MAHASISWA di Undiksha Singaraja, terutama ang perantauan, rata-rata punya warung kesayangan, atau warung favorit. Biasanya warung itu berlokasi di sekitar kampus, atau di sekitar tempat kost.
Saya, beberapa tahun lalu, sebagai mahasiswa seni rupa di kampus bawah, atau kampus di jalan Ahmad Yani Singaraja, juga punya waru8ng favorit. Bukan hanya saya, tapi juga favorit bagi mahasiswa seni rupa yang lain seangkatan saya.
Nama warung itu, “Warung Friend”. Ada yang juga mengenalnya, atau bahkan juga menjadikannya warung favorit?
“Warung Friend” bukan sekadar merk, bukan juga sekadar brand. Itu nama yang sangat sesuai dengan riwayat dan sejarah kami mengenal warung itu.
Warung itu berada di sebelah timur kampus bawah Undiksha, tepatnya di Jalan Tasbih. Lokasi tepatnya di pintu gerbang kampus sisi timur. Dulu pintu itu kadang-kadang masih buka, tapi lebih sering ditutup. Kini sepertinya pintu itu sudah ditutup permanen. Entah apa sebabnya.
Kini, jika mencari warung itu, patokannya bisa menggunakan Food Court Tasbih. Di depan food court itulah warung itu berada.
Dulu, malam-malam, mahasiswa sering membeli makanan dari dari dalam kampus. Pedagang akan memasukkan makanan lewat sela-sela pintu gerbang. Kemudian para mahasiswa menyantap makanan itu di bawah lampu merkuri di gerbang tersebut, duduk bersama hingga larut malam ditemani aroma melati dari pohon bunga melati yang tumbuh di dekat tiang lampu tersebut. Bukan berbau mistis ya, itu hal biasa bagi mahasiswa kampus bawah—mahasiswa seni rupa khususnya.
Pak Friend dan istrinya | Foto: Susila
Kini setelah tamat, sudah menikah, dan sudah menjadi guru di sebuah SMP di Buleleng, saya masih tetap mengunjungi Warung Friend. Hampir setiap minggu saya menyempatkan diri untuk mampir dan membeli makanan di sana, walaupun perjalanan dari rumah sebenarnya melewati banyak warung yang menjual menu yang sama. Ada hal yang berbeda di Warung Friend.
Atmosfer kampus bawah yang penuh kenangan masih terasa kuat walau dibatasi tembok kokoh tanpa ventilasi lagi. Atmosfer itu yang menarik saya memilih tempat itu untuk berlabuh, terus-menerus, dari dulu, hingga kini.
Masa Mahasiswa yang Indah
Mengenang Warung Friend adalah mengenang masa lalu yang indah. Bahkan, bukan hanya mengenang masa-masa kuliah, melainkan juga bisa terkenang juga masa-masa sekolah.
Masa-masa sekolah, dari dasar sampai perguruan tinggi memang tidak ada habisnya. Banyak sekali hal-hal yang bisa menjadi topik perbincangan, apalagi ada moment yang memang sangat membekas, lucu dan selalu asyik ketika menjadi bahan utama dalam perbincangan. Mulai dari perubahan dalam proses pembelajaran di sekolah, kurikulum, permainan yang dulu dan sekarang, hingga proses sampai saat ini dalam pekerjaan dan rumah tangga.
Semua hal bisa menjadi topik yang hangat untuk mengisi waktu berkumpul dengan kawan. Dalam tongkrongan, satu topik bisa di bahas hingga berjam-jam. Bahkan tidak cukup hanya satu topik, melebar ke topik lain, dari permainan tradisonal, politik, anime, hingga konspirasi di bahas serius. Walau sebenarnya tidak memahami sepenuhnya topik-topik tersebut. Seakan kita sudah sangat kompeten di semua bidang, tapi itulah yang menghidupkan suasana.
Hal-hal semacam itulah yang kami rasakan ketika mengingat Warung Friend di kampus bawah Undiksha. Bicara kenangan masa lalu, berkumpul dengan teman masa kuliah terasa masih segar untuk menambah topik perbincangan.
“Si Dewi yang belahan dadanya isi tahi lalat di mana sekarang ya?”
“Tukang kebun yang ramah masih gak tugas di kampus kita?”
“Tempat kita mabuk dulu sudah jadi gudang sekarang!”
Itu pertanyaan dan pernyataan klasik, dan masih banyak pertanyaan pemantik yang terlontar.
Berbicara masa kuliah, memang tidak ada habisnya, melaratnya mahasiswa rantau dengan bekal pas-pasan menjadi topik yang selalu hadir menghiasi waktu berkumpul.
Ya, menceritakan pengalaman pahit memang sering memberikan suasana yang hangat, saling berbagi pengalaman dan sedikit didramatisir akan memberikan suasana yang hangat dan saling peduli. Bukan playing victim ya, eh bisa jadi juga sih.
Satu topik yang memang menjadi andalan, yaitu ketika dompet menipis di rantauan. Nah, saat mengingat itulah saya—barangkali juga mahasiswa lain di kampus bawah—akan tersenyum simpul ketika mengingat “Warung Friend”.
Warung ini menjual aneka makanan paket hemat untuk kita yang sedang dilanda “kemiskinan”. Paket hemat, nasi putih dan telur mata sapi dengan sedikit toping bawang goreng dan kecap menjadi menu favorit. Selain itu, ada nasi goreng pink juga dengan sambalnya, wah, saya tak sengaja menelan ludah membayangkan menu itu.
Kenapa namanya Warung Friend?
Penjual di warung itu, yang laki-laki, menganggap semua orang adalah teman. Ia memanggil pembeli tak pernah dengan sebutan nama, entah pikun atau gimana. Ia memanggilnya dengan kata “friend”.
Hanya friend, friend dan friend yang digunakan untuk memanggil pelanggan. Barangkali karena itulah warung tersebut diberi nama “Warung Friend”.
Warung Friend dan suasana di sekitar ang berubah | Foto: Susila
Bahkan mahasiswa yang menjadi pelanggan setia warung itu tidak tahu nama bapak penjualnya. Kami biasa menyebutnya dengan nama Pak Friend. Semua friend, penjualnya friend, yang beli friend, yang banyak bon juga masih friend.
Awal-awal berkunjung dan membeli makanan di sana tentu akan merasa aneh.
“Apa sih bapaknya ini, sok akrab sekali!” Itu yang saya rasakan dulu. Karena memang bukan keramahan seorang pedagang yang ia perlihatkan, tapi keramahan seorang teman atau saudara, seakan sudah akrab dan seakan memang ada hubungan keluarga. Tidak sekalipun memperlihatkan keramahan seorang penjual pada umumnya, yang tutur katanya lemah lembut, nada bicara yang sopan. Semua itu tidak kita temukan pada pelayanan yang diberikan. Bahkan tutur kasar ala-ala Buleleng biasa terlontar dari mulutnya, tidak memandang mahasiswa dari mana asalnya, hal itu berlaku untuk semua pelanggan mahasiswa.
Ya, mungkin satu-satunya alasan karena semua adalah friend, jadi bebas saja layaknya teman.
Warung tempat berlabuhnya mahasiswa dengan dompet tipis ini selalu ramai, ramai oleh mahasiswa yang mencari tempat makan dengan prinsip asal kenyang. Bahkan ada “buku neraka”. Kami, mahasiswa seni rupa menyebutnya “buku neraska”, sebuah buku hampir penuh terisi nama-nama mahasiswa dengan jumlah bon tertulis di “buku neraka” itu.
Tapi itu dulu, ketika suasana kampus masih dipenuhi mahasiswa hingga larut malam dan pintu gerbang timur kampus bawah masih ada. Kini banyak perubahan, gerbang timur sudah di tutup, jam mahasiswa di kampus sudah tak seperti dulu lagi. Kini, ada jam malam di kampus. Tahulah saya, apakah itub berkaitang dengan kurikulum atau slogan Merdeka Belajar.
Selain itu, Warung Friend kini telah terhimpit dengan beragai lapak modern. Teh Jumbo di sampingnya, Food Court dengan gaya modern dan penuh kelap-kelip lampu berwarna-warni di depannya. Membuat keberadaan “Warung Friend” semakin tersudutkan di tengah kemewahan yang muncul di tengah kota.
Hingga kini, warung tersebut bukan hanya menjual makanan dan minuman saja, sembako dan alat upacara agama Hindu juga mulai dijual. Itu menandakan “Warung Friend” sudah tak mampu bertahan jika hanya menjual makanan saja.
Pak Friend | Foto: Susila
Ditambah lagi dengan kondisi Pak Friend yang sempat sakit dan lama tidak ikut berdagang, hanya istrinya yang berjuang berjualan hingga malam. Itu mungkin menjadi salah faktor pelanggan mulai berkurang, karena memang peran Pak Friend dan kata-katanya memang dapat menarik pelanggan. Keramahan dan cara bercandanya memberikan magnet dan membuahkan hasil yang baik untuk warung tersebut.
Ketika suasana semacam itu telah hilang serta ditambah lagi beberapa himpitan dari kiri dan kanan, membuat “Warung Friend” kini perlu dukungan mahasiswa yang dulu sempat tercatat di “buku neraka”. Ya, setidaknya berkunjung dan beli paket hematnya, atau nasi goreng pink dengan sambel pedasnya.
Namun senyum dan keramahannya masih tetap terjaga, ucapan tanpa rem dengan sedikit bahasa Inggris masih lancar terlontar dari mulutnya. Masih banyak mahasiswa yang telah kembali ke kampung dan ketika berkunjung ke Buleleng menyempatkan diri bernostalgia diwarung itu. Walau suasana sudah jauh bereda, yang tetap sama hanya pelayanan ala-ala friend, dan tentunya menu paket hemat masih tersedia di sana. Cobalah datang ke warung itu. [T]
BACA artikel lain dari penulis SUSILA PRIANGGA