoseph Harjanto-Ratna Wijayanti ini juga tercatat aktif mengikuti berbagai kegiatan pelestarian budaya yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan Kabupaten Gunungkidul dan Provinsi DIY.
“Sering sebagai pengrawit pada festival-festival, seperti langen carita, langen sekar, karawitan anak, dan remaja, sendratari, teater, dan festival upacara adat serta uyon-uyon,” ujar Yoseph.
Kini Daneswara merupakan seniman cilik peraih Anugerah Kebudayaan Indonesia—penghargaan prestisius dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI bagi pelaku seni dan budaya.
Dan dari penghargaan tersebut ia berharap dapat menginspirasi generasi muda Indonesia agar semakin mencintai dan melestarikan seni budaya warisan leluhur—agar keberadaanya bisa tetap eksis dan berkembang di masa mendatang.
“Penghargaan yang istimewa ini, saya dedikasikan untuk seluruh generasi muda pegiat seni dan pelestari budaya, agar terus berkarya dan memberikan yang terbaik untuk bangsa ini,” ujar Daneswara, malu-malu.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole