PUISI-PUISI itu tidak romantis sebagaimana puisi Nizar Qabbani. Tapi lebih kepada ironi yang dibalut optimisme dan ketegaran yang naif dan fana. “Kita selalu bahagia… suara ledakan adalah suka cita. Itu adalah suara pesta pernikahan…” begitu kurang-lebih penggalan syair dalam bahasa Arab-Suriah yang dibacakan seorang ayah kepada keempat putrinya yang buta di antara reruntuhan, suara ledakan, dan kekacauan pasca-perang. Ialah Hessan, seorang penyair Suriah dan ayah dari empat orang anak perempuan dengan gangguan penglihatan itu—ia menyebutnya tunanetra.
Dengan puisi-puisinya yang, maaf, naif, Hessan berusaha menyembunyikan perang—realitas Suriah ketika itu—dari anak-anaknya. Tapi pada saat dia diundang untuk menghadiri sebuah forum puisi—dan mengajak serta kedua anak gadisnya keluar rumah—nyaris ia tak dapat “berbohong” bahwa Suriah memang tak seindah sebagaimana puisi-puisi yang ia tulis untuk anak-anaknya. Akuilah, Suriah sedang tidak baik-baik saja, Hessan!
Saya tidak tahu apa penyebab kebutaan putri-putri Hessan. Saya tak cukup memperhatikan apakah sebab tersebut disebutkan atau tidak. Tapi yang jelas, saya pikir, kebutaan inilah yang menjadi salah satu dasar film dokumenter berdurasi duapuluh menitan karya Amir Masoud Soheili dan Amir Athar Soheili ini diberi judul Black Rain in My Eyes. Film ini diproduksi dan diluncurkan pada 2023 dan diputar di pembukaan Minikino Film Week 10 (MFW10) Bali International Short Film Festival 2024 di Geo Open Space, Badung, Jumat (13/9/2024) malam.
Dalam film tersebut, Masoud Soheili dan Athar Soheili berusaha menampilkan sisi lain dari perang yang tak berkesudahan di Suriah—atau Syiria itu. Negeri ini memang nyaris selalu diselimuti kisah-kisah perang yang mengerikan. Tapi melalui puisi-puisi dalam film Black Rain in My Eyes yang lahir dan dibacakan oleh seorang ayah naif itu, hal-hal mengerikan seperti ledakan, teriakan, dan reruntuhan menjelma suka cita, pesta pernikahan, dan nyanyian kebahagiaan. Puisi-puisi Hessan sekaligus sebagai narasi dan ia pula naratornya.
Salah satu adegan dalam film Black Rain in My Eyes | Foto: tatkala.co/Son
Suriah termasuk salah-satu negara yang berada di pusara konflik, memang. Bahkan sebelum konflik dimulai, banyak warga Suriah mengeluh tentang tingginya pengangguran, korupsi, dan kurangnya kebebasan politik di bawah Presiden Bashar al-Assad, yang menggantikan ayahnya, Hafez, setelah meninggal pada tahun 2000.
Pada bulan Maret 2011, demonstrasi pro-demokrasi meletus di kota selatan Deraa, terinspirasi oleh pemberontakan di negara-negara tetangga terhadap penguasa yang represif. Ketika pemerintah Suriah menggunakan kekuatan (bersenjata) mematikan untuk menumpas perbedaan pendapat, protes yang menuntut pengunduran diri Assad meletus di seluruh negeri.
Kerusuhan menyebar dan tindakan keras aparat semakin intensif. Para pendukung oposisi mengangkat senjata, pertama untuk membela diri dan kemudian untuk membersihkan wilayah mereka dari pasukan keamanan. Assad berjanji untuk menghancurkan apa yang disebutnya “terorisme yang didukung asing”.
Kekerasan meningkat dengan cepat dan negara itu terjerumus ke dalam perang saudara. Ratusan kelompok pemberontak bermunculan dan tidak butuh waktu lama bagi konflik itu untuk berubah menjadi lebih dari sekadar pertempuran antara warga Suriah yang mendukung atau menentang Assad.
Kekuatan asing mulai memihak, mengirimkan uang, persenjataan, dan pejuang; dan ketika kekacauan memburuk, organisasi jihadis ekstremis dengan tujuan mereka sendiri, seperti kelompok Negara Islam (IS) dan al-Qaeda, mulai terlibat. Hal itu memperdalam kekhawatiran di kalangan masyarakat internasional yang melihat mereka sebagai ancaman besar.
Suku Kurdi Suriah, yang menginginkan hak pemerintahan sendiri tetapi tidak melawan pasukan Assad, telah menambahkan dimensi lain pada konflik tersebut. Belum lagi negara-negara seperti Amerika, Rusia, Turki, ikut-campur dan membuat suasana menjadi tampak sulit diselesaikan. Warga Suriah sedang dikabuti keputusasaan yang sedemikian tebal.
Tapi Hessan yang naif berusaha menyangkal kondisi yang demikian mengerikan itu—demi anaknya, katanya. Padahal, sebagaimana nasihat pepatah bijak “sepandai-pandainya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga”. Ya, anak-anak Hessan memang tak dapat melihat, tapi mereka mendengar dan, kalau boleh agak berlebihan, merasakan.
Melalui seorang anak laki-laki yang duduk dan berjalan dengan kursi roda—belakangan lewat serpihan dinding-bangunan dan debu—putri-purti Hessan mengetahui dengan jelas bahwa Suriah yang, sekali lagi, dalam puisi-puisi ayahnya tampak baik-baik saja itu, ternyata kebalikannya.
Salah seorang anak Hessan bertanya kepada teman laki-lakinya yang, maaf, cacat. “Kenapa kamu berada di kursi roda?” Anak lelaki itu menjawab, “Pada saat perang terjadi, aku sedang berada di luar rumah. Serpihan proyektil mengenai leherku—dan aku lumpuh.” Mendengar cerita itu, si gadis buta itu menangis, bersedih. Ia semakin yakin bahwa puisi-puisi ayahnya hanya “kebohongan” yang dirangkai dengan indah.
Salah satu adegan dalam film Black Rain in My Eyes | Foto: tatkala.co/Son
Menonton film Black Rain in My Eyes mengingatkan saya pada sebuah film lama dengan tema yang hampir sama, yakni Black Rain—lihat, bahkan judulnya saja sama, bedanya yang ini tanpa in my eyes. Black Rain—tanpa in my eyes—adalah sebuah film Jepang tahun 1989 garapan Shohei Imamura. Film tersebut menceritakan tentang kehidupan pascaperang di kota Hiroshima yang hancur akibat bom atom.
Film tersebut berfokus pada kehidupan keluarga Yasuko (diperankan oleh Yoshiko Tanaka) dan Shigematsu (diperankan oleh Kazuo Kitamura) yang berjuang untuk bertahan hidup di tengah penderitaan dan traumatis setelah serangan bom atom. Mereka harus menghadapi kenyataan yang mengerikan dan memutuskan untuk tetap tinggal di kota yang hancur itu. Membaca narasi ini, katakanlah, hampir sama dengan Hessan dan keluarganya di Suriah.
Namun, terlepas dari itu semua, bagi saya, Black Rain in My Eyes adalah film dokumenter yang indah—walaupun menampilkan gambar-gambar yang menyedihkan. Indah yang saya maksud adalah narasinya yang tak sama dengan kebanyakan film dokumenter yang kaku, mekanis, dan membosankan.
Black Rain in My Eyes mangalir seperti fiksi. Ya, bagaimanapun juga karena film adalah sebuah media, maka akan ada singgungan antara dokumenter dengan fiksi yang akhirnya akan memunculkan bentuk, pendekatan, atau gaya tertentu.
Dan gaya film ini bisa disebut, tentu saja menurut sok-mengertian saya, dokumenter puitis. Gaya dokumenter semacam ini lahir dan berkembang pada tahun 1920-an. Seiring perkembangan sinema Eropa, gaya dokumenter puitis berperan untuk melawan tradisi film fiksi Hollywood yang memiliki 3 elemen utama, seperti karakter yang sadar diri, mengubah aspirasi hidupnya, hubungan sebab akibat dalam penceritaan, dan kesatuan ruang dan waktu dalam editing ditandai kesinambungan dalam peristiwa. Joris Ivens membuat film dokumenter dengan gaya puitis yang berjudul Regen (1929) yang memperlihatkan suasana kota Amsterdam saat diguyur air hujan.
Tapi Black Rain in My Eyes juga bisa dibilang film dokumenter yang memiliki unsur ekspositori sebab menggunakan narasi dan teks sebagai penyampaian pesan ke penonton. Pesan atau point of view dari ekspositori lebih disampaikan melalui suara daripada melalui gambar. Pada ekspositori gambar disusun sebagai penunjang argumentasi yang disampaikan lewat narasi atau presenter.
Black Rain in My Eyes jelas menggunakan pendekatan yang observatif dan kenaturalan pada setiap kejadian. Pendekatan yang baik adalah sebuah kunci dari gaya observasional dikarenakan agar subjek tidak canggung dengan kamera yang selalu dibawa pembuat film untuk merekam setiap kejadian yang dilakukan subjek. Oleh sebab itu saya mengatakan menonton “Blac Rain in My Eyes” seperti menikmati cerita fiksi.
Salah satu adegan dalam film Black Rain in My Eyes | Foto: tatkala.co/Son
Masoud Soheili dan Athar Soheili membuat saya takjub, ngeri, dan iri sekaligus. Takjub karena ceritanya, meski dokumenter, tidak membuat penonton bosan; ngeri sebab membayangkan betapa mencekamnya situasi di Suriah ketika perang meletus; dan iri karena sudah pasti saya tidak mampu membuat film seperti itu.
Mengenai film bertema pascaperang, atau semacamnya, nama Amir Athar Soheili memang tak perlu diragukan. Tontonlah Broken Whispers (2023), film pendek tentang seorang pelukis tua yang bosan dengan proses kreatifnya sendiri dan mencoba memperbaiki instrumen rusak yang dia temukan di reruntuhan. Ketika murid-muridnya berkeliling mencari seseorang yang bisa memainkan alat musik tersebut, mereka bertemu dengan seniman lain yang memiliki bekas luka perang. Atau Women Who Run with the Wolves (2019) yang menyedihkan itu.
Perlu Anda ketahui, Athar Soheili adalah seorang sutradara, produser, dan penulis skenario asal Iran. Dengan pengalaman 18 tahun berkiprah di industri, pengetahuan, dan pemahaman mendalam tentang perfilman, ia dikenal sebagai sutradara profesional. Selain beberapa film yang ditayangkan di televisi, ia juga menyutradarai sejumlah film kreatif yang mendapat penghargaan di festival film internasional. Ia adalah profesor studi film di sebuah universitas dan presiden perusahaan Simiya Film.
Sedangkan Masoud Soheili, sebagaimana keterangan di Minikino, lahir pada tahun 1988 di Masyhad, Iran. (Saya tidak tahu apakah Masoud dan Athar ini bersaudara atau masih ada hubungan darah atau “Soheili” itu hanya semacam nama klan?) Yang jelas Masoud belajar sinema di Indonesia dan Korea Selatan. Dan hanya dengan film pendek keduanya yang berjudul “Blue eyed boy” (2014) ia panen penghargaan. Berkat film ini Masoud memenangkan 20 penghargaan internasional dari lebih 140 festival film internasional.
Ia pernah menjadi juri pada Festival Film Asia Yogya Netpac ke-10 (2015), kompetisi penghargaan Viddsee Juree di Indonesia (2016), Festival Film Internasional Avanca di Portugal (2016 dan 2018), Festival Film SAARC di Sri Lanka (2017), Festival Film Dokumenter dan Pendek Internasional Kerala di India (2018) ,dan Festival Film Internasional Malatya di Turki (2018).
Masoud adalah salah satu pendiri dan direktur kreatif “Festival Film Perdamaian Asia” di Islamabad, Pakistan dan programmer sebuah festival film di Istanbul, Turki. Ia juga bekerja sebagai direktur festival di Festival Film Internasional di Mashhad, Iran (2017).[T]