- Artikel ini adalah hasil dari seminar “Khazanah Rempah dalam Lontar”, program khusus Singaraja Literary Festival 2024, yang didukung Direktorat PPK (Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan), Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia, 23-25 Agustus 2024.
SEJAK dulu bangsa Indonesia memahami manfaat rempah. Bahkan tertulis dalam naskah lama, yang di Bali dikenal sebagai Lontar. Dalam lontar berbagai manfaat rempah dibabarkan dengan baik. Hanya saja tidak banyak yang mampu membaca lontar, dulu. Meski demikian, di masyarakat, penggunaannya sebagai “boreh” (lulur), obat beragam penyakit, terjadi sejak lama, serta untuk hal-hal lain.
Dengan adanya jurusan Sastra Bali (dulu hingga diberi beasiswa, masih sulit mendapatkan mahasiswa) di mana kini peminatnya cukup banyak, rempah dan kegunaannya dalam lontar semakin banyak yang mengetahui.
Dokter Nala, misalnya, yang melakukan kompilasi lontar usadha (pengobatan/kesehatan). Juga banyak generasi setelahnya mempelajari ini. Namun, hal tersebut lebih banyak untuk pengetahuan pribadi dan pengunaan secara terbatas. Padahal potensi manfaat rempah, selain untuk kesehatan, kecantikan, dll, juga dapat berkontribusi bagus bagi perbaikan ekonomi masyarakat.
Ada beberapa hal yang hemat penulis perlu dilakukan:
Untuk lontar usadha, pertama: perlu dilakukan uji klinis di FK atau jurusan Farmasi (ini bisa didukung pemda, kemendikbudristek, bagi mahasiswa yang melakukan uji klinis dan memasukkannya sebagai bagian dari kurikulum Fakultas Farmasi), dengan demikian, jika lulus uji klinis maka akan menjadi “kelas” Fitofarmaka, di mana bisa diresepkan oleh dokter, diproduksi lebih banyak, menyerap tenaga kerja, dan memiliki nilai tambah ekonomi jauh lebih tinggi dibandingkan dijual secara mentah.
Kedua: “kelas” jamu. Ini cukup uji BPOM. Di Bali ada contoh yang sudah sukses dengan cara ini. Pak Oles dan yang lagi populer kini, Kutus Kutus. Nilai tambah juga terjadi, ada penyerapan tenaga kerja juga, tentunya.
Di luar Bali, pemanfaatannya untuk komestik, juga sudah menjadi Industri yang relatif besar. Martha Tilaar, misalnya. Manusia secara umum, ingin tampil lebih elok, laki pun perempuan, maka ini memiliki pangsa pasar yang luas, yang melahirkan “turunan” dari pabrik, seperti Salon kecantikan dan Spa.
Bahkan jika di Indonesia ini ditetapkan (selain jamu yang sudah kita kenal lama) baik tingkat jamu pun Fitofarmaka, dan didukung secara sinergik lintas kementerian dan lembaga, misalnya, atase perdagangan Indonesia di banyak negara membantu mengidentifikasi pasar yang potensial untuk dipenetrasi, yang saya yakini masih sangat luas, mungkin saingan kita secara global hanya China (apalagi dari 45.000-an tanaman obat dunia, 35.000-an ada di Indonesia), ini tentu sangat bermanfaat bagi penarik devisa yang selanjutnya akan menjadi bagian dari pendapatan ekspor serta berkontribusi pada APBN bersama fiskal, yang alokasinya jika bagus akan menyejahterakan rakyat Indonesia.
Untuk di Bali, yang kelas jamu dan Fitofarmaka, bisa diproduksi dengan melibatkan enterpreneur (yang diseluruh dunia jumlahnya langka), yang memiliki kemampuan opportunity spoting yang bagus, serta keberanian mengambil risiko.
Namun, perlu melibatkan masyarakat luas, seperti pola Inti dan Plasma pada perkebunan, namun dengan modifikasinya agar benar-benar bermanfaat bagi rakyat banyak, di mana misalnya melibatkan badan usaha rakyat berbasis desa (bisa lintas desa) dan didukung regulasi yang menguatkan: tidak boleh industri besar seluruh supply-nya dari kebun yang dimiliki sendiri, tapi dari kebun-kebun milik badan usaha yang bersifat koperasi (semua warga yang terlibat mendapat manfaat) yang dikembangkan di desa-desa, di mana de facto tanah di desa lebih murah dan relatif masih lebih luas. Ini akan mengatasi kesenjangan desa-kota yang merupakan masalah di Bali bahkan Indonesia bertahun-tahun, sudah.
Dalam jangka panjang perbaikan ekonomi masyarakat desa akan meratakan juga kemampuan mereka dalam mengenyam pendidikan yang lebih bagus (apalagi jika didukung pendidikan online dengan pemateri bagus bisa diakses 24 jam, bagi semua usia, serta ada sertifikasi penyetaraan dan didukung e-library hingga pelosok-pelosok desa) yang akan menguatkan sumber daya manusia yang unggul di Bali.
Bali memang pulau kecil, tapi Singapura negeri kota yang lebih kecil lagi tapi SDM-nya unggul, pendidikannya bagus, bahkan mampu mengekspor buah karena teknologi pertanian lahan sempit (termasuk di dalamnya teknologi pertanian vertikal). Ini juga akan saling dukung dengan dunia wisata yang selama ini andalan utama Bali, dan menjadi pengaman penting saat terjadi hal tak diharapkan seperti bom di Bali, covid19 (yang menyebabkan PDB Bali sempat terburuk secara nasional).
Mungkin fakulkas kedokteran di Bali perlu meniru yang sudah lama dilakukan China di mana pengobatan barat dan “tradisional” China diajarkan di FK-nya hanya bagi yang berbakat, yang tak berbakat, hanya diajarkan pengobatan Barat. Ini juga akan menaikkan citra usadha Bali, adalah pengobatan “modern” dan ilmiah.
Jika semua ini dilaksanakan dengan serius secara sinergik antara semua stock holders dan stake holders di Bali, maka Bali akan menuju masyarakat yang sejahtera dan unggul manusianya. Dan bisa menjadi percontohan untuk dikembangkan berbagai daerah lain di Indonesia.[T]
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024