DESEMBER 2020 menjadi awal, atau katakanlah, menjadi titik balik yang kesekian dalam hidup saya. Takdir menggariskan saya untuk menetap di Singaraja, kota yang sebelumnya sangat asing di telinga saya. Namun dari pencarian singkat di internet terdapat benang merah yang saya pikir bisa menjembatani tempat yang akan saya huni dengan tempat yang saya tinggali sebelumnya, Yogyakarta. Ya, keduanya berslogan Kota Pendidikan.
Setelah tiba di Singaraja, langkah mengakrabi kota ini saya lakukan sebagaimana orang kebanyakan, yakni eksplorasi keliling kota. Dengan bantuan Maps dan info dari kenalan, saya memulai berkeliling. Kesan pertama yang membuat saya simpatik adalah banyaknya ruang terbuka yang bisa diakses semua usia.
Hal lain yang menjadi perhatian saya adalah kota ini sangat bersahaja. Tidak terlalu ramai namun sudut-sudut kotanya terkesan ramah dengan berbagai karakternya. Namun, satu hal yang masih tak terlihat setelah berhari-hari saya mengeksplorasi Singaraja, yaitu: di mana toko bukunya?
Sebagai pelajar di Yogyakarta, saya sudah kadung dimanjakan dengan toko-toko buku, perpustakaan, dan kafe dengan timbunan buku yang tersebar di berbagai sudut kota. Toh pendidikan tak bisa lepas dari buku dan leterasi, kan? Bagi saya, tempat-tempat tersebut menjadi hub dan safe space untuk bertukar pikiran dan wahana bersosialisasi dengan rekan yang ber-passion sama.
Maka mulailah saya mempertanyakan jargon Kota Pendidikan yang diusung Singaraja. Pada eksplorasi eselanjutnya, akhirnya berjumpalah saya dengan toko buku waralaba nasional. Girangnya seperti menemukan uang di saku celana sendiri ketika finansial sedang kembang-kempis. Namun rasa girang itu tidak berlangsung lama sebab setelah disambangi, toko buku tersebut lebih menonjolkan stationary daripada buku-buku.
Ekspekstasi yang terkadung tinggi itu membuat rasa kecewa susah diobati. Akhirnya bertahun-tahun berlalu dan hubungan saya dengan Singaraja berjalan stagnan tanpa kemajuan. Sampai akhirnya takdir menggariskan penanya sekali lagi. Tanpa dinyana saya bersua dengan Singaraja Literary Festival 2024.
Singaraja Literary Festival 2024 merupakan sebuah event yang diadakan pada tanggal 23-25 Agustus 2024 di Area Gedong Kirtya, tempat legendaris yang menjadi perisitirahatan manuskrip lontar dari masa ke masa. Melalui SLF, hikayat lontar yang semakin tidak diakrabi oleh manusia masa kini coba ditranslasikan dengan bahasa kekinian agar ingatan dan pengetahuan yang termuat di dalamnya tetap lestari dan estafet pelestariannya dapat diwariskan oleh generasi kini dan mendatang.
Sebuah spirit yang menurut saya sangat luar biasa. Seiring dengan narasi menemukenali jati diri bangsa, SLF menawarkan wadah untuk mengakrabi identitas kita di masa lampau untuk meneruskan nilai-nilai luhur—para pendahulu—yang luar biasa bajik dan bijak.
Di Tengah hiruk-pikuk onani pengetahuan di SLF 2024, satu stankecil menyedot perhatian saya: stand buku Gramedia. Semua bukunya didatangkan dari Denpasar. Pemandangan mewah yang langka, pikir saya. Dari sekian banyak event di SLF 2024, stankecil di pojokan inilah yang menurut saya akan menjadi benchmark literasi di Singaraja.
Satu hari SLF berjalan, stan kecil itu tak cukup banyak menyedot perhatian. Ia seakan tembus pandang bagi orang yang lalu-lalang di sekitarnya. Asumsi saya perlahan tersusun: mungkin keberadaan toko buku memang tidak dibutuhkan omasyarakat Singarja.
Tapi hari kedua asumsi saya mulai bergeser. Gerombolan orang mulai mengerumuni stan kecil itu. Apalagi hari itu bertepatan dengan sesi dari salah satu pembicara yang bukunya dijajakan di stan tersebut. Yang bahkan membuat saya tertegun, saking inginnya mendapatkan sebuah buku, seorang pengunjung menawarkan opsi transaksi down payment karena uang yang dibawanya saat itu tidak cukup. Barulah pada hari ketiga buku tersebut ia tebus.
Pada hari ketiga pula asumsi saya runtuh sepenuhnya. Stan kecil di pojokan itu padat dari siang hingga malam, dengan demografi anak muda dan dewasa awal menjadi mayoritas pengunjungnya. Saya tertegun. Inilah pemandangan yang saya dambakan sejak 4 tahun yang lalu saat pertama kali menginjakkan kaki di Singaraja.
Jika begini terus, spirit untuk mengembalikan Singaraja kepada fitrahnya sebagai sentra budaya dan pengetahuan yang dibawa SLF sangat mungkin diwujudkan. Mungkin bukan di generasi ini, namun generasi selanjutnya.
Dengan dimotori orang-orang yang rela mencicil buku untuk memuaskan dahaga pengetahuannya, dan orang-orang yang secara sadar memilih untuk menjadi bagian dari Singarja Literary Festival di tengah samudera event hyper konsumtif dan praktis di Singaraja, bukan tidak mungkin Singaraja akan kembali menjadi “pusat” pengetahuan di Bali—bahkan kalau boleh berlebihan, di dunia.
Saat itu terjadi, dengan lantang saya akan mengamini bahwa Singaraja memang layak disebut sebagai Kota Pendidikan. Semoga saja saya belum mengalami titik-balik selanjutnya dan masih berada di sini ketika hal itu terwujud. Amin.[T]
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024