COBA dijawab, pecel lele yang biasa kalian makan di warung tenda tepi jalan itu berasal dari mana? Makanannya apa? Perkembangbiayakannya seperti apa?
Kemukinan besar kalian tak bisa jawab. Yang penting pecel lele itu enak, biasanya tak peduli kita lele-nya berasal dari mana, dan apa makanannya.
Saya juga begitu. Namun, belakangan saya tahu, setelah saya secara kebetulan berkunjung ke sebuah kolam lele di Buleleng.
Mungkin ini yang dinamakan sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Niat hati sebenarnya ingin membeli benih lele, malah include dengan pengetahuan tentang lele.
Iya, lele dagingnya lembut dan kaya protein. Bahkan jika mengonsumsinya, kita sudah memenuhi 18 gram protein setiap harinya, yang setara dengan 26% kebutuhan harian. Jarang dan mahal pasti ini.
Jadi, saya dan tiga teman lainnya menyambangi peternak lele di wilayah kota Singaraja. Tepatnya jalan menuju Pantai Penimbangan.
Jujur, kalau bukan karena P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila), saya tidak akan tahu lokasi peternak lele, bagaimana caranya merawat, jenis, dan kasiat lainnya.
Oya, sebenarnya projek kali ini (yang dilakukan di SMP Negeri 4 Singaraja) adalah budidaya lele, hidroponik, kompos, ecoenzym, ecobrik, dan wajah plastik. Nah, karena saya dan tiga teman ini bagian dari penanggungjawab budidaya lele dan hidroponik, maka kamilah yang survey langsung ke lokasi.
Berpose berama bos lele di Uma Lele | Foto: Dewi
Kita kembali ke topik. Saat ini saya hanya ingin bercerita tentang lele. Ingat, le-le. Bukan yang lain.
Kenapa hanya lele? Karena hanya peternak lele-lah yang berhasil saya datangi, yang lain belum. Haha.
Tapi, teman-teman. Saya bukan promosi. Melainkan ingin membagikan pengetahuan yang barangkali kalian butuhkan juga. Atau mungkin kalian lebih dulu tahu dibandingkan saya? Jika iya, saya nobatkan kalian sebagai ”Duta Lele”.
Oke, lupakan soal perdutaan. Jadi begini. Dulu hingga sekarang, ketika mendengarkan kata lele, yang ada di pikiran saya (khususnya) adalah hewan yang hidup di sepiteng. Kalian tahu sepiteng, ’kan? Iya, tempat pembuangan akhir tinja.
Pikiran itu berawal dari video-video tak bertanggungjawab yang tidak sengaja saya tonton di media sosial. Video itu memperlihatkan hewan ini dengan ganasnya memangsa sebuah benda kuning yang mengambang. Bahkan parahnya, saya pernah tak sengaja menonton video bentuk WC jongkok yang di bawahnya terbuka dan memperlihatkan ribuan lele.
Saya lupa video itu sumbernya dari mana. Dulu hanya melihat lalu saya lewati. Sekali lagi saya mohon maaf jika salah karena memang begitulah yang saya lihat.
Nah, itu baru lele yang hidup. Bagaimana dengan pecel lele yang ada di warung-warung itu? Saya tidak meng-judge lele yang dimasak itu adalah lele yang tadi saya ceritakan. Tapi mohon maaf, secara naluriah, pikiran saya terdoktrin ke sana. Lihat, betapa tidak bertanggungjawabnya video-video tadi itu. Padahal siapa tahu jika saya makan lele, saya jadi pintar.
Hal baik yang saya dapatkan dari peternak lele adalah edukasi. Peternak lele itu memberitahu tentang jenis lele, cara merawatnya, dan printilan-printilan lain yang berhubungan dengan lele. Lele yang ia pelihara bukanlah sembarang lele. Ini patut untuk dikonsumsi.
Nah, kalau lele yang saya ceritakan, yang saya tonton di video-video itu adalah lele sampah. Jadi, sebaiknya itu jangan dikonsumsi. Tapi kalau sudah terlanjur, yasudahlah. Sebelum lanjut ada baiknya saya ceritakan pula kenapa di sebut lele sampah.
Menurut informasi yang saya dapat, lele sampah adalah lele yang memakan kotoran, sayur, bahkan bangkai tikus yang digeprek atau dicincang terlebih dahulu.
Padahal sebenarnya, makanan lele adalah kosentrat. Itulah sebabnya ada lele grade 1 dan grade 3. Yang termasuk lele grade 3 adalah lele pemangsa kotoran, sayur, dan sejenisnya. Sedangkan lele grade 1 adalah lele yang memakan kosentrat dan dirawat dengan prosedur yang sebenarnya.
Kualitas dagingnya pun berbeda. Lele grade 3 memiliki tekstur daging yang tebal, banyak lemak, dan akan menciut jika sudah digoreng. Sementara lele grade 1 memiliki kualitas daging yang tebal, keset, dan memiliki protein yang tinggi.
“Bagaimana cara memberi makannya?”
Ternyata dan ternyata, waktu makan lele sama seperti manusia. Ada waktu sarapan pukul 08.00, makan siang pukul 13.00, makan malam (maksimal) pukul 20.00, dan snack time pukul 16.00.
Sebelum memberikan makan ke lele, kosentrat harus ”dibibis” dulu. Direndam dengan air selama 5 menit agar mengembang. Jika langsung diberikan, perut lele akan meledak karena makanan mengembang di dalam perut.
Jangan salah, lele juga rakus, loh. Maka ketika snack time makanan yang diberikan jangan terlelu banyak. Namanya juga snack, ’kan?
Lele di kolam Uma Lele | Foto: Dewi
Hal lain yang baru saya ketahui juga adalah bahwa lele itu tipikal hewan yang gampang stres. Mereka tidak bisa dipindah sembarangan. Cukup diamkan di satu tempat dan kuras airnya paling tidak seminggu sekali. ”Kenapa harus dikuras? Bukannya lele makan lumut-lumut kolam?”
Nah, ini keliru. Air endapan itulah yang bahaya dan menyebabkan bau busuk. Kenapa busuk? Karena ada moniak yan harus dibersihkan paling tidak seminggu sekali. Jangan sampai lele berdiri seperti orang yang sedang upacara baru dibersihkan, ya! Tentu itu sangat tidak baik.
Berbicara soal air. Air yang digunakan pun bukan sembarang air. Dibandingkan air keran, lebih baik air tanah. Tetapi, zaman sekarang jarang ada air tanah/sumur. Lebih banyak mengalir air PDAM.
Apakah itu akan menjadi sebuah hambatan? Tentu tidak. Lele tetap bisa diperlihara di rumah. Hanya saja jika itu adalah air PDAM, maka butuh waktu satu minggu untuk menetralisir kaporit yang larut di dalamnya. Jika itu air tanah, butuh waktu tiga hari untuk menetralisir. Berbicara air terbaik, tentu air sungai. Kenapa? Karena air sungai bersirkulasi (mengalir dari sumbernya).
“Lalu jika tidak ada air tanah dan air sungai bagaimana dong?”
Caranya larutkan garam ikan pada ember atau tempat penampungan lelenya nanti. Tunggu tiga hari, air sudah siap digunakan. Nah, ketika memindahkan lele pun tidak sembarang waktu.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, bahwa lele adalah tipikal hewan yang gampang stress dan butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Maka, waktu yang baik dalam memindahkan lele (dari penjual ke pembeli) adalah pagi atau malam hari. Pastikan lele tidak diberi makan dulu karena akan dimuntahkan lagi ketika berada di tempat yang baru.
Tidak cukup sampai di sana. Setelah dipindahkan, jangan langsung diberi makan. Lele baru bisa diberi makan esok harinya. Lumayan lama ya puasanya. Hihi. Itu jugalah yang menjadi alasan ketika membersihkan kolam lele yang dituang adalah airnya, sedangkan lelenya biarkan ada di tempat (jangan dipindah-pindah).
Lalu banyak yang bilang, di atas kolam/bak itu harus ditutup. Kalau tidak nanti akan kepanasan dan menyebabkan penyakit pada lele tersebut. Ternyata, itu juga keliru. Justru lele suka terkena sinar matahari langsung. Kalaupun di atas lele itu akan ditanam sayuran kangkung hidroponik, tetap harus di bawah sinar matahari.
Nah, begitulah kira-kira owner ”Uma Lele”, Gede Suta Suryantaya, memberikan edukasi seputar lele yang bisa saya cerna. Kalau ada yang keliru, tolong direvisi.
Gede Suta Suryantaya sangat ramah dan tidak pelit ilmu. Sekali lagi Ini bukan ajang promosi, ya. Tapi kalau beli lele di tempat Bapak Suta ini sepertinya tidak akan rugi. Kalian cukup membawa uang Rp. 26.000 kalian bisa mendapatkan 5 ekor lele dengan kualitas terbaik. Itu kalau beli 1 kg. Kalau beli banyak, mungkin bisa didiskusikan lebih lanjut. Haha.
Dan bocorannya, dalam waktu dekat Gede Suta Suryantaya akan membuka kedai dengan olahan dasar lele. Apa saja itu? Tunggu tanggal mainnya. [T]