PAKAR hukum waris Indonesia, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro (1976) berpendapat, hukum waris diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah pewaris meninggal dunia, dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain atau ahli waris. Meskipun pengertian hukum waris tidak tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata, namun tata cara pengaturan hukum waris tersebut diatur oleh KUH Perdata. Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, hukum waris adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan pewaris, lalu menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagian masing-masing.
Membicarakan hukum waris tidak terlepas dari beberapa unsur yang terikat. Adapun unsur-unsur tersebut sebagai berikut:
- Pewaris. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia atau orang yang memberikan warisan disebut pewaris. Biasanya pewaris melimpahkan baik harta maupun kewajibannya atau hutang kepada orang lain atau ahli waris.
- Ahli Waris. Ahli waris adalah orang yang menerima warisan disebut sebagai ahli waris yang diberi hak secara hukum untuk menerima harta dan kewajiban atau hutang yang ditinggalkan oleh pewaris.
- Harta warisan. Warisan adalah segala sesuatu yang diberikan kepada ahli waris untuk dimiliki pewaris, baik itu berupa hak atau harta seperti rumah, mobil, dan emas maupun kewajiban berupa hutang.
Indonesia adalah negara multikultural. Berbagai aturan idak dapat mengotak-kotakan kultur yang ada di negeri yang kaya akan budaya dan adat istiadat. Sama berlakunya untuk hukum waris. Di Indonesia, belum ada hukum waris yang berlaku secara nasional. Adanya hukum waris di Indonesia adalah hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata. Masing-masing hukum waris itu memiliki aturan yang berbeda-beda.
Bicara soal hukum waris adat, menurut Ter Haar, seorang pakar hukum dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht (1950), hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur penerusan dan peralihan dari abad ke abad baik harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut.
Hukum adat itu sendiri bentuknya tak tertulis, hanya berupa norma dan adat-istiadat yang harus dipatuhi masyarakat tertentu dalam suatu daerah dan hanya berlaku di daerah tersebut dengan sanksi-sanksi tertentu bagi yang melanggarnya.Oleh karena itu, hukum waris adat banyak dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan atau kekerabatan.
Hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia. Hukum waris adat meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara, dan proses peralihannya.3 Proses peralihan itu sendiri sesungguhnya sudah dapat dimulai semasa pemilik harta kekayaan itu sendiri masih hidup, serta proses itu selanjutnya berjalan terus hingga keturunannya itu masingmasing menjadi keluarga-keluarga baru yang berdiri sendiri-sendiri
Di Indonesia hukum waris mengenal beberapa macam sistem pewarisan yaitu:
- Sistem keturunan: sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu sistem patrilineal yaitu berdasarkan garis keturunan bapak, sistem matrilineal berdasarkan garis keturunan ibu, dan sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua.
- Sistem Individual: berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti Jawa dan Batak.
- Sistem Kolektif: ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan ataupun kepemilikannya dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya adalah barang pusaka di suatu masyarakat tertentu.
- Sistem Mayorat: dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu. Misalnya kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga, seperti di masyarakat Bali dan Lampung harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua dan di Sumatra Selatan kepada anak perempuan tertua.
Di masyarakat Bali, pembagian harta waris masih sangat berkaitan dengan sistem pewarisan adatnya. Ketika si pewaris meninggal terkadang harta pewaris tersebut belum dibagikan kepada keturunannya. Dalam beberapa hal, seseorang terkadang membagi harta waris secara kekeluargaan. Pembagian harta warisnya berdasarkan hukum waris adat Bali.
2. Sistem Pewarisan Tanah Menurut Hukum Waris Adat Bali
Berkaitan dengan hukum pertanahan dan air di Bali, Dr .V.E Korn dalam bukunya Hukum Adat Bali (Het Adatrecht Van Bali, 2017), menyebutkan bahwa konsep tanah bagi kepercayaan orang Bali, termasuk bagaiamana penyebaran kepercayaan Hindu menyebar pada penduduk Bali Aga, akan tampak jelas bagaiamana kharismatiknya Dewa Tanah dan Dewa Air; dua Dewa yang dianggap paling tinggi pada masa itu. Dalam kepercayaan itu, semua tanah dan air dipercaya dikuasasi oleh kedua dewa itu, karena itu seluruh penduduk desa harus memuliakan dan menyembah kepada kedua dewa itu. Dari kepercayaan inilah kemudian lahir sebutan Ida Betara Tegal, yang menunjukan kesetiaan orang Bali terhadap kedua Dewa itu, juga tampak dalam ungkapan “wong desa angertanin goemin Ida Batara apan tegal doewen Ida Ratoe” yang artinya “Penduduk harus memelihara keseluruhan kawasan lingkup kekuasaan para dewa, termasuk tanahkering juga milik para dewa”. Ini berarti bahwa mereka tinggal dan memanfaatkan bersama setiap pembukaan tanah baru (reklamasi).
Secara Filosofi orang Bali bahwa setiap tanah yang ditempati atau digarap perlu juga mengingat untuk memberikan persembahan bagi para Dewa sebagai bentuk wujud syukur dan ungkapan penyucian kehadapan Para Dewa. Mereka beranggapan bahwa secara keseluruhan bagian tanah yang digunakan sebagai kurban/persembahan, ini hampir sama dengan petunjuk yang diberikan oleh Dewa Tanah dan Dewa Air. Pengakuan kepada kesucian tanah dan air dalam kaitannya dengan kewajiban memelihara aturan hukum karma, dalam kesungguhan hatinya, akan memberi rasa hormat untuk ruang kesucian tanah tempat Para Dewa, Bumi, dan Air.
Berbicara mengenai kewilayahan di Bali yang berkaitan dengan tanah dan air pada suatu wilayah, di sisi lain mengenai desa yang ada di Bali antara desa dengan desa lainnya, diharuskan membuat batas, dimana dalam reklamasi tanah para anggota krama tidak diperbolehkan keluar dari batas itu, sehingga pada akhirnya para Dewa dipastikan akan berada dalam keadaan aman dan damai di tempatnya, dan sebagai gantinya mereka akan mendapat anugerah untuk kesuburan pertaniannya, juga pertanian yang ada di pegunungan akan tumbuh subur. Hukum lingkungan memang menuntut agar tanah-tanah itu dibuatkan pagar pembatas dan keharusan untuk membuat pagar pembatas juga menunjukan asal-usul tanah itu sebagai areal kekuasaan para Dewa, yakni tempat yang disucikan dan dihormati. Maka dari itu untuk di Bali jika kita membicarakan Tanah dan Air, makan kita akan juga berkaitan dengan nilai kesakaralan karena erat kaitannya dengan para Dewa.
Dapat dikatakan bahwa hukum adat di Bali khususnya mengenai Waris adalah salah satu bagian hukum adat Bali yang paling kompleks. Kebiasaan-kebiasaan yang berbeda-beda merupakan faktor yang menyebabkan di Bali sering kali tidak mudah menyelesaikan suatu permasalahan pewarisan, termasuk pewarisan mengenai tanah. Cara pewarisan di Bali mengikuti kebiasaan-kebiasaan damai, dan Hukum waris yang digunakan dalam menyelesaikan permaslahan-permsalahan pewarisan.
Pewarisan menurut pengertian hukum Hindu Bali, dapat kita jumpai dalam Kitab Manusmrti X. 155 yang bunyinya dan artinya sebagai berikut : “Sapta wittagama dharmya daya labhan krayo jayah, prayogah karmayogacca sat pratigraha ewa ca. (M.X. 155)” Artinya : Ada tujuh cara yang sah memperoleh hak, yaitu pewarisan, penjumpaan atau hadiah persahabatan, pembelian, penaklukan, peminjaman dengan bunga, melakukan pekerjaan dan penerimaan hadiah-hadiah dari orang-orang saleh.
Istilah pewarisan menurut hukum adat Bali dapat berlangsung, baik si pewaris masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Ketika pewaris masih hidup yang berarti pengoperan atau pemberian harta kekayaan, setelah pewaris meninggal dunia yang berarti penerusan atau pembagian harta warisan. Dan mengenai kapan suatu warisan itu dialihkan dan bagaimana cara yang dilakukan dalam pengalihan harta waris tersebut serta bagaimana bagian masing-masing ahli waris diatur dalam sistem hukum kekerabatan di Bali yang memuat tiga unsur pokok, yaitu:
- Mengenai subyek hukum waris, yaitu siapa yang menjadi pewaris dan siapa yang menjadi ahli waris.
- Mengenai kapan suatu warisan itu dialihkan dan bagaimana cara yang dilakukan dalam pengalihan harta waris tersebut serta bagiamana bagian masing-masing ahli waris.
- Mengenai obyek hukum waris itu sendiri, yaitu tentang harta apa saja yang dinamakan harta warisan, serta apakah harta-harta tersebut semua dapat diwariskan.
Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan (baik yang materiil maupun yang immaterial). Menurut Hazairin, terdapat tiga prinsip pokok garis kekerabatan, antara lain:
- Patrilineal yang menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan yang besar-besar, seperti clan, marga, di mana setiap orang itu selalu menghubungkan dirinya hanya kepada ayahnya. Oleh karena itu, termasuk ke dalam clan ayahnya, yakni dalam sistem patrilineal murni seperti di tanah Batak atau di mana setiap orang itu menghubungkan dirinya kepada ayahnya atau kepada maknya, tergantung kepada bentuk perkawinan orang tuanya itu, dan karena itu termasuk ke dalam clan ayahnya ataupun ke dalam clan ibunya yakni -dalam sistem patrilineal yang beralih-alih, seperti di Lampung dan Rejang;
- Matrilineal yang juga menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan yang besarbesar, seperti clan, suku, di mana setiap orang itu selalu menghubungkan dirinya hanya kepada maknya atau ibunya, dan karena itu termasuk ke dalam clan, suku, maknya itu; dan
- Bilateral/Parental yang mungkin menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan yang besar-besar, seperti tribe, rumpun, di mana setiap orang itu menghubungkan dirinya dalam hal keturunan baik kepada maknya maupun kepada ayahnya
Dari pendapat Hazairin tersebut dapat dikatakan bahwa dalam sistem kekerabatan patrilineal prinsip keturunannya yaitu mengikuti garis keturunan ayah. Selain yang diungkapkan di atas, prinsip ini juga diterapkan di Bali. Dalam hal ini hanya anak laki-laki saja yang berhak mewaris
Di masyarakat Bali, dalam hal harta (obyek warisan) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu harta pusaka (bernilai magis-religius) dan/atau harta benda (yang bernilai ekonomis). Sedangkan dalam ahli waris (subyek warisan) juga dibedakan menjadi dua, yaitu ahli ahli waris predana dan/atau ahli waris purusa. Kenapa ahli waris predana, bukan perempuan? Karena perempuan tidak selalu predana dan sebaliknya, dan purusa tidak selalu laki-laki dan sebaliknya
Warisan merupakan peristiwa hukum yang mengakibatkan adanya suatu peralihan terhadap hak kebendaan, terutama hak atas tanah. Menurut hukum adat Bali, tanah yang diperoleh oleh orang tuanya dalam status perkawinan yang di kenal istilah guna kaya, dapat diwariskan kepada semua ahli warisnya. Namun warisan yang mengadung magis religious dan atau dari leluhurnya menurut hukum adat Bali hanya diwariskan kepada ahli waris laki-lali (Kapurusa) saja. Kecuali adat tenganan Pagringsingan di Karanganasem, dimana masyarakatnya menganut system kekeluargaan parental. Jadi masyarakat Bali tidak sepenuhnya menganut system kekeluargaan patriilineal.
Pada sistem purusa garis keturunan ditarik dari garis keturunan ayah. Ini berarti anak laki-laki sebagai pelanjut keturunan. Konsekunsinya anak laki – laki yang berkedudukan sebagai ahli waris, namun demikian ada kalanya anak perempuan juga dapat berkedudukan sebagai ahli waris dengan cara melakukan perkawinan nyeburin. Cara perkawinan nyeburin ditempuh karena tidak adanya anak laki-laki sebagai pelanjut keturunan. Ini berarti cara perkawinan nyeburin sejatinya adalah untuk mempertahankan sistem purusa. Oleh karena demikian maka tidak serta merta semua anak perempuan Bali dapat melakukan perkawinan nyeburin dan berkedudukan sebagai ahli waris karena untuk dapat melakukan perkawinan nyeburin harus ada beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi.
Untuk dapat berlangsungnya proses pewarisan ada tiga unsur yang sangat esensial yang harus dipenuhi yaitu pewaris, harta warisan dan ahli waris. Apabila salah satu dari unsur esensial tidak ada maka pewarisan tidak dapat dilaksanakan. Dan mesti dipahami adalah bahwa konsep purusa, menurut hukum adat Bali tidak hanya menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga atau Purusa dimaksudkan sebagai sebuah status kemampuan untuk mengurus tanggung jawab keluarga. Sederhananya, kenapa laki-laki diberi kedudukan utama dalam sistem pewarisan sebagai ahli waris, karena laki-laki secara fisik maupun mental dianggap lebih kuat dan mampu mewarisi harta warisan yang dalam masyarakat Bali dikonsepkan sebagai beban dan bukan semata-mata kenikmatan.
Pewarisan menurut Hukum Adat Bali dapat dikatakan tidak identik dengan membagi harta peninggalan pewaris oleh ahli waris, akan tetapi mengandung makna tanggung jawab (swadharma), pengurusan, pelestarian, kewajiban, walaupun masih ada unsur hak atas harta warisan dari pewaris dalam berbagai wujud dan sifatnya. Wujud dari harta warisan dalam pewarisan masyarakat adat Bali sebagian besar berupa kedudukan adat yang di dalamnya terkandung kewajiban-kewajiban adat dan harta-harta pusaka. Kewajiban-kewajiban adat yang dimaksud berupa kewajiban parhyangan, kewajiban pawongan, dan kewajiban palemahan. Kewajiban-kewajiban tersebut didasarkan falsafah yang dianut dan dijadikan pedoman dalam kehidupan oleh masyarakat adat Bali yaitu Falsafah Tri Hita Karana. Dalam sistem pewarisan adat masyarakat adat Bali, calon pewaris sangat penting perannya dalam proses pewarisan.
Dengan model warisan berupa kewajiban-kewajiban adat yang demikian kompleks sifat dan aktivitasnya maka calon pewaris perlu melakukan edukasi kepada calon ahli warisnya semenjak calon pewaris masih hidup. Hal ini dimaknai bahwa model warisan berupa kewajiban-kewajiban adat tersebut bukan hanya suatu bentuk aktivitas semata tetapi didalamnya terkandung unsur berupa etika dan nilai-nilai falsafah Tri Hita Karana yang merupakan pedoman dasar kehidupan masyarakat adat Bali, sehingga pewaris perlu secara langsung mendidik, mengenalkan, menanamkan nilai-nilai, mengajarkan etikanya serta mengarahkan pelaksanaan aktivitasnya agar ahli waris benar-benar siap dan mampu nantinya melaksanakan tanggung jawabnya sebagai ahli waris ketika pewaris meninggal dunia.
Selanjutnya adalah soal Waris adat, adalah hukum adat yang memuat garis garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum, tentang harta, warisan, pewaris, warisan serta bagaimana harta warisan itu dialihakan penguasaan dari pemiliknya (pewaris) kepada ahli. Hukum waris adat sesungguhnya penerusan harta kekayaan dari generasi kepada generasi keturunannya. Dan hukum waris itu sendiri sangat berkaitan dengan pewarisan dimana mengandung arti bahwa pewarisan adalah pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh yang meninggal dunia kepada ahli waris. Dan akibat dari pemindahan kek ayaan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hal hubungan antara mereka dengan pihak ketiga pada asasnya yang dapat diwariskan hanyalah hak-hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan saja.
Soal pewarisan bisa di katakan, bagian yang paling sulit dari hukum adat di Bali, dikarenakan adanya perbedaan di beberapa daerah dalam wilayah hukum adat di Bali (Desa Kala Patra). Pengertaian Desa adat atau biasa disebut Desa Pekraman, adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat Hindu di Bali secara turun temurun dalam “Ikatan Kahyangan atau Kahyangan Desa” yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan itu sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Desa Pekraman berhak mengatur sendiri hukum adatnya baik mengenai banyaknya barang-barang yang boleh diwariskan atau mengenai banyaknya bagian masing-masing.
Dalam Undang-Undang dasar 1945 Pasal 18 B ayat (20 mengatur bahwa “Negara mengakui dan menghormati ketentuan-ketentuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradiosionalnya sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Kesatuan Negera Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Hak-hak pembagian waris pada zaman Bali Kuno sering disebut dalam prasasti khususnya pembagian harta waris dalam kehidupan berumah tangga (Agung, 2016). Maka proses pembagian hak atas tanah waris dalam Hukum Adat Bali dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
- Proses pembagian hak atas tanah waris dilakukan pada saat pewaris masih hidup dilakukan oleh pewaris langsung dengan membagikan kepada para ahli warisnya dengan pembagian sebagaimana yang dianggap adil oleh pewaris semasa hidupnya tersebut.
- Proses pembagian hak atas tanah waris dilakukan setelah pewaris meninggal dunia dilakukan oleh para ahli waris dengan cara pembagian yang sama antara para ahli waris atau berdasarkan kesepakatan para ahli waris.
Sedangkan harta warisan keluarga yang berwujud benda dapat digolongan sebagai berikut :
- Tetamian (harta pusaka), yaitu berupa harta yang diperoleh karena pewarisan secara turun temurun yang meliputi harta yang tidak dapat dibagi-bagi yakni harta yang mempunyai nilai religius seperti tempat persembah yangan keluarga (sanggah/merajan) dan lain – lainnya dan tetamian yang dapat dibagi-bagi yaitu harta warisan yang tidak mempunyai nilai religius seperti sawah, ladang, dan lain-linnya.
- Tetatadan, yaitu harta yang dibawa ol eh masing-masing suami istri yang dibawa masuk ke dalam perkawinan baik yang diperoleh karena usahanya sendiri (sekaya) maupun pemberian/hibah (jiwadana).
- Pegunakaya/gunakaya, yaitu harta yang diperoleh suami istri selama perkawinan berlangsung.
Dalam Peswara Pewarisan tahun 1900 disebutkan bahwa harta warisan terjadi dari hasil bersih kekayaan pewaris setelah dipotong hutangnya termasuk hutang-hutang yang dibuat untuk ongkos pen yelenggaraan pengabenan pewaris12. Terhadap hal tersebut terdapat penafsiran bahwa hutang hutang pewar is tidak ditanggung oleh ahli warisnya jika harta warisan tidak mencukupi. Sementara Korn, menulis bahwa tidak saja sisa yang beralih dari harta warisan yang diterima tetapi juga termasuk hutang-hutang pewaris diwariskan kepada ahli warisnya, kecuali hutang piutang karena perjudian.
Unsur yang sangat esensial dalam pewarisan adalah ahli waris atau si penerima waris. Dalam hukum adat Bali pada suatu ketika tidak ada ahli waris maka akan dilakukan perbutan hukum mengangkat anak orang lain yang dijadikan anak sendiri diutamakan anak dari kalangan keluarga sendiri, kalau tidak ada maka pengangkatan dapat dilakukan terhadap orang di luar kalangan keluarga. Bahkan untuk memenuhi unsur ketiga tersebut tak jarang sang suami melakukan perkawinan poligami untuk menghindari kepunahan keturunan atau melanjutkan generasi, begitu pentingnya unsur yang ketiga tersebut.
Lantas siapa itu ahli waris? Ahli waris adalah orang atau orang-orang yang menerima harta warisan. Akibat orang menjadi ahli waris maka ia dibebani kewaji ban -kewaji ban baik kewa jiban keluarga maupun kewa jiban masyarakat adat. Adapun kewa jiban – kewaji ban ahli waris yaitu :
- Memelihara pewaris ketika pewaris dalam keadaan tidak mampu secara fisik;
- Menguburkan jenazah pewaris atau mengabenkan pewaris serta menyema yamkan arwahnya di sanggah/merajan;
- Menyembah arwah leluhur yang bersema yan di sanggah/merajan;
- Melaksanakan kewajiban kemasyarakatan adat berupa ayahan terhadap banjar/desa adat.
Tidak dilaksanakannya kewajiban – kewajiban sebagaimana tersebut di atas dapat mengakibatkan dicabutnya hak-hak yang mesti diterimanya, hal mana sesuai dengan asas kesebandingan yakni apabila seorang ahli waris tidak melaksanakan kewajiban maka ia tidak juga mendapatkan hak-haknya.
Ahli waris adalah anak yang lahir dari perkawinan syah orang tuanya, yang menurut hukum adat Bali ahli waris itu adalah anak laki -laki dan anak perempuan yang dirubah statusnya dengan melakukan perkawinan nyeburin sebagai di terangkan diatas. Melalui perkawinan nyeburin sang istri berubah status hukum menjadi purusa yang mana sebelumnya ia berstatus hukum predana sementara sang suami berstatus predana. Purusa bukan berarti laki-laki, karena perempuan yang kawin keceburin juga berstatus purusa. Makna purusa dan predana adalah status, bukan jenis kelamin.
Sebenarnya kalau ahli waris diartikan anak, anak itu ada bermacam-macam yaitu anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak piara dan anak luar kawin. Dari jenis anak -anak tersebut mempunyai hak mewaris yang berbeda sesuai dengan statusnya. Anak kandung mempunyai hak penuh terhadap warisan orang tuanya.
Sementara anak-anak lainnya mempunyai hak yang terbatas menurut sistem kekeluargaan yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Menurut hukum adat Bali, selain anak kandung mempunyai hak waris penuh terhadap harta warisan orang tuanya, anak angkat juga mempunyai hak waris penuh terhadap harta warisan orang tua angkatnya. Sangat berbeda dengan anak angkat pada masyarakat parental.
Hak-hak atas tanah menurut Adat Bali terdiri dari berbagai macam status, seperti adanya tanah milik perseorangan, tanah milik Laba Pura, tanah ayahan desa (YDS) dan ada juga tanah druwen desa atau tanah pekarangan desa (PKD). Hak atas tanah yang demikian itu merupakan ciri khas dimata hukum adat pada umumnya, sehingga keunikan Hukum Adat Bali tetap menonjol. Status hak atas tanah tersebut sering adanya ketidak pahaman dari berbagai kalangan masyarakat hukum adat di Bali.
Penyelesaian pewarisan terhadap masing-masing status tanah tersebut juga berbeda. Bahkan sering meminjam kata yang seharusnya tidak perlu minjam (misalnya kata gono-gini, nikah dll). Tanah perseorangan apabila terjadi pewarisan, maka yang menyelesaiakan hanyalah di antara para ahli warisnya saja tanpa ikut campurnya desa. Sedangkan hak atas tanah yang berstatus ayahan desa dan/atau druwen desa dalam penyelesaian pewarisan selalu desa yang mempunyai peran. Artinya bahwa pewarisan tentang tanah yang berhubungan dengan desa, tidak saja pewarisannya ditentukan oleh Hukum Adat di Bali pada umumnya, tetapi tergantung kepada ketentuan atau awig-awig yang ada di desa yang bersangkutan. Untuk tanah tersebut di samping ditentukan oleh desa, juga ahli waris yang berhak mewaris hanyalah ahli waris kepurusa saja, sedangkan ahli waris perdana tidak berhak untuk itu.
Oleh karena obyek warisan tersebut dalam pengawasannya dilakukan secara kolektif yaitu adat setempat. Sebagaimana ditentukan dalam Paswaran Residen Bali dan Lombok Tahun 1900 mengenai pewarisan, menentukan bahwa; harta warisan terjadi dari hasil bersih kekayaan pewaris setelah dipotong hutang-hutangnya, termasuk juga hutang-hutang yang dibuat untuk ongkos menyelenggarakan pengabenan pewaris, maka mengandung arti bahwa yang boleh mewaris hanya terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dalam bentuk harta milik pribadi saja yaitu harta peninggalan pribadi dari pewaris setelah dikurangi segala kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh pewaris semasa hidupnya dan ditambah segala biaya yang dibutuhkan setelah pewaris meninggal.
Setelah terpenuhinya unsur -unsur dalam pewarisan yaitu pewaris, harta warisan dan ahli waris maka proses pewarisan dapat dilakukan. Masalahnya kapan pengoperan harta kekayaan atau pewarisan itu dimulai, apa menunggu si pewaris meninggal dunia?. Proses pewarisan sudah dapat dimulai semasa orang tua hidup. Dan proses tersebut menjadi ”akuut” oleh sebab orang tua meninggal dunia .
Hal demikian juga dianut dalam hukum adat waris Bali dimana proses pembagian warisan sudah dapat dimulai semasa si pewaris masih hidup. Pembagian harta warisan semasa pewaris hidup dapat berupa pedum pamong atau pedung raksa, pengupa jiwa, yang merupakan pemberian yang bersifat sementara kepada ahli waris yang tujuan dimanfaatkan oleh ahli waris dalam penghidupan keluarganya sampai adanya pembagian harta warisan secara tetap.
Pengupa jiwa tetap diperhitungkan dalam pembagian harta warisan secara tetap. Harta warisan dibagi oleh para ahli waris secara tetap adalah setelah pewaris meninggal dunia. Setelah pembagian harta warisan secara tetap maka para ahli berhak secara mutlak atas bagian warisan tersebut sesuai dengan porsinya masing-masing karena pembagian warisan secara hukum adat dilakukan atas asas kerukunan, laras dan patut atau tidak berdasarkan ilmu hitung atau matematika yang tentunya dibarengi dengan kewajiban -kewajiban yang harus dilakukan oleh para ahli waris. Jadi tidak ada aturan atau ketentuan yang tegas tentang bagian masing-masing ahli waris, kecuali perbandingan bagian antara anak laki-laki dan perempuan yang belum kawin, yaitu dua berbanding satu atau ategen asuun.
Lantas bagaimana jika ahli waris meninggal dunia sebelum harta warisan dibagi? Terhadap hal yang demikian tidak menimbulkan masalah karena kedudukan ahli waris akan ditutup atau diisi oleh ahli waris pengganti. Ahli waris pengganti adalah anak dari ahli ahli waris yang sebenarnya, dimana ahli waris pengganti akan menggantikan posisi sang ayah dan posisinya sama dengan saudara – saudara ayahnya. Harta warisan yang dapat dibagi secara individu oleh para ahli waris adalah harta warisan yang tidak bernilai religius magis seperti sawah, ladang, deposito, dan lain –lainnya. Sementara harta warisan yang bernilai religiiu magis seperti tempat pemujaan atau tempat persembahyangan yaitu sanggah atau merajan tidak dapat diwarisi secara individu, melainkan terhadap hal tersebut diwarisi secara kolektif oleh para ahli waris.
Adapun gugurnya hak ahli waris dapat disebabkan oleh beberapa hal, sebagaimana disebutkan dalam diskusi Hukum Adat Waris Bali tahun 1971 bahwa ahli waris terputus haknya menerima harta warisan antara lain:
- Anak laki-laki yang kawin nyeburin;
- Anak laki-laki yang tidak melaksanakan dharmaning anak, misalnya durhaka terhadap leluhur, terhadap orang tua.
- Sentana rajeg yang kawin ke luar.
Mencermati hasil diskusi hukum adat Bali tersebut, dimana ahli waris yang beralih agama dapat diasumsi bahwa ahli waris yang bersangkutan tidak melaksanakan dharmaning anak yaitu durhaka terhadap leluhur sehingga terhadapnya tidak patut dan pantas menerima hak-haknya dalam mewaris. Sementara terhadap anak laki-laki yang kawin nyeburin gugur hak warisnya sekarang sudah mengalami perubahan berdasarkan hasil keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Propinsi Bali tahun 2010. Dalam keputusan salah satu butirnya disebutkan bahwa anak laki-laki yang kawin nyeburin berhak atas harta guna kaya orang tuanya dengan perbandingan dua bagian untuk anak laki-laki yang tidak kawin nyeburin dan satu bagian untuk anak laki -laki kawin nyeburin setelah dikurangi sepertiga untuk harta bersama.
Bagian hak tersebut adalah sama porsinya dengan bagian hak anak perempuan. Dengan gugurnya hak mewaris dari ahli waris yang beralih agama maka ia tidak berhak terhadap harta warisan warisan orang tuanya dan secara otomatis tidak juga ada kewajiban-kewajiban yang harus dilakukannya, kecuali kewajiban moral atau manusiawi terhadap orang tuanya yang telah melahirkan dan membesarkannya
Bali Menyongsong Masa Depan
Warisan merupakan bagian dari sejarah, atau peninggalan leluhur yang dititipkan untuk generasi setelahnya. Dan warisan bisa pula memberikan konstribusi berharga dimasa depan. Pewaris meninggalakan warisannya tentunya agar kehidupannya dianggapa penting oleh generasi selanjutnya serta memberikan kejelasan tentang warisan agar dapat menunjukan makna dan tujuan hidup setelahnya bisa bermakna dan bermanfaat. Dalam masyarakat adat Hindu di Bali, warisan tentu hanya selalu berupa benda, tapi ilmu dan penghargaan juga bisa dijadikan warisan yang abadi.
Penulis berharap masyarakat adat atau Desa Pakraman di wilayah Bali agar tetap menjaga hukum adat di Bali sebagai ciri khas yang dijiwai oleh agama Hindu di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Bali tidak menutup diri dari perkembangan jaman, mengingat hukum adat di Bali sebagai hukum yang hidup mempunyai sifat yang luwes dan dinamis, khususnya agar tetap menjaga hukum adat Bali sebagai ciri khas yang dijiwai oleh agama Hindu di Bali. Ini berarti tidak menutup diri dari perkembangan jaman mengingat hukum adat sebagai hukum yang hidup mempunyai sifat luwes dan dinamis.
Ke depan, masyarakat Bali harus secara terus untuk menjaga dan mewujudkan upaya penegakan Dharma yang sekaligus berperan sebagai filter dalam mengantisipasi peradaban luar. Pertanyaannya, apakah saat ini telah terjadi pergeseran pewarisan dalam hukum adat Bali ?
Menurut pandangan penulis, saat ini memang sistem pewarisan tanah di Bali masih menganut system kekrabatan yang masih melekat dan erat sampai sekarang. Akan tetapi seiring perkembangan jaman dan telah terjadi pergeseran ataupun semacam kelonggaran terhadap sistem pewarisan tanah di Bali dalam pelaksanaannya, hal terbukti sampai keranah peradilan umum.
Lahirnya putusan Mahkamah Agung Nomor 257 K?Pdt/2019 menunjukkan bahwa hukum waris adat di Bali telah mengalami pergeseran seiring dengan berjalannya waktu pada era sekarang ini. Dengan demikian dalam penyusunan hukum pewarisan adat Bali ke depan perlu mempertimbangkan perkembangan norma-norma hukum nasional yang berlaku dalam masyarakat Indonesia dan sepanjang tidak bertentangan dengan keyakinan agama dan budaya Adat Hindu di Bali. Dan untuk itu masyarakat adat Bali juga perlu memahami sistem hukum pewarisan yang berlaku di Indonesia dan perlu mensosialisasikan kewarisan adat Bali dan hukum kewarisan nasional sesuai dengan perkembangan masyarakat, sehingga kewarisan adat dan hukum kewarisan nasional tersebut tidak dipahami secara dokmatis dalam hukum kewarisan klasik tertulis di kitab-kitab zaman dahulu
Menurut hemat penulis, diperlukan suatu pertimbangan adat dalam hal sistem pewarisan adat Bali agar kedepan tidak terjadi lagi sengketa dalam hal pembagian pewarisan tanah. Hal ini dimaksudkan sengketa pertanahan menjadi preseden buruk bagi tatanan masyarakat adat Bali dalam hal pewarisannya. Lahirnya putusan-putusan hakim dalam perkara sengeketa tanah di Bali pasti akan berdampak kepada sistim hukum adat di Bali, artinya sistem pewarisan tanah di Bali kedepan akan mengalami suatu perkembangan seiring dengan lajunya globalisasi dan perkembangan teknologi. Bahwa orang Bali harus semakin mawas diri untuk tetap mempertahankan tanah Bali, karena tanah dan natah Bali adalah tempat berpijak, menyemai dan menumbuh suburnya kebudayaan dan religiusitas manusia Hindu di Bali. Manusia Bali dengan tanah dan natahnya harus meningkatkan nilai ekonomi nya dengan memanfaatkan keuntungan geopolitiknya, meningkatkan nilai tawar bagi pembangunan yang menjunjung tinggi dan menghargai agama Hindu dan adat istiadat masyarakat Bali. Namun apa yang kita lihat dua tahun pandemi covid-19 melanda dunia, dunia Periwisata dan ekonomi masyarakat Bali yang ekonominya bertumpu pada Pariwisata pun ambrol.
Pembangunan yang dicanangkan sebagimana diiharapkan pemerintah melalui pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020, dengan sederet turunan nya berupa Peraturan Pemerintah. Bahwa kemudahan iklim investasi di Indonesia yang berdaya saing global tentu juga di Bali melalui pengembangan Pariwisata seharusnya menjadikan pertumbuhan ekonomi yang mensehjahtera sekala niskala bagi manusia Bali.. Penanaman modal langsung (direct investation) memerlukan tanah, tentu tidak dapat dipungkiri tanah Bali sangat berharga dalam pengembangan akomodasi pariwisata. Ada jalan lain yang dapat ditawarkan bagi pengembangan Pariwisata dengan penguasaan tanah melalui perjanjian dengan sistem Bangun Guna Serah (BOT) atau Bangun Serah Guna (BTO).Bisa juga dengan cara dibuat perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai diatas Hak Milik, tentu perjanjian tersebut harus dilandasi dengan klausul klausul yang melindungi pihak pemilik tanah orang Bali (lihat Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021). . Melalui perjanjian pemberian penguasaan tanah ini akan sangat memberikan perlindungan dan meminimalisir beralihnya tanah-tanah orang Bali kepada pihak penanam modal, baik lokal maupun badan hukum atau orang asing. Pemerintah Daerah dan tokoh masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus membuat Peraturan Daerah yang dapat membentengi tanah Bali dari serbuan pemodal yang mau menguasai Bali dengan segala motif nya. .Jika kita abai dan mudah melepaskan tanah apalagi natah Bali, kita bisa membayangkan seperti apa Bali ke depan. [T]
Referensi:
- Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum (Bina Aksara 1985).
- Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Rajawali Pers 2010).[259]
- E. Dewi Poespasari, 2018, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, Cetakan Pertama, Prenadamedia Group, Jakarta halaman 16
- E. Dewi Poespasari, 2018, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, Cetakan Pertama, Prenadamedia Group, Jakarta halaman 16 , Wayan Windia dan Ketut Sudantra, Op.Cit, h. 117, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, CV. Kayumas, Denpasar, h, 162. Peswara Pewarisan Tahun 1900 dikeluarkan tanggal 13 Oktober 1900 oleh Residen Bali dan Lombok dengan permusyawarahan bersama-sama pedandapedanda dan punggawa-punggawa. semula diberlakukan bagi Hindu Bali dari Kabupaten Buleleng, tetapi pada tahun 1915 diberlakukan pula untuk seluruh Bali Selatan
- Wayan Windia dan Ketut Sundatra Op. czit halaman 122
BACA artikel lain tentang hukum dan kenotarisan dari penulis I MADE PRIA DHARSANA